Minggu, 15 Agustus 2010

Kita Pernah Ada

Aku menatap kerumunan orang yang ada di hadapanku, yang nampak begitu menikmati suasana pensi kali ini. Sementara aku memlilih untuk diam bersandar di dinding, sambil sesekali menoleh ke arah jam tanganku, berharap temanku yang telah berjanji untuk datang kemari akan segera menampakkan batang hidungnya di hadapanku.
Bukan aku tidak suka berada disini, hanya saja menikmati pensi semeriah ini sendirian, menurutku akan terasa sangat aneh. Beberapa kali aku melempar senyum ke arah orang-orang yang aku kenal, dan cukup tergiur saat mereka mengajakku bergabung bersama, hanya saja mengingat temanku-yang-entah-ada-dimana sekarang itu membuatku mengurungkan niat, dan lebih memilih untuk terus menunggunya.
Pandanganku memperhatikan ke segala arah. Mengamati semua yang ada disini. Mataku berhenti di satu titik. Tanpa sadar aku terus memperhatikan sosok itu. Tidak banyak yang berubah. Bahkan jantungku ikutan bereaksi dengan mengubah tempo iramanya menjadi sangat cepat. Dia nampak berjalan ke arahku, dan jujur, itu membuatku bingung harus apa aku sekarang. Aku segera merogoh hpku, dan mulai sibuk mengutak-atiknya.
“Hei ..” aku menggigit bawah bibirku, ketika dia dengan suaranya yang familiar menepuk pundakku.
“H..hai..” balasku, tanpa berani menatap ke arahnya. Sama sekali tidak berani.
“Lama enggak ketemu, gimana kabar lo ?” tanyanya ramah. Tidak sadarkah ia bahwa aku sedang dilanda gugup tingkat tinggi saat ini.
“Baik..” ujarku singkat. Diam-diam aku berusaha mengumpulkan keberanianku.
“Kok jawabnya singkat banget sih” aku langsung melakukan aksi geleng kepala kuat-kuat, padahal itu malah membuatku tampak semakin aneh, karena aku melakukannya tetap dengan kepala tertunduk.
“Sebenernya gue masih pengen banyak ngobrol sama lo, tapi gue udah di tunggu sama temen-temen gue, ehm..siniin deh tangan lo..” tanpa babibu, ia langsung menarik tanganku, dan aku tentu saja hanya bisa pasrah, tidak mengerti apa yang akan ia lakukan.
Dan alangkah terkejutnya aku, ketika ia dengan santainya menulis di atas telapak tanganku.
“Nah, ini nomer hp gue, kapan-kapan kita smsan ya, bye..” dia melambaikan tangannya ke arahku sambil tersenyum. Membiarkan aku membeku sendiri, mengamati deretan angka yang tertera di atas tanganku. Sepulas senyum tipis tergambar di wajahku, meski aku berusaha meredamnya, tapi kebahagian itu, tetap datang sendiri merasuk ke jiwaku.
Dalam sebuah masa..
Pernah ada aku dan kamu..
Terjalin indah dalam lintasan..
Membentuk satu asa..
Dia adalah, orang yang pernah menemaniku. Orang pertama yang mengenalkan padaku, apa itu cinta dan bagaimana menjalaninya. Orang yang pernah mewarnai hari-hariku dengan berbagai macam caranya yang khas, yang mampu membuatku selalu merasa nyaman saat ada di dekatnya.
Dalam sebuah waktu..
Rasa itu pernah ada..
Merasuk rindu dalam tubuh..
Mengikat jiwa yang bahagia..
Menjalani waktu-waktu bersamanya, membuat aku selalu menantikan kehadirannya dalam setiap hal di hidupku. Memiliki dan dimiliki olehnya, menjadi sesuatu yang baru untukku. Dan dia yang menerimaku apa adanya, layaknya seorang guru kehidupan yang mengajarkanku banyak hal yang tidak aku ketahui sebelumnya.
Dalam sebuah kisah..
Cerita ini pernah tercipta..
Melukis setiap senyum dalam tawa..
Menyisipkan langkah menjadi kenangan..
Aku bangga pernah mengenalnya dan menjadi bagian dari hidupnya. Dia yang selalu bisa menjadikanku istimewa dan dia yang ku lepaskan begitu saja. Rasa penyesalan itu masih ada, ketika dengan bodohnya aku, menukar semua kebahagian itu dengan akhir dari hubungan kami. Dan ajaibnya, hingga saat ini, aku masih mengharapkannya, ada disini, seperti dulu yang selalu ia perbuat untukku.
Dari tempatku berdiri, aku terus mengamatinya. Ia tampak tertawa bersama teman-temannya, dan itu cukup membuat aku bahagia. Meski aku tahu, ini munafik dan semu, tapi memang ini yang aku rasa.
Seharusnya aku tidak boleh terus menerus melihatnya. Karena semakin aku memperhatikan semua yang ia lakukan, semakin dalam juga rasa itu terus terpupuk dan mengendap di dalam hatiku.
Setidaknya dulu aku sudah pernah bersamanya, dan saat ini, harusnya aku cukup menjadikan semua itu sebagai memori terindah dalam perjalananku. Bukan terus seperti ini, seolah menginginkan dia untuk kembali lagi masuk ke dalam hatiku, atau memang seperti itu keadaan yang sebenarnya.
Memperhatikannya terus menerus, malah akan membuatku tampak seperti orang dengan gangguan jiwa akut, karena senyum yang sejak tadi belum juga lenyap dari bibirku. Akhirnya aku putuskan, untuk melihat-lihat ke arah lain, untuk mencari pemandangan lain, meski hati kecilku, terus berteriak-teriak memanggil namanya.
Bohong, bila aku bilang, tidak senang bertemu dengannya saat ini. Setelah sekian tahun, kita berpisah, sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tapi baru melihatnya sekali ini saja, perasaan itu dengan hebat langsung mengguncang hatiku, memutarkan kisah-kisah yang dulu pernah terjadi dalam uraian waktu kita berdua. Aku meraba telapak tanganku dengan tanganku yang lain, merasakan tulisan tangannya, dan lagi-lagi aku tersenyum sendiri, menikmati sensasi kegilaanku karenanya.
“Eh, ada yang mau gue kenalin sama lo..” aku berbalik, suaranya menyapaku lagi, tapi kali ini bukan hanya ada kita melainkan juga ada seorang gadis manis yang jari jemarinya bertautan erat dengan jari jemari miliknya.
“Oh..siapa ?” jawabku berusaha santai sambil mulai memberanikan diri menatap matanya.
“Kenalin, dia ini cewek gue..” meski di ucapkan dengan senyumannya yang paling manis, kata-kata itu tetap saja terasa mengiris hatiku perlahan demi perlahan.
“Gu..gue..indi..” sapaku mengenalkan diri dan berharap suaraku tidak terdengar bergetar.
“Gue citra, tadi teo cerita sama gue kalo dia ketemu elo disini, makanya gue minta di kenalin” aku hanya tersenyum, satu-satunya hal paling mudah sekaligus paling pahit yang bisa aku lakukan untuk merespon ucapan gadis cantik itu.
“Ndi, gue sama citra kesana dulu ya, entar kita ngobrol-ngobrol lagi” untuk yang ini, aku malah hanya bisa mengangguk. Teo dan citra kompak tersenyum ke arahku, kemudian pergi meninggalkanku.
Lagi-lagi aku menatap barisan angka yang ada di telapak tanganku, bila tadi aku melakukan ini dengan senyum, maka kali ini, tetes-tetes air mata yang menemaniku.
Bukankah seharusnya aku tidak perlu menangis ? Untuk apa aku menangis sekarang ? Mengapa rasanya sakit ? Apa aku benar-benar masih mencintainya ?
Dengan langkah setengah berlari, aku berbalik dan menjauh. “Bruuk..”
“Maaf..” ujarku sambil menunduk.
“Indi ?” aku mengangkat kepalaku, dan langsung memeluk orang yang ada di depanku ini.
“Lo kenapa ? kemana aja sih ? gue cariin lho dari tadi..”
“Gu..e..enggak..apa-apa Vit..” jawabku lirih.
“Indi lo nangis ? lo kenapa ?” tanyanya sambil memaksa melepaskan pelukanku. Tapi aku malah mengeratkan tanganku, karena aku hanya ingin meluapkan semuanya saat ini, meski itu melalui lelehan air mata yang menyesakkan dada.
Vita tampak maklum, walau aku tahu ia tidak mengerti. Ia membalas pelukanku, dan mengelus-elus pungungku dengan sabar. Dan entah ini sebuah kebetulan atau apa, mataku lagi-lagi menangkap sosoknya, sedang menikmati suasana ini dengan gadis yang telah ia pilih sendiri, aku mencoba untuk tersenyum, setidaknya aku tahu, saat ini, meski ia bukan dan mungkin tidak akan lagi menjadi milikku, tapi kita pernah ada.
Menyayat teririsnya perih hatiku
Langkah yang tiada terarah
Entah kepada siapa mengiba
Udarapun berlalu dengan dinginnya
Lukisan awan menggntung diam
Kicauan burung senyap dalam sepi
Aku diam membisu cinta
Bahkan seribu kata rapat tersimpan
Tak ada bayangan hanya getiran
Tak ada yang jatuh hanya tersentak
Semua berhenti terdiam
Dan aku tersadar sendiri
Dia datang dan telah pergi
Meninggalkan cinta dan lukanya
Di relung hati terdalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar