Aku menyelinap di antara tubuh-tubuh manusia lain yang tampak lebih besar dariku. Rasanya aku ingin menyingkir sesaat dari kerumunan keramaian ini. Aku terus berjalan menjauhi panggung utama, namun semakin aku jauh berjalan, suara itu malah terasa semakin jelas menyapa telingaku. Dan harus ku akui, aku agak sedikit merasa tidak nyaman dengan hal tersebut.
Ada awal dan akhirnya..
yang mungkin yang tak dapat terurai semua..
ada duka ada bahagia..
yang mungkin takkan pernah dapat terlupa..
Perasaan menyesal menggelayuti hatiku. Tahu ia ada disini, aku tentu akan menolak untuk hadir dalam acara musik kali ini. Aku tidak pernah baik-baik saja bila melihat sosoknya. Tidak memiliki tujuan yang jelas, aku memilih untuk berhenti di sebuah taman dekat parkiran, yang sepi namun terasa tenang.
..selamat jalan kekasih..
manis yang berujung perih..
kisah yang sungguh terlalu indah..
kini semua berakhir sudah..
Sayup-sayup, angin masih membawa suaranya, meski tidak sejelas tadi. Aku duduk di atas sebuah bangku, tepat di bawah lampu taman, rasanya lebih baik memang bila aku menyingkir saat ini. Lima menit aku lewati hanya dengan diam, bertingkah layaknya orang autis dengan dunia kesendirianku. Aku menghela napasku beberapa kali, untuk memperlancar aliran darahku yang terasa tiba-tiba membeku karena melihat senyumnya tadi.
Aku memejamkan mataku, dan berharap dapat menemukan sebuah rasa nyaman. Namun naas, wajahnya malah tergambar jelas di pikiranku, tentu saja beserta senyumannya, yang dulu atau mungkin sekarang, selalu juara untuk menahan hatiku.
“Ayolah, kisah kalian udah berakhir empat tahun yang lalu..” desahku masih dengan mata tertutup sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Apanya yang empat tahun ?”
Tubuhku terlonjak kaget, mendapati suaranya terdengar jelas di sampingku. Dengan segera aku membuka mataku, dan benar saja, ia sedang duduk di sampingku. Sambil tersenyum dan seolah tanpa dosa, tahukah ia, mengagetkan kesunyian orang pukul sembilan malam seperti ini dapat mengakibatkan serangan bulu kuduk berdiri.
“A..alvin ?” panggilku lirih. Aku tadi telah sengaja menghindarinya, dan sekarang ia malah duduk disini.
“Hei ze, lama enggak ketemu..” sapanya, masih ramah seperti dulu. Aku hanya bisa tersenyum, karena darahku menjadi beku kembali.
Ia bersiul-siul kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. “Cess..” Alvin menyalakan rokoknya.
“Lo ngerokok ?” tanyaku kaget sambil memutar bola mataku. Hei ada apa dengannya hingga seperti ini, pikirku.
Alvin nampak tersenyum, ia menghisap rokoknya, lalu membuang asapnya dari kedua lubang hidungnya, sungguh terlihat jago.
“Uhuk..uhuk..” aku yang memang tidak bisa terkena asap rokok, langsung merasa sesak dengan asap rokoknya.
“Sori..” ujarnya, ia menghisap rokoknya sekali lagi, lalu langsung membuangnya ke tanah dan menginjak puntung rokok itu dengan ujung sepatu ketsnya.
“Mentang-mentang jadi anak band, sekarang mainannya rokok nih..” cibirku pelan. Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Hingga aku rasanya ingin menutup mulutnya menggunakan plester agar ia berhenti tersenyum dan berhenti membuat degup jantungku menjadi tidak beraturan seperti ini.
“Gimana penampilan gue tadi ?” aku berpikir cukup lama, sejujurnya aku tidak melihat ia sama sekali bernyanyi bersama bandnya. Aku langsung berbalik menjauh saat aku sadar ia yang akan mengisi acara, aku hanya mendengar suaranya dari jauh.
“Ehm..pilihan lagu yang bagus..” ujarku asal sambil gantian tersenyum ke arahnya, meski aku tahu, senyum ini sama sekali tidak berarti apapun untuknya.
“Biasannya band gue manggung enggak pernah bawain lagu slow kaya tadi, tapi gue baru putus sama cewek gue, dan dia juga dateng ke acara ini, jadi ya udah deh, sekalian aja gue nyanyi lagu itu”
“Oh..” sahutku datar, atau lebih tepatnya, aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah aku senang karena ia telah sendiri lagi saat ini ? tentu saja aku tidak mau terlalu melambungkan harapan tinggi.
Kami berdua lalu terdiam. Ia nampak lebih asik bermain-main tanah dengan sepatunya, sementara aku sendiri, hah, seperti yang pernah aku bilang, aku tidak pernah bisa baik-baik saja bila bertemu dengannya, selalu ada yang salah dengan tubuhku.
“Drrtt..drrtt..” aku merogoh tasku, mengambil hpku yang mungil, lalu membaca sms yang masuk.
“Eh vin, sori temen gue udah nunggu di depan, gue balik duluan ya” pamitku dan langsung pergi meninggalkannya. Kira-kira di langkahku yang ke sepuluh, suaranya memanggil namaku. “Zeva..”
“Hah, iya ?” tanyaku sambil berbalik ke arahnya.
“Besok mau nemenin gue enggak ?” tanyanya balik setengah berteriak.
“Kemana ?”
“Pantai, bagus kok..” aku hanya bisa menganggukan kepalaku, ia mengacungkan jempolnya, dan aku langsung berbalik lagi memunggunginya, aku tidak mau ia memergoki pipiku yang sedang memerah.
“Gue jemput jam delapan yaa..” sambungnya lagi. Dan aku terus berjalan menjauh, sambil diam-diam tersenyum, meski separuh hatiku takut, takut setelah kebahagiaan ini, akan ada air mata yang tumpah.
***
Entah telah untuk ke berapa kalinya, aku mematut penampilanku di kaca. Sudah berkali-kali aku berganti pakaian, mulai dari celana pendek, baby doll, rok mini, tank top, tube top, kemeja over size hingga dress telah aku coba. Padahal aku jelas-jelas tahu, tujuan kami adalah ke pantai.
“Ayolah ze, paling-paling alvin cuma minta lo nemenin dia yang abis putus dari ceweknya. Lagian ke pantai doang, ngapain lo harus rapi-rapi amat..” gumamku, kali ini sambil mencoba harem pants. Dan tentu saja aku tambah terlihat konyol.
“Teen..teeen..”
“Ze, temen kamu udah jemput tuh !” teriakan mama dan suara klakson mobil Alvin bercampur, menambah kepanikanku.
Pilihanku akhirnya jatuh, pada sebuah jeans belel tiga perempat, kaos berwarna kuning, sendal, dan sebuah tas selempang putih. Aku langsung menghampiri alvin yang menungguku di depan mobilnya, sambil mencepol rambutku yang panjang secara asal.
“Maaf lama..” ucapku langsung. Ia nampak menawan di balik kaos abu-abu yang di tumpuk dengan kemeja biru, celana pendek, serta kacamata hitamnya. Membuatku menjadi sedikit menyesal dengan dandanan asalku ini.
“Ya udah ayo naik, entar keburu siang..” aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan, kita lebih banyak berdiam diri. Aku lebih tertarik memperhatikan hutan-hutan jati di kanan kiri jalan yang kita lewati, lagipula aku tidak tahu harus mulai darimana mengobrol dengannya.
“Dulu kita malah enggak pernah jalan kaya gini ya..” ujarnya memecah kebisuan ini. aku tersenyum tipis, tidak mengerti mengapa ia harus memulai dengan kata ‘dulu’.
“Abis dulu kamu backstreet sih, jadi susah banget ngajakkin kamu jalan, lagian kita masih smp juga sih ya waktu itu..” tambahnya lagi, masih menyelipkan kata ‘dulu’.
“Padahal dulu aku pengen banget ngabisin banyak waktu sama kamu..” entah dia sadar atau malah sengaja, kata ‘dulu’ lagi-lagi ada dalam kalimatnya.
“Jadi anggap aja sekarang, kita nebus waktu-waktu yang dulu lewat gitu aja ya”
“Maksudnya ?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget dan bingungku dengan pernyataannya tadi. Tapi bukannya menjawab, ia malah hanya tersenyum, lalu kembali konsen menyetir.
Seiring semakin menjauhnya perjalanan ini dari kota, pemandangan yang menemanipun semakin indah, tapi itu semua sudah tidak dapat menarik hasratku lagi, aku telah terlanjur di buat penasaran dengan kata-katanya beberapa menit yang lalu.
Setelah hampir satu setengah jam menyusuri jalanan yang tidak familiar untukku, akhirnya mobil alvin berhenti di pinggir tebing kapur. Ia mengajakku turun dan melewati jalan setapak kecil dari batuan-batuan berwarna putih.
“Yakin nih ada pantai di tempat kaya gini ?” tanyaku.
“Tuh..” ia yang berjalan di depanku, berhenti dan menunjuk hamparan pasir putih yang indah dan lautan biru yang megah di hadapan kami. Layaknya seorang anak kecil yang melihat sekarung permen, aku langsung berlari ke arah pantai itu, tertawa riang, dan ia hanya tersenyum kecil sambil mengamatiku.
Aku tersenyum sendiri, bila ombak menerpa betisku dan membawa pasir-pasirnya yang lembut ke sela-sela jariku. Seolah ini pertama kalinya aku melihat pantai. Sementara alvin hanya duduk di bawah pohon kelapa yang tampak teduh. Puas bermain air sendiri, aku berjalan ke arah alvin dan ikut duduk di sampingnya.
“Kamu suka ?”
“Ka..kamu ?” tanyaku bingung, sudah lama rasanya, tidak mendengar suara itu memanggilku dengan ‘kamu’ sejak empat tahun lalu tepatnya.
“Bolehkan ? atau udah ada yang lain yang manggil kamu dengan kamu ?”
“Enggak sih, cuma aneh aja, tiba-tiba..ehm..kamu manggil aku gitu..” ujarku ikut terbawa dengannya.
“Jadi kamu suka dengan ini ?” ulangnya lagi.
“Suka banget, pantai ini keren banget”
“Hampir semua mantan aku yang pernah aku ajak kesini juga pada suka” aku hanya meringis mendengarnya, baru beberapa detik yang lalu ia membuatku tersenyum lebar dengan panggilan ‘kamu’nya.
“Kamu enggak pernah ngajak aku kesini”
“Kan tadi aku udah bilang, dulu, susah banget ngajak kamu keluar, lagian juga dulu aku belum bisa bawa mobil sih..”
“Kamu kenapa ngajak aku kesini ?”
Dia tersenyum tipis ke arahku, bukannya memberiku jawaban, ia malah mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri.
“Mau kemana ?”
“Ikut aja yuk” ujarnya pendek. Aku menurutinya, aku menyahut tangannya, dan jemarinya mulai menggenggam tanganku, membangkitkan getaran-getaran kecil di dalam tubuhku. Sepanjang jalan aku lebih banyak menunduk, tidak ingin terlihat terlalu gugup di depannya.
Ia terus menuntunku, kami berjalan melewati pasir-pasir putih, hingga jalan-jalan berbatu yang penuh dengan krikil. Dan sekali lagi aku dibuat terkagum-kagum oleh pemandangan yang ia tunjukkan. Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat deburan ombak yang pecah saat menghantam karam, dengan latar air laut yang tenang.
“Aku selalu ngajak mantan aku ke pantai ini, tapi cuma kamu yang aku ajak ke tempat ini” ujarnya nyaring, agar suaranya tidak tenggelam oleh suara ombak yang lebih besar.
Aku menoleh ke arahnya, sungguh-sungguh tidak mengerti apa maksudnya melakukan ini. “Kalau gitu, kenapa kamu ajak aku kesini ?”
“Dulu, waktu aku nemuin pantai ini, aku udah janji sama diri aku sendiri, aku bakal ngajak cewek pertama aku kesini. Tapi saat kita jadian, aku belum sempat ngajak kamu, karena aku juga enggak tahu gimana caranya. Dan sekarang kesempatan itu baru muncul..”
Pengakuan itu tentu saja membuat hatiku bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Apakah ia sedang mencoba membuka jalan di antara hubungan ini yang telah lama mati ? Apakah ia sadar bahwa kata-katanya barusan dapat membuatku berharap lebih ? Atau apakah ini hanya sekedar pemenuhan janji pribadinya ? hmm, pertanyaan-pertanyaan aneh langsung menyerbu otakku dengan tiba-tiba.
Tanpa sadar, aku terdiam memikirkan semua itu. Pandanganku mengarah ke laut, namun bukan bayangan airnya yang memenuhi mataku. Aku menjadi terlalu sibuk dengan semua dugaan yang ada.
“Ze..” panggil Alvin. “Zeva..” ulangnya lagi.
“Sreett..” ia menarik kuciranku, membuat rambutku menjadi berkibar tertiup angin, dan membawa kembali kesadaranku yang barusan menghilang tertelan lamunanku.
“Alvin !” teriakku sambil mencoba merebut kembali kunciran yang kini ia genggam erat di tangan kanannya. Dengan gesit, ia terus menghindarkannya dariku.
“Makanya jangan ngelamun” ujarnya lalu menjulurkan lidahnya. “Ayo kejar aku..” lanjutnya lagi menantangku.
Kami mulai berlari-larian. Dan ini tidak adil bagiku. Ia yang seorang pemain basket di sekolahnya, tentu saja memiliki kecepatan berlari lebih kencang daripadaku, yang selalu berada di urutan paling belakang saat pengambilan nilai lari di sekolah.
Sesekali ia memelankan larinya sambil tertawa melihat aku yang semakin kewalahan mengejarnya, namun setiap aku hampir mendekatinya, ia kembali menambah kecepatannya. Rasanya ia memang benar-benar niat membuatku kelelahan.
Setelah hampir dua puluh menit berlari, aku menyerah. Kedua tangannku ku tumpukan di atas lututku, dan aku mulai mengatur nafasku, perlahan-lahan. “Alvin, aku nyerah..” ujarku masih dengan nafas yang tersengal-sengal.
Aku memilih untuk duduk di atas pasir dan meluruskan kakiku. Entahlah alvin lari kemana, tenagaku telah habis bila harus mengejarnya lagi. Dengan tangan yang aku kepalkan, aku menepuk-nepuk kakiku yang terasa pegal. Setidaknya lukisan alam keindahan laut di depanku ini, bisa mengurangi rasa kesalku.
“Nih..” alvin menyodorkan kunciran itu tepat di depan mukaku, lantas ia ikut duduk di sampingku. “Pasti masih malas kalau disuruh olahraga” lanjutnya lagi.
“Biarin dong” sahutku sewot sambil kembali mencepol rambutku.
Ia terkekeh melihatku. “Haha, kamu masih sama aja ya ternyata..”
“Apanya ?”
“Semuanya”
‘ya, termasuk rasa sayang aku ke kamu alvin’ batinku miris. Ia mengambil beberapa batu kecil di sekitar kami dan mulai melemparkannya ke laut. Aku hanya memandanginya, dia yang sudah banyak berubah.
“Seminggu yang lalu, aku baru selesai baca novel kamu”
“Kamu baca novel aku ? makasih ya..” sahutku senang.
“Dan rasanya aku kenal kisah yang ada di dalam novel itu..” aku langsung membeku mendengar ucapannya.
“Mungkin aku kepedean, tapi tokoh utama laki-laki disitu, aku banget” sambungnya lagi. Aku hanya bisa menggigit bagian bawah bibirku.
“Apa itu cerita kita ?” ia melihat ke arahku, tapi aku malah membuang pandanganku ke arah lain. Berharap aku menemukan penyangkalan untuk ini semua.
“Ada satu kalimat yang entah kenapa nempel banget di otak aku, kalimat waktu tokoh utama perempuan melihat di balik hujan, mantannya sama perempuan lain. Aku adalah orang yang akan selalu mencintainya...”
“Dari tempat dimana aku berada, di balik ke bahagiannya, di atas segala penyesalanku” aku memotong kata-katanya, dan melanjutkan kalimatnya.
“Jadi ?”
“Apanya yang jadi, aku rasa tanpa perlu aku cerita, kamu udah bisa nebak sendirikan” sahutku, mencoba memberanikan diri menatap matanya. Lagi-lagi ia hanya tersenyum ke arahku.
“Sebesar apa ?” meski pertanyaan ini terdengar aneh, namun aku merasa tahu kemana ia menggiring pembicaraan kami.
“Enggak tahu. Enggak sebesar, sampai aku rela mati atau malah mau mati berdua sama kamu. Tapi aku cukup mampu, untuk selalu ikut tertawa di saat melihat kamu bahagia sama orang lain”
“Sejauh ini ? setelah empat tahun ?”
“Silahkan kamu ketawa, tapi aku bahkan masih inget tanggal jadian kita, kapan kamu pertama kali manggil aku sayang, momen-momen kecil kita berdua, sampai sms-sms jayus kamu buat aku” tahu sudah tidak ada celah untuk menghindar, aku rasa ini saat yang tepat untuk memberitahunya semua.
Aku menghela nafas sejenak. “Aku minta maaf, maaf karena aku terus-terusan hidup di dalam kenangan kita..”
Ia menghampiriku, dan merengkuh kepalaku agar bersandar di dadanya. “Aku udah berubah. Aku bukan alvin empat tahun yang lalu”
“Aku tahu, seandainya aku juga bisa berubah seperti itu” bisikku. Suasana langsung berubah seketika. Pantai yang sepi, angin yang kencang, ombak yang menderu, menjadi latar yang terlalu sempurna, untuk percakapan yang harusnya di lakukan empat tahun ini.
“Dulu aku sayang banget sama kamu. Dan aku masih enggak ngerti, gimana kamu lebih percaya sama kata-kata orang lain, ketimbang aku. Kamu lepasin aku gitu aja, kamu tahu ? itu rasanya sakit..”
“Maaf..” ujarku.
“Kita pisah, dan kita enggak pernah jadi baik-baik. Saat itu aku berusaha, berusaha untuk yakinin diri aku kalau aku bisa tanpa kamu, dan ternyata aku bisa, aku bisa berubah..” lanjutnya lagi. Kami berdua sama-sama memandang ke arah lautan lepas.
“Sampai kamu datang lagi, untuk minta maaf sama aku. Kamu pasti masih ingat dengan jelas, gimana saat itu aku menolak kehadiran kamu. Aku tahu, tindakanku terlalu pengecut saat itu, dan alasanku terlalu dangkal, aku dendam sama kamu, dan aku mau kamu ngerasain apa yang aku rasain karena ulah kamu” aku benar-benar hanya bisa mendengarkan ceritanya dalam kebisuan ini.
“Dan akhirnya aku sadar, kaya gitu cuma bakal bikin sampah di hati aku. Akhirnya kita jadi teman, tapi kaya yang aku bilang, aku udah berubah, begitupun dengan semua rasa itu. Aku enggak munafik, ada waktu-waktu dimana aku bisa senyum-senyum sendiri saat aku ingat kamu, pacar pertamaku, cinta pertamaku..”
“Waktu aku lagi nemenin adek aku ke toko buku, aku lihat novel kamu, dan aku bangga, orang yang aku kenal sekarang jadi terkenal. Jujur, aku enggak suka baca novel cewek kaya gitu, tapi entah kenapa, aku langsung tertarik dengan kata-kata yang ada di cover belakang novel itu”
“Kamu tahu rasanya menyesal ? jika tidak, percayalah padaku, jangan pernah mencoba untuk melakukan kesalahan, apalagi sampai melepaskan ia yang kamu sayang, begitu saja..” lagi-lagi aku memotong kata-katanya, lagipula itukan novelku, tentu aku juga tahu, kalimat apa yang ia maksud.
