Senin, 16 Agustus 2010

Indonesia Tumpah Darahku (cerpen)

Segerombolan anak laki-laki, berjalan mengendap-ngendap layaknya maling sambil membawa tas mereka, terpeta gurat tawa dan senyum jahil di wajah mereka masing-masing. Tinggal selangkah lagi, tempat yang ingin mereka tuju, gerbang belakang sekolah, akan mereka capai.


“KABUR LAGI YA !!” teriakan yang sanggup memekikan telinga berkumandang di belakang mereka. Empat orang siswa itu langsung terdiam seketika, tidak ada yang berani menoleh sama sekali.

“KALIAN BEREMPAT IKUT SAYA KE RUANG HUKUMAN ! SEKARANG !” dengan langkah gontai, mereka berjalan mengikuti guru killer yang ada di hadapan mereka.

Dari balik kacamatanya, sorotan tajam menghujam langsung ke arah empat orang laki-laki itu. Menatap tanpa ampun sekaligus lelah, lelah karena ini bukan untuk pertama kalinya.

“Bapak enggak ngerti sama jalan pikiran kalian, apa sih salahnya berdiri tiga puluh menit untuk hormat sama bendera seminggu sekali” ucapnya ketus, masih sambil terus memandangi mereka satu persatu.

“Kamu iel ! apa alasan kamu enggak mau ikut upacara bendera ?!” iel yang di tunjuk pertama, menatap teman-temannya yang lain yang duduk di kanan kirinya.

“Jawab !” gertaknya tidak sabaran.

“Saya males pak ikut upacara, capek berdirinya, mana harus diem terus, gerak sedikit aja enggak boleh” ujar iel akhirnya. Pak yanto, guru mereka, hanya dapat mendengus pelan mendengar jawaban iel.

“Selanjutnya, kamu rio !”

“Ehm..sama sih pak kaya iel, lagian juga sih, lapangan kita panasnya ampun-ampunan, gerah banget pak”

“Kamu cakka ?!”

“Pegel pak, apalagi kalo lagi sambutan kepala sekolah, bikin ngantuk, udah gitu pas bagian hormat bendera juga, posisi harus siap, enggak enak aja”

“Alvin ?!”

“Kalo upacara baju harus rapi pak, atribut harus lengkap, bikin males aja” jawab alvin sekenanya, menutup sesi tanya jawab ini. Pak yanto, tampak putus asa menghadapi siswa-siswa di hadapannya ini.

“Ini bukan untuk pertama kalinya kan kalian kabur saat upacara ?” semua kompak mengganguk.

“Tapi sayangnya kali ini, kalian juga tidak seberuntung biasanya karena saya berhasil memergoki kalian sebelum kalian berhasil buat kabur” lagi-lagi semuanya mengangguk secara bersamaan.

“Jadi saya akan memberikan kalian hukuman, dan...”

“Enggak bisa gitu dong pak, enggak ada aturan sekolah yang nyebutin kalo siswa di hukum karena tidak mengikuti upacara” protes iel tidak terima.

“Kamu benar iel, memang tidak ada aturan untuk ini secara tersurat, tapi ada aturan di sekolah ini yang berbunyi, untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, pancasila dan kenegaraan, jadi upacara termasuk dalam nilai kenegaraan, dan kalian sudah melanggar aturan itu”

“Baiklah, jadi sudah saya putuskan, hukuman untuk kalian berempat, adalah kerja sosial di panti jompo milik yayasan sekolah ini” lanjut pak yanto lagi.

Iel dan alvin kompak mendecakka lidah mereka, sementara rio dan cakka, pasrah menghadapi hukuman yang mereka terima. Terbayang di pikiran mereka masing-masing, harus mengurusi nenek dan kakek yang sudah tua dan reyot, tampak tidak mengasikkan sama sekali.

“Ada pertanyaan ?” iel, alvin, cakka dan rio menggeleng.

“Kalian boleh kembali ke kelas, dan ingat jangan coba-coba untuk lari dari hukuman ini, karena saya akan mengawasi kalian” mereka berempat mengangguk ogah-ogahan. Tanpa perlu di suruh dua kali, mereka langsung keluar dari ruangan itu, denga sejuta umpatan dan cibiran kesal untuk pak yanto tentunya.

***

Dari dalam mobil, alvin, cakka, rio dan iel mengamati bangunan dengan corak art deco di hadapan mereka. Ada rasa malas yang menjalar dan melilit hebat di tubuh mereka masing-masing untuk beranjak keluar dari mobil dan melaksanakan tugas ini.Tidak ada satupun bayangan apa yang harus mereka lakukan nanti.

“Yakin nih kita mau turun ? gue masih bisa bawa mobil ini keluar dari sini dan kita have fun” celetuk cakka yang hari ini bertindak sebagai sopir.

“Gue sih setuju-setuju aja sama ide lo kka, tapi gue males deh kalo abis ini hukuman kita bakal jadi dua kali lipet daripada ini” sahut alvin sambil masih terus memperhatikan rumah di depannya itu, yang sama sekali tidak menarik minatnya.

“Bener kata alvin, si yanto itu bakal punya banyak hukuman tambahan buat kita kalo hari ini kita cabut gitu aja” timpal rio.

“Ya udahlah, ayo kita turun, yang penting kita setor muka dulu sob” ujar iel. Bendera merah putih yang melambai-lambai di depan rumah, menyambut langkah kaki mereka. Dari ambang pintu yang terbuka, mereka dapat melihat dengan jelas, sosok-sosk tua yang berusia di atas lima puluh tahunan, asik dalam aktivitas mereka, ada yang menjahit, menyulam, bermain catur, atau malah hanya membaca koran sambil menikmati secangkir kopi panas.

“Permisi..” ujar rio sopan. Di ikuti oleh yang lain. Seorang kakek dengan tongkat di tangannya sambil berjalan tertatih-tatih menghampiri mereka berempat.

“Ada yang bisa di bantu ?”

“Kita dapat tugas dari sekolah buat kerja sosial disini kek, kenalin saya iel”

“Saya rio..”

“Cakka..”

“Alvin”

“Oh iya-iya, mari masuk ke dalam, nama saya Hadi” meski terlihat tua, tapi genggaman tangannya saat bersalaman masih kencang dan kuat, itulah yang dirasakan oleh empat sekawan tersebut. Setelah di kenalkan sana-sini, mau tidak mau, mereka berempat harus bergabung dengan para lansia tersebut.

Tidak mungkin untuk mereka, harus selalu berempat kemana-mana, karena itu akan tampak aneh sekali.

Sejak pertama melihat tadi, sesungguhnya iel telah nampak tertarik dengan sepasang kakek yang sedang bermain catur di sudut ruangan. Meski sedikit ragu, tapi ia mendekati dua kakek itu, menarik kursi dan duduk di antara mereka.

“Siapa nama kamu tadi ?” tanya salah satu kakek yang memegang bidak catur berwarna hitam.

“Saya gabriel kek, tapi biasa di panggil iel”

“Nama saya Rahmat..”

“Kalo kakek ?” tanya iel ke kakek yang satunya.

“Kamu bisa panggil saya kakek Ali”

“Kakek suka main catur ?” tanya iel basa-basi agar tidak ada suasana canggung di antara mereka. Dua kakek itu tertawa mendengar pertanyaan iel, membuat iel mengerutkan keningnya, tidak mengerti bagian mana yang lucu.

“Ada yang lucu ya kek ?”

“Bukan-bukan. Bagi kami berdua, catur adalah simbol kenangan masa lalu” sahut kakek rahmat.

“Kenangan masa lalu ?”

“Iya, kami berdua ini, dan hampir seluruh yang tinggal disini adalah veteran. Kami hidup sejak jaman belanda, jepang, hingga merdeka sekarang”

“Kakek pahlawan ?” tanya iel polos sekaligus kagum.

“Tidak semua pahlawan terdata dalam buku sejarah kan” ujar kakek ali sedikit sarkatis, yang membuat iel merasa tidak enak.

“Maaf kek, maksud saya, ehm...”

“Udah-udah, kakek tahu kamu enggak maksud. Tapi kesini-sini, pemuda dan pemudi kita memang lebih cuek terhadap sejarah masa lalunya kan” iel menggaruk belakang tengkuknya meski tidak gatal, ada sentilan halus yang terasa di ulu hatinya.

“Tadi kakek bilang, catur simbol kenangan masa lalu, emangnya kenapa kek ?”

“Dulu, hampir setiap saat kita semua harus waspada, berjaga-jaga supaya para penjajah-penjajah itu tidak masuk ke daerah pertahanan itu. Kita semua jauh dari rumah, dari istri, anak, saudara, saat itu juga belum ada tv seperti sekarang, nah satu-satunya hiburan bagi kita, adalah catur..” jelas kakek rahmat sambil kembali menjalankan bidak-bidaknya.

“Kalau ingat jaman itu, kita semua meski bermain catur dan tertawa gembira, tapi senjata tetap sedia di tangan. Bila di ingat-ingat lagi, rasanya saat itu tidak mungkin untuk melawan belanda ataupun jepang yang kekuatannya di atas rata-rata penduduk indonesia..” timpal kakek ali.

“Nyatanya kita merdeka juga kan kek sekarang”

“Merdeka untuk sesaat, miris hati kakek sekarang kalo lihat berita di tv ataupun koran. Apa yang di lakukan oleh orang-orang jaman sekarang, merasa bertindak paling benar, tapi tidak pernah sekalipun mengingat sejarah bangsanya sendiri, aliran darah para pahlawannya” tambah kakek rahmat.

“Anak muda jaman sekarang, hapal berbagai macam lagu dari luar ataupun dalam negeri, tapi lagu indonesia raya, lagu bangsanya sendiri, masih suka salah saat menyanyikannya. Banyak juga, orang tua-orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah internasional, pakai bahasa inggris, giliran harus berbahasa indonesia lafalnya menjadi tidak jelas” sahut kakek ali lagi.

“Masih untung mereka mengenal Soekarno dan Hatta, tapi memang pahlawan indonesia hanya mereka saja, tidak ada yang lain..” ujar kakek rahmat. Iel hanya tersenyum sambil ikut mengangguk-anggukan kepalanya mendengar ucapan-ucapan yang terlontar dari dua pejuang yang terlupa ini, ada semacam rasa malu yang bersemayam di hatinya, rasa malu yang selama ini tidak pernah sekalipun ia pikirkan.

Di ruangan lain, rio mulai tampak akrab berbincang dengan seorang kakek. Kakek itu berkata, rio mirip dengan cucunya yang saat ini sedang tinggal di luar negeri. Terbersit rasa kasihan di diri rio, melihat kakek tua ini, yang harus menikmati masa tuanya sendiri tanpa keluarga di sampingnya.

“Kakek, kenapa enggak ikut anak kakek aja ke luar negeri ?” pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di otaknya, akhirnya dapat ia utarakan juga.

“Kakek enggak akan betah tinggal negara orang”

“Lho, emang kenapa ? kan disana kakek bisa tinggal sama kelurga kakek”

“Pikiran anak jaman sekarang memang beda dengan pikiran orang jaman dulu. Anak sekarang berlomba-lomba mau ninggalin tanah airnya, sementara orang jaman dulu berusaha mati-matian untuk mempertahankan negaranya” ujar kakek tersebut sambil tersenyum tipis ke arah rio.

“Tapi mimpi kan memang harus setinggi-tingginya kek, kalo emang kesempatan itu datang dari luar, kenapa enggak ?”

“Kamu benar nak, asal dia tidak jadi lupa dengan asalnya, tidak melupakan nasi sebagai makanan pokoknya, tidak melupakan budaya daerahnya, tidak melupakan asal-usulnya..”

“Itu kan tergantung orangnya kek, lagian penghargaan negara ini yang kurang sama warganya”

“Nah itu dia, tapi pada kenyataanya kita memang udah gagal kan buat mempertahankan itu semua. Dulu kita semua angkat senjata, tua, muda, perempuan, laki-laki, kita semua saling bahu membahu untuk menciptakan negara sendiri, apa kakek dan teman-teman kakek yang udah mempertaruhkan semuanya ini, enggak pantes dapet penghargaan ? kita semua pantes kan. Tapi pada saat itu, enggak ada satupun dari kita berpikir ke arah sana, karena yang kita inginkan cuma satu, hak untuk merdeka dari segala penjajahan”

“Jadi kakek, lebih milih sendirian disini, daripada di ada di tengah-tengah keluarga kakek ?” tanya rio kembali ke topik awal.

“Kamu lihat ke sekitar kamu sekarang..” rio memperhatikan sekelilingnya, yang di penuhi dengan orang-orang tua.

“Kamu lihat mereka, mereka itu teman kakek, bersama mereka kakek bisa mengobrol soal semuanya, kebanggaan-kebanggaan yang orang jaman sekarang enggak bisa dapetin”

“Apa kek ?”

“Rasa nasionalisme yang menggebu dan tidak akan pernah mati” rio diam, hatinya merasa janggal dengan kalimat itu meski telinganya telah sering mendengar hal tersebut.

“Nasionalisme kek ?”

“Iya, disini, di dalam tubuh kakek, rasa yang akan selalu bergetar, seminimal-minimalnya saat lagu indonesia raya berkumandang” rio tersenyum tipis meski datar. Ia sering merasa takjub dengan lagu-lagu yang ia dengarkan, tapi sejujurnya itu tidak pernah terjadi saat ia mendengar lagu kebangsaanya sendiri.

Tidak jauh berbeda dengan iel dan rio, cakka pun sedang menemani salah seorang penghuni panti jompo ini. Bedanya bila rio dan iel menemani kakek-kakek, maka saat ini cakka duduk disamping seorang nenek, yang tampak bersemangat dengan sulaman di tangannya, meski cakka yakin, kemampuan matanya tidak lagi prima.

“Winarno siapa nek ?” tanya cakka penasaran saat menemukan nama itu di atas sulaman nenek tersebut.

“Nama suami nenek”

“Dia tinggal disini juga ?” nenek itu meletakkan sulamannya, memandang cakka sambil tersenyum.

“Bapak sudah enggak ada, meninggal waktu perang” cakka tersenyum getir, merasa tidak enak dengan pertanyaannya tadi.

“Maaf nek, saya enggak tahu..”

“Enggak apa-apa, kejadiannya juga kan udah berpuluh-puluh tahun yang lalu” cakka memandang raut wajah tua di hadapannya ini, sorot matanya tampak teduh, dan cakka yakin nenek ini cantik sewaktu mudanya dulu.

“Dan nenek masih mengingat suami nenek sampai sekarang ?” tanya cakka, kali ini pelan-pelan.

“Nenek menikah umur 17 tahun, enggak lama abis itu, bapak mendaftar jadi tentara sukarelawan. Sejak itu, kita cuma ketemu seminggu sekali, itupun karena nenek juga ikutan jadi dapur umum. Sampai suatu hari, ada serangan tiba-tiba dari jepang, nyerang kantor bapak, bapak ketembak sama tentara jepang, dan akhirnya meninggal..”

“Nenek setia ya..” sahut cakka.

“Waktu bapak daftar jadi tentara, nenek udah tahu resikonya, tapi bapak enggak bisa di lawan, saat itu keinginannya untuk ikut mempertahankan negara ini cukup besar, jadi nenek enggak bisa apa-apa lagi”

“Nenek enggak nyesel ?”

“Nyesel buat apa ? nenek malah bangga, bangga sama bapak yang meninggal karena membela negara yang dicintainya, karena darahnya tumpah buat negara yang di hormatinya. Makanya nenek heran, jaman sekarang kok kayaknya orang pada enggak peduli sama negaranya sendiri, padahal mereka tinggal hidup nyaman disini...”

“Kalo waktu bisa di putar, nenek bakal tetep ngijinin suami nenek buat ikut perang ?” lagi-lagi cakka melontarkan sebuah pertanyaan.

“Kalo waktu bisa di putar lagi, nenek bahkan rela ikut meninggal sama bapak, daripada hidup sampai sekarang”

“Lho kenapa ?”

“Hidup sampai sekarang malah bikin nenek sedih, ngelihat banyak orang yang enggak ngehargain jasa-jasa pahlawan yang udah berjuang mati-matian..” cakka mengangguk pelan, ia merasa telah menjadi bagian dari orang-orang yang membuat nenek ini dan pejuang lainnya sedih. Cakka sendiri mengakui, ia tidak mengenal banyak tentang sejarah dan pahlawan bangsanya, ia lebih banyak tidur atau malah cabut ke kantin bila ada pelajaran sejarah di sekolahnya.

Alvin juga melakukan hal yang sama dengan yang lainnya. Sejak tadi ia menemani kakek hadi duduk-duduk di halaman belakang panti tersebut.

“Kalian sahabatan berempat ?”

“Iya kek, kita temenan deket dari dulu, makanya kemana-mana juga bareng”

“Dulu kakek juga punya sahabat, kita besar di kampung kecil di pulau jawa. Selalu berdua kemana-mana, dia itu kaya pahlawan buat kakek, waktu dia daftar jadi tentara, kakek juga ikutan, bedanya kalo dia karena pengen ikut perang, kalo kakek karena enggak mau pisah sama dia..” alvin diam menyimak, sudah sejak tadi kakek hadi mendongengkannya beberapa cerita.

“Apa-apa kalo di lakuin setengah-setengah, emang enggak pernah bagus. Kakek contohnya, karena emang enggak niat dari hati, waktu itu, temen-temen seangkatan kakek, udah di bolehin pegan senjata, kakek belom, gara-gara tembakan kakek enggak pernah tepat sama sasaran dan lebih sering ngebahayain temen sendiri. Jadi kalo giliran kakek jaga, sahabat kakek inilah yang ngelindungin kakek. Sampai akhir hayatnya, sahabat kakek juga meninggal karena nyelametin kakek, kakek merasa bersalah banget waktu itu...” alvin tersenyum maklum, melihat mata kakek hadi yang sedikit berkaca-kaca.

“Sejak saat itu, kakek janji, kakek enggak akan setengah-setengah lagi. Kakek berusaha mengejar ketinggalan kakek, kakek pelajari cara-cara penggunaan senjata, kakek merasa punya utang budi sama sahabat kakek itu, jiwa nasionalisme kakek juga terpupuk, kakek maju di garis depan, bukan lagi untuk sekedar ikut-ikutan, tapi atas nama sahabat kakek, dan bagsa ini” ada semangat yang membara yang alvin tangkap dari nada bicara kakek hadi, yang mau tidak mau, menular juag kepadanya.

“Dan ini buktinya..” kakek hadi menggulung celananya hingga betis, tampak sebuah lingkaran kehitaman disana, di sekelilingnya juga terlihat banyak bekas luka.

“Bekas apa kek ?” tanya alvin penasaran.

“Ini luka tembak, dan kakek bangga sama ini”

“Kenapa ?” tanya alvin heran.

“Karena ini kenang-kenangan nyata, kalo kakek pernah ikut serta dalam sejarah bangsa ini” alvin tersenyum tipis, bingung ia mengatakan apa.

“Kalian berempat kenapa harus kerja sosial disini ?” pertanyaan kakek hadi ini, membuat alvin sedikti kikuk, malu bila mengingat alasan hukuman mereka.

“Enggak apa-apa bilang aja” sambung kakek hadi lagi yang nampak mengerti dengan gelagat alvin.

“Kita dapat hukuman dari sekolah kek, gara-gara sering kabur kalo upacara senin..” jawab alvin pelan, tidak berani menatap mata kakek hadi, kakek hadi terkekeh mendengarnya.

“Anak muda-anak muda..”

“Maaf kek, kita emang bukan generasi muda yang baik, tapi denger cerita kakek, bikin saya malu, malu karena kita yang cuma disuruh ikut upacara selama tiga puluh menit aja pake kabur-kaburan segala, gimana kalo kita disuruh pulang yang taruhannya nyawa” ujar alvin tulus dari dalam hati.

Kakek hadi menepuk-nepuk pundak alvin “Enggak apa-apa, yang penting sekarang kamu tahu dan sadar”

“Iya kek, makasih..” kakek hadi tersenyum, kemudian ia melirik jam tangannya.

“Ayo ikut kakek ke halaman depan”

“Ada apa kek ?”

“Upacara penurunan bendera” meski tidak sepenuhnya mengerti, tapi alvin tetap patuh mengikuti. Ia membantu kakek hadi berjalan. Sesampainya di halaman depan, para penghuni lain yang sudah berkumpul, termasuk juga iel, rio dan cakka.

“Ngapain sih ?” tanya alvin sambil menghampiri ketiganya.

“Upacara penurunan bendera” jawab rio singkat.

“Itu gue juga tahu, maksud gue, kenapa di turunin ?”

“Kata kakek rahmat, ini termasuk penghormatan sama bendera merah putih, udah ritual setiap hari” sahut iel, yang membuat cakka, rio dan alvin mengangguk.

“Lo tahu enggak, gue dapet banyak di panti ini, pelajaran tentang nasionalisme” ujar rio.

“Gue juga, ngerasa di tampar gue disini” timpal cakka.

“Bener lo, gue juga ngerasa hal yang sama” tambah iel.

“Intinya, mulai senin besok dan seterusnya, gue enggak akan cabut lagi pas upacara, kalo perlu gue mau minta sama pak yanto buat jadi petugas upacara” sambung alvin yang di setujui ketiganya.

“Ssstt, uapacara mau di mulai..” seorang kakek yang berdiri di depan mereka mengingatkan.

“Kepada sang saka merah putih hormat grak !” meski tidak lantang dan terkesan bergetar karena usia, tapi suara kakek ali yang saat ini bertindak sebagai pemimpin upacara tetap terasa bersemangat. Alvin, rio, iel dan cakka yang selama ini malas, berdiri tegak sambil hormat ke arah bendera yang di turunkan, dan berjanji dalam hati, mulai saat ini, mereka akan menjadi penerus yang menghargai jasa pahlawan, generasi muda yang akan peduli dengan nasib bangsanya. Mereka siap, berdiri tegak menantang matahari, untuk melihat sang saka berkibar, untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, bahwa masih ada rasa kebangsaan yang mengalir disana, masih ada kiwa nasionalisme yang menggelegar dan tidak akan padam.

Indonesia raya..

merdeka..merdeka..

tanahku negeriku

yang kucinta..

Indonesia raya..

merdeka..merdeka..

hiduplah indonesia raya..

Minggu, 15 Agustus 2010

Kita Pernah Ada

Aku menatap kerumunan orang yang ada di hadapanku, yang nampak begitu menikmati suasana pensi kali ini. Sementara aku memlilih untuk diam bersandar di dinding, sambil sesekali menoleh ke arah jam tanganku, berharap temanku yang telah berjanji untuk datang kemari akan segera menampakkan batang hidungnya di hadapanku.
Bukan aku tidak suka berada disini, hanya saja menikmati pensi semeriah ini sendirian, menurutku akan terasa sangat aneh. Beberapa kali aku melempar senyum ke arah orang-orang yang aku kenal, dan cukup tergiur saat mereka mengajakku bergabung bersama, hanya saja mengingat temanku-yang-entah-ada-dimana sekarang itu membuatku mengurungkan niat, dan lebih memilih untuk terus menunggunya.
Pandanganku memperhatikan ke segala arah. Mengamati semua yang ada disini. Mataku berhenti di satu titik. Tanpa sadar aku terus memperhatikan sosok itu. Tidak banyak yang berubah. Bahkan jantungku ikutan bereaksi dengan mengubah tempo iramanya menjadi sangat cepat. Dia nampak berjalan ke arahku, dan jujur, itu membuatku bingung harus apa aku sekarang. Aku segera merogoh hpku, dan mulai sibuk mengutak-atiknya.
“Hei ..” aku menggigit bawah bibirku, ketika dia dengan suaranya yang familiar menepuk pundakku.
“H..hai..” balasku, tanpa berani menatap ke arahnya. Sama sekali tidak berani.
“Lama enggak ketemu, gimana kabar lo ?” tanyanya ramah. Tidak sadarkah ia bahwa aku sedang dilanda gugup tingkat tinggi saat ini.
“Baik..” ujarku singkat. Diam-diam aku berusaha mengumpulkan keberanianku.
“Kok jawabnya singkat banget sih” aku langsung melakukan aksi geleng kepala kuat-kuat, padahal itu malah membuatku tampak semakin aneh, karena aku melakukannya tetap dengan kepala tertunduk.
“Sebenernya gue masih pengen banyak ngobrol sama lo, tapi gue udah di tunggu sama temen-temen gue, ehm..siniin deh tangan lo..” tanpa babibu, ia langsung menarik tanganku, dan aku tentu saja hanya bisa pasrah, tidak mengerti apa yang akan ia lakukan.
Dan alangkah terkejutnya aku, ketika ia dengan santainya menulis di atas telapak tanganku.
“Nah, ini nomer hp gue, kapan-kapan kita smsan ya, bye..” dia melambaikan tangannya ke arahku sambil tersenyum. Membiarkan aku membeku sendiri, mengamati deretan angka yang tertera di atas tanganku. Sepulas senyum tipis tergambar di wajahku, meski aku berusaha meredamnya, tapi kebahagian itu, tetap datang sendiri merasuk ke jiwaku.
Dalam sebuah masa..
Pernah ada aku dan kamu..
Terjalin indah dalam lintasan..
Membentuk satu asa..
Dia adalah, orang yang pernah menemaniku. Orang pertama yang mengenalkan padaku, apa itu cinta dan bagaimana menjalaninya. Orang yang pernah mewarnai hari-hariku dengan berbagai macam caranya yang khas, yang mampu membuatku selalu merasa nyaman saat ada di dekatnya.
Dalam sebuah waktu..
Rasa itu pernah ada..
Merasuk rindu dalam tubuh..
Mengikat jiwa yang bahagia..
Menjalani waktu-waktu bersamanya, membuat aku selalu menantikan kehadirannya dalam setiap hal di hidupku. Memiliki dan dimiliki olehnya, menjadi sesuatu yang baru untukku. Dan dia yang menerimaku apa adanya, layaknya seorang guru kehidupan yang mengajarkanku banyak hal yang tidak aku ketahui sebelumnya.
Dalam sebuah kisah..
Cerita ini pernah tercipta..
Melukis setiap senyum dalam tawa..
Menyisipkan langkah menjadi kenangan..
Aku bangga pernah mengenalnya dan menjadi bagian dari hidupnya. Dia yang selalu bisa menjadikanku istimewa dan dia yang ku lepaskan begitu saja. Rasa penyesalan itu masih ada, ketika dengan bodohnya aku, menukar semua kebahagian itu dengan akhir dari hubungan kami. Dan ajaibnya, hingga saat ini, aku masih mengharapkannya, ada disini, seperti dulu yang selalu ia perbuat untukku.
Dari tempatku berdiri, aku terus mengamatinya. Ia tampak tertawa bersama teman-temannya, dan itu cukup membuat aku bahagia. Meski aku tahu, ini munafik dan semu, tapi memang ini yang aku rasa.
Seharusnya aku tidak boleh terus menerus melihatnya. Karena semakin aku memperhatikan semua yang ia lakukan, semakin dalam juga rasa itu terus terpupuk dan mengendap di dalam hatiku.
Setidaknya dulu aku sudah pernah bersamanya, dan saat ini, harusnya aku cukup menjadikan semua itu sebagai memori terindah dalam perjalananku. Bukan terus seperti ini, seolah menginginkan dia untuk kembali lagi masuk ke dalam hatiku, atau memang seperti itu keadaan yang sebenarnya.
Memperhatikannya terus menerus, malah akan membuatku tampak seperti orang dengan gangguan jiwa akut, karena senyum yang sejak tadi belum juga lenyap dari bibirku. Akhirnya aku putuskan, untuk melihat-lihat ke arah lain, untuk mencari pemandangan lain, meski hati kecilku, terus berteriak-teriak memanggil namanya.
Bohong, bila aku bilang, tidak senang bertemu dengannya saat ini. Setelah sekian tahun, kita berpisah, sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tapi baru melihatnya sekali ini saja, perasaan itu dengan hebat langsung mengguncang hatiku, memutarkan kisah-kisah yang dulu pernah terjadi dalam uraian waktu kita berdua. Aku meraba telapak tanganku dengan tanganku yang lain, merasakan tulisan tangannya, dan lagi-lagi aku tersenyum sendiri, menikmati sensasi kegilaanku karenanya.
“Eh, ada yang mau gue kenalin sama lo..” aku berbalik, suaranya menyapaku lagi, tapi kali ini bukan hanya ada kita melainkan juga ada seorang gadis manis yang jari jemarinya bertautan erat dengan jari jemari miliknya.
“Oh..siapa ?” jawabku berusaha santai sambil mulai memberanikan diri menatap matanya.
“Kenalin, dia ini cewek gue..” meski di ucapkan dengan senyumannya yang paling manis, kata-kata itu tetap saja terasa mengiris hatiku perlahan demi perlahan.
“Gu..gue..indi..” sapaku mengenalkan diri dan berharap suaraku tidak terdengar bergetar.
“Gue citra, tadi teo cerita sama gue kalo dia ketemu elo disini, makanya gue minta di kenalin” aku hanya tersenyum, satu-satunya hal paling mudah sekaligus paling pahit yang bisa aku lakukan untuk merespon ucapan gadis cantik itu.
“Ndi, gue sama citra kesana dulu ya, entar kita ngobrol-ngobrol lagi” untuk yang ini, aku malah hanya bisa mengangguk. Teo dan citra kompak tersenyum ke arahku, kemudian pergi meninggalkanku.
Lagi-lagi aku menatap barisan angka yang ada di telapak tanganku, bila tadi aku melakukan ini dengan senyum, maka kali ini, tetes-tetes air mata yang menemaniku.
Bukankah seharusnya aku tidak perlu menangis ? Untuk apa aku menangis sekarang ? Mengapa rasanya sakit ? Apa aku benar-benar masih mencintainya ?
Dengan langkah setengah berlari, aku berbalik dan menjauh. “Bruuk..”
“Maaf..” ujarku sambil menunduk.
“Indi ?” aku mengangkat kepalaku, dan langsung memeluk orang yang ada di depanku ini.
“Lo kenapa ? kemana aja sih ? gue cariin lho dari tadi..”
“Gu..e..enggak..apa-apa Vit..” jawabku lirih.
“Indi lo nangis ? lo kenapa ?” tanyanya sambil memaksa melepaskan pelukanku. Tapi aku malah mengeratkan tanganku, karena aku hanya ingin meluapkan semuanya saat ini, meski itu melalui lelehan air mata yang menyesakkan dada.
Vita tampak maklum, walau aku tahu ia tidak mengerti. Ia membalas pelukanku, dan mengelus-elus pungungku dengan sabar. Dan entah ini sebuah kebetulan atau apa, mataku lagi-lagi menangkap sosoknya, sedang menikmati suasana ini dengan gadis yang telah ia pilih sendiri, aku mencoba untuk tersenyum, setidaknya aku tahu, saat ini, meski ia bukan dan mungkin tidak akan lagi menjadi milikku, tapi kita pernah ada.
Menyayat teririsnya perih hatiku
Langkah yang tiada terarah
Entah kepada siapa mengiba
Udarapun berlalu dengan dinginnya
Lukisan awan menggntung diam
Kicauan burung senyap dalam sepi
Aku diam membisu cinta
Bahkan seribu kata rapat tersimpan
Tak ada bayangan hanya getiran
Tak ada yang jatuh hanya tersentak
Semua berhenti terdiam
Dan aku tersadar sendiri
Dia datang dan telah pergi
Meninggalkan cinta dan lukanya
Di relung hati terdalam

Rabu, 11 Agustus 2010

hujan saat crevo

tanggal 7 agustus kemarin, sekolah gue tercinta mengadakan sebuah pensi tahunan, yang biasa kita sebut CREVOLUTION

sebagai siswa yang baik dan tidak pelit, of course gue dateng dong. Lagian ini pensi terakhir gue di sma, masa-masa terakhir gue buat bebas dan senang-senang sebentar, karena setelah ini, gue bakal harus lebih serius lagi nyiapin buat UN dan UMPTN.

gue janjian sama dita dan listi buat nonton crevo, sayang galuh enggak bisa ikut, febby sama harry juga. sekitar jam limaan, gue di anter sama bokap ke sekolah, suasanya lagi ujan deres banget, sampai-sampai acara crevo di tunda dulu hampir satu jam..

tapi bukan hujan ini yang gue maksud.

sejujurnya gue cuma tahu kalo RAN jadi guest star di crevo, dan gue enggak gitu peduli sama yang lain, fyi gue dateng ke crevo emang cuma mau seneng-seneng doang, enggak gitu mentingin pengisi acaranya, hehehe. tapi pas gue iseng liatin tiket gue, gue baru sadar kalo THE RAIN ngisi acara juga, dan yaaaa, sebagai penikmat lagu-lagu THE RAIN, gue seneng bangetlah :))

dan tentu aja, bukan hujan ini juga yang gue maksud.

setelah kuping gue di manjakan dengan suara lembut dari Febrian ( yang suka dengerin radio pasti tahu lagunya yg judulnya "Cinta diam-diam") dan di guncang (??) sama hentakan drumnya seringai, beserta band-band lain yang gue lupa urutannya, akhirnya tiba juga giliran THE RAIN buat nyanyi. Lagu yang pertama di bawain, gue tahu, tapi enggak hapal, jadi deh gue cuma ikut gerak-gerakkin kepala doang, menikmati musik THE RAIN yang easy listening. nah pas lagu ke dua, THE RAIN bawain lagu yang emang udah gue tunggu-tunggu, dan bisa di pastikan, gue ikut nyanyi sama THE RAIN..

Tolong aku, sahabatku
Dengarkan jerit hatiku
Tentang dia, tentang dia
Masih s’lalu tentang dia

Sadar atau enggak, gue nyanyiin lagu ini pakai hati, fyi lagu ini emang sering nemenin gue kalo mau tidur. mulai masuk bait kedua, mata gue mulai memproduksi butir-butir air yang siap netes kapan aja..

Ajak aku, bersamamu
Kemanapun engkau mau
Tenangkan aku, tenangkan aku
Sabarlah tenangkan aku

Yang pernah membuatku merasa sempurna
Hingga aku pun menjanjikan semuanya
Namun ternyata mimpi yang dia punya
Berbeda, berbeda…

nah pas masuk ke bagian reff, air mata itu beneran tumpah, yaa, gue orang yang enggak suka kelihatan lemah di depan orang lain, malah nangis di tengah pensi. Dita yang berdiri di samping gue, langsung meluk gue, dan listi langsung ngampirin gue sambil nyodorin tisu. Di sela-sela tangis gue yang bikin sesek sesaat, gue ngerasa beruntung banget punya sahabat kaya mereka, yang emang beneran selalu ada saat gue butuh..

Aku tak’kan bisa, hidup tanpa dia
Dia yang membuat, aku bahagia
Tolong aku untuk, melupakan dia
Sungguh hanya itu, yang aku pinta

gue enggak nangis lama, tapi mungkin untuk beberapa detik itu, keadaan gue cukup enggak enak dilihat. gue juga enggak mau nangis, buat apa nangisin dia, buat apa nangisin orang yang udah pergi jauh dari hidup kita, buat apa nangisin orang yang cuma nganggep kita bagian masa lalunya..
 
tapi percaya deh, itu semua enggak semudah yang lo bayangin. apalagi waktu vokalisnya THE RAIN sempet ngomong di tengah-tengah lagu "buat yang punya mantan, ayo semuanya bayangin muka mantan kita, yang masih sayang sama mantannya, ayo kita nyanyiin lagu ini sama-sama.." ahhh, rasanya waktu itu, semua bener-bener terasa tepat buat gue. si listi sampai berulang kali bilang "jangan di dengerin nin, jangan di dengerin !" hahaha..
 
dan hujan inilah yang gue maksud. hujan yang turun dari kedua mata gue, mengalir membentuk sungai kecil di pipi gue, mengantarkan sejuta perasaan sayang juga kesetiaan, bercampur kebodohan dan harapan yang patah, hujan itu turun untuk beberapa saat. membuat gue sadar, kalo gue emang belom baik-baik aja, kalo gue emang belom bisa baik-baik aja..
 
dia datang. gue lihat dia, tapi seperti biasa gue enggak berani nyapa dia, bahkan gue enggak berani lihat matanya, enggak berani ngamatin dia, karena saat gue ngelihat dia, rasa itu malah akan semakin mencengkram hati gue kuat-kuat..
 
apa jadinya kalo dia sampai lihat air mata gue ? satu pertanyaan yang akhir-akhir ini suka mampir di otak gue. apa dia bakal ngerasa air mata itu buat dia ? atau malah dia bakal pura-pura enggak peduli..haahhh...gue enggak mau mikirin jawabannya. karena mungkin kenyataan yang bakal gue dapet kalo gue tahu jawaban dia, enggak akan bikin keadaan gue jadi jauh lebih baik..
 
yaaa, sebenernya agak aib sih, nyeritain curhatan kaya gini di blog yang bisa di baca banyak orang termasuk dia maybe, tapi ini blog gue, suka-suka gue juga kan mau ngisi apaan hehehe..
 
beribu terimakasih buat dita sama listi yang udah nemenin gue malem itu, yang tetep berdiri di tegak di samping gue, walaupun gue ancur banget, makasih juga buat akbar deh..hehehe..oh ya, kalo dita sama listi enggak nginep di rumah gue, apa jadinya gue ya ? hahaha
 
intinya gue bangga menyebut mereka sebagai sahabat, dan gue yakin kalopun sahabat gue yang lain ada disana, mereka juga bakal ngelakuin hal yang sama ke gue, thank you so much girls, love you..
 
dan buat dia, sekali lagi makasih, makasih udah bikin gue lemah lagi, makasih udah bikin gue bisa ngerasain arti hadirnya sahabat di hidup gue.
 
-cheers-

Senin, 09 Agustus 2010

stupid thing

dari sekian banyak hal bodoh yang pernah gue lakuin
mungkin ini salah satu yang terbodoh
atau malah yang paling bodoh
ahhh, yang jelas, ini bodoh..


entah kenapa dan gara-gara apa
gue masih aja inget dengan jelas tanggal ulang tahun lo
enggak pernah lupa sedikitpun
walaupun gue selalu berharap bisa lupain itu


dan kemarin, tepatnya enam hari kemarin
lo ulang tahun, ke 17
dan lo mau tahu apa yang gue lakuin


untuk sebuah alasan yang gue sendiri enggak tahu apa
gue tetep enggak tidur malem itu
walaupun gue tahu, kalo besoknya gue harus bangun pagi
gue tetep begadang malem itu
nunggu peralihan waktu
nunggu jam 12 malem tepat


dan saat jarum panjang dan jarum pendek itu
saling bersentuhan di angka 12


gue enggak nelpon elo
enggak dateng ke rumah lo
dan bahkan enggak sms lo


yang gue lakuin, cuma..
mejemin mata gue
berdoa buat lo
buat umur lo yang bertambah
buat hidup lo yang bahagia
buat langgengnya lo sama siapapun orang yang ada disamping elo sekarang


yeaaah, i'm a big looser !!


tapi kalo lo mau tahu
walaupun gue selalu inget tanggal ulang tahun lo
gue tahu, saat ini
gue sama sekali enggak berhak buat sekedar jadi orang yang pertama ngucapin itu ke elo
gue bukan orang yang elo harepin sebagai pengucap pertama di ulang tahun lo yang ke 17


dan meski gue tahu
itu perbuatan amat teramat sangat bodoh
gue bahagia
karena gue bisa buktiin ke diri gue sendiri


kalo..

gue masih ada disini
rasa itu masih ada disini

entah sampai kapan..


-cheers-