“Ya, kata-kata itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung beli novel kamu, dan aku langsung baca. Sepanjang membaca novel itu, aku bahkan ngerasa bisa nebak bagian bab berikutnya, aku tahu, ada adegan makan bakso berdua setelah latihan drama di sekolah, aku tahu, ada surprise ulang tahu pakai tepung, dan aku juga tahu, bagaimana cara mereka putus, tanpa perlu aku baca novel itu sampai selesai. Hebat kan aku ?” aku hanya tersenyum simpul menanggapinya.
“Tiba-tiba kemarin, aku lihat kamu di antara orang-orang yang datang. Dan aku memang udah punya rencana sebelumnya, aku pengen kita ketemu, aku pengen kita ngebahas ini. cerita kita memang udah selesai, tapi terlalu banyak bagian gantung yang kita biarin gitu aja kan..”
“Seharian ini kita bareng, seharian ini aku berusaha untuk melihat kamu dari mata yang sama seperti empat tahun lalu. Tapi itu ternyata enggak segampang yang aku kira. Aku bisa balik sama kamu, tapi aku enggak bisa, balik jadi alvinnya kamu yang dulu”
Entahlah, tapi aku merasa setuju dengan ucapannya barusan. Keadaan kembali hening beberapa menit. Aku mengangkat wajahku, melihat ke arahnya, tampaknya ini bagianku untuk berbicara.
“Kamu orang pertama yang aku ijinin untuk masuk dan memenuhi relung-relung hati aku, dan kamu juga orang pertama yang ngasih tahu aku, rasanya sakit, sakit karena aku terlalu dalam mencintai seseorang”
“Aku tahu, kesalahan ini bermula dari aku. Aku bersedia kembali dan memperbaiki semuanya, kalau itu memang bisa. Tapi kaya yang kamu bilang, kamu udah berubah, dan aku bahkan enggak kenal, kamu yang sekarang kaya apa. Aku takut, takut sebenarnya alvin yang aku sayang, adalah alvin yang empat tahun lalu, bukan alvin yang saat ini duduk di samping aku..”
“Dan untuk semua perasaan ini, aku siap. Siap untuk melepaskan kamu, siap untuk melepaskan semua harapan aku..aku siap..”
“Aku sadar, kalaupun kita kembali bersama, mungkin perasaan itu cuma bakal jadi sesuatu yang semu. Aku sadar, cinta kita enggak lagi sama. Kita bukan lagi anak smp yang ngelihat cinta sebagai sesuatu keinginan untuk terlihat lebih dewasa. Kita berdua sekarang, jelas-jelas tahu, cinta lebih kepada kebutuhan untuk saling mengisi satu sama lain..”
“Kamu satu-satunya yang aku sayang, sejauh ini. empat tahun, dan aku enggak pernah lagi menjalani hubungan yang terasa sama atau malah lebih dari milik kita. Tapi aku enggak akan maksain apapun, aku juga enggak akan ngebebanin kamu dengan perasaanku, aku tahu, ini saatnya aku melepas kamu..” Alvin meraba rambutku, lalu mengusapnya pelan, dan sejurus kemudian ia mengecup ubun-ubunku.
“Maafin aku ze..”
“Kamu enggak salah apa-apa..”
“Aku udah coba, tapi enggak bisa, aku mau, kalau aku kembali sayang sama kamu lagi, aku mencintai kamu sesempurna dulu, tanpa cela sedikitpun, aku enggak mau cuma ngasih kamu sekedar rasa sayang. Makasih untuk semua pengertian kamu..” aku hanya mengangguk. Diam-diam aku sedang menahan air mataku, bagaimanapun aku ini perempuan, mahluk yang akan menumpahkan segala yang ia rasa melalui cairan bening itu.
Setelah empat tahun, aku hanya mencintainya, untukku sendiri secara diam-diam. Hari ini aku berikrar untuk melepaskannya, untuk membebaskannya dari belengguku, karena aku tahu, bukan aku lagi yang bisa membuat dunianya berwarna, karena aku tahu, bunga yang telah layu tidak akan pernah segar kembali, seperti juga cinta ini.
Ia berdiri dan menyodorkan tangannya ke arahku. “Mau pulang sekarang ?”
Aku menerima tangannya, dan mengangguk. Kami kembali ke mobil, dan kembali berdiam diri. Separuh perjalanan, nampaknya ia mulai jengah dengan keadaaan ini, ia mulai mengutak-atik radionya, mencari saluran yang bisa di tangkap mobilnya di tengah tempat sepi ini.
Dan entah sebuah kebetulan, atau mungkin memang kehendak nasib. Sebuah lagu mengalun, memenuhi mobil ini, ikut mengisi perjalanan pulang kami.
Menahun, ku tunggu kata-kata
Yang merangkum semua
Dan kini ku harap ku dimengerti
Walau sekali saja pelukku
Tiada yang tersembunyi
Tak perlu mengingkari
Rasa sakitmu
Rasa sakitku
Tiada lagi alasan
Inilah kejujuran
Pedih adanya
Namun ini jawabnya
Aku melirik ke arahnya, dan tampaknya ia pun mengerti dengan maksudku. Ia tersenyum tipis, begitupun denganku. Aku dan Alvin mulai ikut bernyanyi.
Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Sadari diriku pun kan sendiri
Di dini hari yang sepi
Tetapi apalah arti bersama, berdua
Namun semu semata
Tiada yang terobati
Di dalam peluk ini
Tapi rasakan semua
Sebelum kau kulepas selamanya
Tak juga kupaksakan
Setitik pengertian
Bahwa ini adanya
Cinta yang tak lagi sama
Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Dan kini ku berharap ku dimengerti
Walau sekali saja pelukku
***
Mobilnya berhenti tepat di depan rumahku. Aku tersenyum ke arahnya, dan bergegas segera turun dari mobil. “Makasih ya buat hari ini..”
Tanpa menoleh, aku berjalan cepat ke dalam rumah. Aku ingin segera masuk ke kamar, dan memeluk bantalku, menumpahkan semua air mata yang sejak tadi masih aku tahan. Ketika tiba-tiba sebuah tangan menarik tanganku hingga berbalik, dan langsung mendekapku bersama tubuhnya.
Alvin memelukku. Tanpa kata-kata, ia terus mengeratkan pelukannya. Sesuatu yang bahkan dulu tidak pernah kami lakukan, namun meski baru pertama, rasanya tetap hangat untukku.
“Kenapa ?” tanyaku pelan.
“Maaf..” bisiknya. “Anggap aja ini pelukan persahabatan dari aku” sambungnya lagi. Aku hanya tersenyum, toh aku juga menikmati ini. Akhirnya alvin melepaskan pelukannya, ia tersenyum ke arahku, dan mengacak sedikit poniku.
“Aku pulang ya, setelah ini kita bisa kan sahabatan kaya dulu lagi ?” tanyanya. Aku hanya tersenyum, ia melambaikan tangannya sambil menjauh, dan kembali ke mobilnya. Aku sendiri juga langsung masuk ke dalam rumah, seiring dengan suara mobilnya yang mulai menghilang.
Terlihat kedua orang tuaku sedang duduk di ruang keluarga, wajah mereka tampak agak berbeda. Aku duduk di samping mamaku. “Kenapa ma ?” tanyaku penasaran.
“Ayah pindah ke semarang ze, kamu mau ikut pindah, atau...”
“Iya mah aku ikut pindah” jawabku cepat sebelum mamaku menyelesaikan bicaranya.
“Yakin ? enggak sayang sama sekolah kamu, tinggal setahun lagi lho” ujar ayahku.
Aku hanya menggeleng. “Aku mau ikut pindah. Ya udah, aku capek, mau ke kamar..” pamitku langsung ngacir ke kamar.
Di atas ranjangku, aku memeluk diriku sendiri dengan kedua tanganku, merasakan aroma tubuh alvin yang masih terasa jelas di tubuhku. Setitik air mataku mengalir dari ujung-ujung mata.
“Maaf alvin, aku enggak seberani yang kamu kira, aku takut untuk benar-benar melepas kamu, aku takut, karena aku mencintaimu..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar