Senin, 16 Agustus 2010

Indonesia Tumpah Darahku (cerpen)

Segerombolan anak laki-laki, berjalan mengendap-ngendap layaknya maling sambil membawa tas mereka, terpeta gurat tawa dan senyum jahil di wajah mereka masing-masing. Tinggal selangkah lagi, tempat yang ingin mereka tuju, gerbang belakang sekolah, akan mereka capai.


“KABUR LAGI YA !!” teriakan yang sanggup memekikan telinga berkumandang di belakang mereka. Empat orang siswa itu langsung terdiam seketika, tidak ada yang berani menoleh sama sekali.

“KALIAN BEREMPAT IKUT SAYA KE RUANG HUKUMAN ! SEKARANG !” dengan langkah gontai, mereka berjalan mengikuti guru killer yang ada di hadapan mereka.

Dari balik kacamatanya, sorotan tajam menghujam langsung ke arah empat orang laki-laki itu. Menatap tanpa ampun sekaligus lelah, lelah karena ini bukan untuk pertama kalinya.

“Bapak enggak ngerti sama jalan pikiran kalian, apa sih salahnya berdiri tiga puluh menit untuk hormat sama bendera seminggu sekali” ucapnya ketus, masih sambil terus memandangi mereka satu persatu.

“Kamu iel ! apa alasan kamu enggak mau ikut upacara bendera ?!” iel yang di tunjuk pertama, menatap teman-temannya yang lain yang duduk di kanan kirinya.

“Jawab !” gertaknya tidak sabaran.

“Saya males pak ikut upacara, capek berdirinya, mana harus diem terus, gerak sedikit aja enggak boleh” ujar iel akhirnya. Pak yanto, guru mereka, hanya dapat mendengus pelan mendengar jawaban iel.

“Selanjutnya, kamu rio !”

“Ehm..sama sih pak kaya iel, lagian juga sih, lapangan kita panasnya ampun-ampunan, gerah banget pak”

“Kamu cakka ?!”

“Pegel pak, apalagi kalo lagi sambutan kepala sekolah, bikin ngantuk, udah gitu pas bagian hormat bendera juga, posisi harus siap, enggak enak aja”

“Alvin ?!”

“Kalo upacara baju harus rapi pak, atribut harus lengkap, bikin males aja” jawab alvin sekenanya, menutup sesi tanya jawab ini. Pak yanto, tampak putus asa menghadapi siswa-siswa di hadapannya ini.

“Ini bukan untuk pertama kalinya kan kalian kabur saat upacara ?” semua kompak mengganguk.

“Tapi sayangnya kali ini, kalian juga tidak seberuntung biasanya karena saya berhasil memergoki kalian sebelum kalian berhasil buat kabur” lagi-lagi semuanya mengangguk secara bersamaan.

“Jadi saya akan memberikan kalian hukuman, dan...”

“Enggak bisa gitu dong pak, enggak ada aturan sekolah yang nyebutin kalo siswa di hukum karena tidak mengikuti upacara” protes iel tidak terima.

“Kamu benar iel, memang tidak ada aturan untuk ini secara tersurat, tapi ada aturan di sekolah ini yang berbunyi, untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, pancasila dan kenegaraan, jadi upacara termasuk dalam nilai kenegaraan, dan kalian sudah melanggar aturan itu”

“Baiklah, jadi sudah saya putuskan, hukuman untuk kalian berempat, adalah kerja sosial di panti jompo milik yayasan sekolah ini” lanjut pak yanto lagi.

Iel dan alvin kompak mendecakka lidah mereka, sementara rio dan cakka, pasrah menghadapi hukuman yang mereka terima. Terbayang di pikiran mereka masing-masing, harus mengurusi nenek dan kakek yang sudah tua dan reyot, tampak tidak mengasikkan sama sekali.

“Ada pertanyaan ?” iel, alvin, cakka dan rio menggeleng.

“Kalian boleh kembali ke kelas, dan ingat jangan coba-coba untuk lari dari hukuman ini, karena saya akan mengawasi kalian” mereka berempat mengangguk ogah-ogahan. Tanpa perlu di suruh dua kali, mereka langsung keluar dari ruangan itu, denga sejuta umpatan dan cibiran kesal untuk pak yanto tentunya.

***

Dari dalam mobil, alvin, cakka, rio dan iel mengamati bangunan dengan corak art deco di hadapan mereka. Ada rasa malas yang menjalar dan melilit hebat di tubuh mereka masing-masing untuk beranjak keluar dari mobil dan melaksanakan tugas ini.Tidak ada satupun bayangan apa yang harus mereka lakukan nanti.

“Yakin nih kita mau turun ? gue masih bisa bawa mobil ini keluar dari sini dan kita have fun” celetuk cakka yang hari ini bertindak sebagai sopir.

“Gue sih setuju-setuju aja sama ide lo kka, tapi gue males deh kalo abis ini hukuman kita bakal jadi dua kali lipet daripada ini” sahut alvin sambil masih terus memperhatikan rumah di depannya itu, yang sama sekali tidak menarik minatnya.

“Bener kata alvin, si yanto itu bakal punya banyak hukuman tambahan buat kita kalo hari ini kita cabut gitu aja” timpal rio.

“Ya udahlah, ayo kita turun, yang penting kita setor muka dulu sob” ujar iel. Bendera merah putih yang melambai-lambai di depan rumah, menyambut langkah kaki mereka. Dari ambang pintu yang terbuka, mereka dapat melihat dengan jelas, sosok-sosk tua yang berusia di atas lima puluh tahunan, asik dalam aktivitas mereka, ada yang menjahit, menyulam, bermain catur, atau malah hanya membaca koran sambil menikmati secangkir kopi panas.

“Permisi..” ujar rio sopan. Di ikuti oleh yang lain. Seorang kakek dengan tongkat di tangannya sambil berjalan tertatih-tatih menghampiri mereka berempat.

“Ada yang bisa di bantu ?”

“Kita dapat tugas dari sekolah buat kerja sosial disini kek, kenalin saya iel”

“Saya rio..”

“Cakka..”

“Alvin”

“Oh iya-iya, mari masuk ke dalam, nama saya Hadi” meski terlihat tua, tapi genggaman tangannya saat bersalaman masih kencang dan kuat, itulah yang dirasakan oleh empat sekawan tersebut. Setelah di kenalkan sana-sini, mau tidak mau, mereka berempat harus bergabung dengan para lansia tersebut.

Tidak mungkin untuk mereka, harus selalu berempat kemana-mana, karena itu akan tampak aneh sekali.

Sejak pertama melihat tadi, sesungguhnya iel telah nampak tertarik dengan sepasang kakek yang sedang bermain catur di sudut ruangan. Meski sedikit ragu, tapi ia mendekati dua kakek itu, menarik kursi dan duduk di antara mereka.

“Siapa nama kamu tadi ?” tanya salah satu kakek yang memegang bidak catur berwarna hitam.

“Saya gabriel kek, tapi biasa di panggil iel”

“Nama saya Rahmat..”

“Kalo kakek ?” tanya iel ke kakek yang satunya.

“Kamu bisa panggil saya kakek Ali”

“Kakek suka main catur ?” tanya iel basa-basi agar tidak ada suasana canggung di antara mereka. Dua kakek itu tertawa mendengar pertanyaan iel, membuat iel mengerutkan keningnya, tidak mengerti bagian mana yang lucu.

“Ada yang lucu ya kek ?”

“Bukan-bukan. Bagi kami berdua, catur adalah simbol kenangan masa lalu” sahut kakek rahmat.

“Kenangan masa lalu ?”

“Iya, kami berdua ini, dan hampir seluruh yang tinggal disini adalah veteran. Kami hidup sejak jaman belanda, jepang, hingga merdeka sekarang”

“Kakek pahlawan ?” tanya iel polos sekaligus kagum.

“Tidak semua pahlawan terdata dalam buku sejarah kan” ujar kakek ali sedikit sarkatis, yang membuat iel merasa tidak enak.

“Maaf kek, maksud saya, ehm...”

“Udah-udah, kakek tahu kamu enggak maksud. Tapi kesini-sini, pemuda dan pemudi kita memang lebih cuek terhadap sejarah masa lalunya kan” iel menggaruk belakang tengkuknya meski tidak gatal, ada sentilan halus yang terasa di ulu hatinya.

“Tadi kakek bilang, catur simbol kenangan masa lalu, emangnya kenapa kek ?”

“Dulu, hampir setiap saat kita semua harus waspada, berjaga-jaga supaya para penjajah-penjajah itu tidak masuk ke daerah pertahanan itu. Kita semua jauh dari rumah, dari istri, anak, saudara, saat itu juga belum ada tv seperti sekarang, nah satu-satunya hiburan bagi kita, adalah catur..” jelas kakek rahmat sambil kembali menjalankan bidak-bidaknya.

“Kalau ingat jaman itu, kita semua meski bermain catur dan tertawa gembira, tapi senjata tetap sedia di tangan. Bila di ingat-ingat lagi, rasanya saat itu tidak mungkin untuk melawan belanda ataupun jepang yang kekuatannya di atas rata-rata penduduk indonesia..” timpal kakek ali.

“Nyatanya kita merdeka juga kan kek sekarang”

“Merdeka untuk sesaat, miris hati kakek sekarang kalo lihat berita di tv ataupun koran. Apa yang di lakukan oleh orang-orang jaman sekarang, merasa bertindak paling benar, tapi tidak pernah sekalipun mengingat sejarah bangsanya sendiri, aliran darah para pahlawannya” tambah kakek rahmat.

“Anak muda jaman sekarang, hapal berbagai macam lagu dari luar ataupun dalam negeri, tapi lagu indonesia raya, lagu bangsanya sendiri, masih suka salah saat menyanyikannya. Banyak juga, orang tua-orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah internasional, pakai bahasa inggris, giliran harus berbahasa indonesia lafalnya menjadi tidak jelas” sahut kakek ali lagi.

“Masih untung mereka mengenal Soekarno dan Hatta, tapi memang pahlawan indonesia hanya mereka saja, tidak ada yang lain..” ujar kakek rahmat. Iel hanya tersenyum sambil ikut mengangguk-anggukan kepalanya mendengar ucapan-ucapan yang terlontar dari dua pejuang yang terlupa ini, ada semacam rasa malu yang bersemayam di hatinya, rasa malu yang selama ini tidak pernah sekalipun ia pikirkan.

Di ruangan lain, rio mulai tampak akrab berbincang dengan seorang kakek. Kakek itu berkata, rio mirip dengan cucunya yang saat ini sedang tinggal di luar negeri. Terbersit rasa kasihan di diri rio, melihat kakek tua ini, yang harus menikmati masa tuanya sendiri tanpa keluarga di sampingnya.

“Kakek, kenapa enggak ikut anak kakek aja ke luar negeri ?” pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di otaknya, akhirnya dapat ia utarakan juga.

“Kakek enggak akan betah tinggal negara orang”

“Lho, emang kenapa ? kan disana kakek bisa tinggal sama kelurga kakek”

“Pikiran anak jaman sekarang memang beda dengan pikiran orang jaman dulu. Anak sekarang berlomba-lomba mau ninggalin tanah airnya, sementara orang jaman dulu berusaha mati-matian untuk mempertahankan negaranya” ujar kakek tersebut sambil tersenyum tipis ke arah rio.

“Tapi mimpi kan memang harus setinggi-tingginya kek, kalo emang kesempatan itu datang dari luar, kenapa enggak ?”

“Kamu benar nak, asal dia tidak jadi lupa dengan asalnya, tidak melupakan nasi sebagai makanan pokoknya, tidak melupakan budaya daerahnya, tidak melupakan asal-usulnya..”

“Itu kan tergantung orangnya kek, lagian penghargaan negara ini yang kurang sama warganya”

“Nah itu dia, tapi pada kenyataanya kita memang udah gagal kan buat mempertahankan itu semua. Dulu kita semua angkat senjata, tua, muda, perempuan, laki-laki, kita semua saling bahu membahu untuk menciptakan negara sendiri, apa kakek dan teman-teman kakek yang udah mempertaruhkan semuanya ini, enggak pantes dapet penghargaan ? kita semua pantes kan. Tapi pada saat itu, enggak ada satupun dari kita berpikir ke arah sana, karena yang kita inginkan cuma satu, hak untuk merdeka dari segala penjajahan”

“Jadi kakek, lebih milih sendirian disini, daripada di ada di tengah-tengah keluarga kakek ?” tanya rio kembali ke topik awal.

“Kamu lihat ke sekitar kamu sekarang..” rio memperhatikan sekelilingnya, yang di penuhi dengan orang-orang tua.

“Kamu lihat mereka, mereka itu teman kakek, bersama mereka kakek bisa mengobrol soal semuanya, kebanggaan-kebanggaan yang orang jaman sekarang enggak bisa dapetin”

“Apa kek ?”

“Rasa nasionalisme yang menggebu dan tidak akan pernah mati” rio diam, hatinya merasa janggal dengan kalimat itu meski telinganya telah sering mendengar hal tersebut.

“Nasionalisme kek ?”

“Iya, disini, di dalam tubuh kakek, rasa yang akan selalu bergetar, seminimal-minimalnya saat lagu indonesia raya berkumandang” rio tersenyum tipis meski datar. Ia sering merasa takjub dengan lagu-lagu yang ia dengarkan, tapi sejujurnya itu tidak pernah terjadi saat ia mendengar lagu kebangsaanya sendiri.

Tidak jauh berbeda dengan iel dan rio, cakka pun sedang menemani salah seorang penghuni panti jompo ini. Bedanya bila rio dan iel menemani kakek-kakek, maka saat ini cakka duduk disamping seorang nenek, yang tampak bersemangat dengan sulaman di tangannya, meski cakka yakin, kemampuan matanya tidak lagi prima.

“Winarno siapa nek ?” tanya cakka penasaran saat menemukan nama itu di atas sulaman nenek tersebut.

“Nama suami nenek”

“Dia tinggal disini juga ?” nenek itu meletakkan sulamannya, memandang cakka sambil tersenyum.

“Bapak sudah enggak ada, meninggal waktu perang” cakka tersenyum getir, merasa tidak enak dengan pertanyaannya tadi.

“Maaf nek, saya enggak tahu..”

“Enggak apa-apa, kejadiannya juga kan udah berpuluh-puluh tahun yang lalu” cakka memandang raut wajah tua di hadapannya ini, sorot matanya tampak teduh, dan cakka yakin nenek ini cantik sewaktu mudanya dulu.

“Dan nenek masih mengingat suami nenek sampai sekarang ?” tanya cakka, kali ini pelan-pelan.

“Nenek menikah umur 17 tahun, enggak lama abis itu, bapak mendaftar jadi tentara sukarelawan. Sejak itu, kita cuma ketemu seminggu sekali, itupun karena nenek juga ikutan jadi dapur umum. Sampai suatu hari, ada serangan tiba-tiba dari jepang, nyerang kantor bapak, bapak ketembak sama tentara jepang, dan akhirnya meninggal..”

“Nenek setia ya..” sahut cakka.

“Waktu bapak daftar jadi tentara, nenek udah tahu resikonya, tapi bapak enggak bisa di lawan, saat itu keinginannya untuk ikut mempertahankan negara ini cukup besar, jadi nenek enggak bisa apa-apa lagi”

“Nenek enggak nyesel ?”

“Nyesel buat apa ? nenek malah bangga, bangga sama bapak yang meninggal karena membela negara yang dicintainya, karena darahnya tumpah buat negara yang di hormatinya. Makanya nenek heran, jaman sekarang kok kayaknya orang pada enggak peduli sama negaranya sendiri, padahal mereka tinggal hidup nyaman disini...”

“Kalo waktu bisa di putar, nenek bakal tetep ngijinin suami nenek buat ikut perang ?” lagi-lagi cakka melontarkan sebuah pertanyaan.

“Kalo waktu bisa di putar lagi, nenek bahkan rela ikut meninggal sama bapak, daripada hidup sampai sekarang”

“Lho kenapa ?”

“Hidup sampai sekarang malah bikin nenek sedih, ngelihat banyak orang yang enggak ngehargain jasa-jasa pahlawan yang udah berjuang mati-matian..” cakka mengangguk pelan, ia merasa telah menjadi bagian dari orang-orang yang membuat nenek ini dan pejuang lainnya sedih. Cakka sendiri mengakui, ia tidak mengenal banyak tentang sejarah dan pahlawan bangsanya, ia lebih banyak tidur atau malah cabut ke kantin bila ada pelajaran sejarah di sekolahnya.

Alvin juga melakukan hal yang sama dengan yang lainnya. Sejak tadi ia menemani kakek hadi duduk-duduk di halaman belakang panti tersebut.

“Kalian sahabatan berempat ?”

“Iya kek, kita temenan deket dari dulu, makanya kemana-mana juga bareng”

“Dulu kakek juga punya sahabat, kita besar di kampung kecil di pulau jawa. Selalu berdua kemana-mana, dia itu kaya pahlawan buat kakek, waktu dia daftar jadi tentara, kakek juga ikutan, bedanya kalo dia karena pengen ikut perang, kalo kakek karena enggak mau pisah sama dia..” alvin diam menyimak, sudah sejak tadi kakek hadi mendongengkannya beberapa cerita.

“Apa-apa kalo di lakuin setengah-setengah, emang enggak pernah bagus. Kakek contohnya, karena emang enggak niat dari hati, waktu itu, temen-temen seangkatan kakek, udah di bolehin pegan senjata, kakek belom, gara-gara tembakan kakek enggak pernah tepat sama sasaran dan lebih sering ngebahayain temen sendiri. Jadi kalo giliran kakek jaga, sahabat kakek inilah yang ngelindungin kakek. Sampai akhir hayatnya, sahabat kakek juga meninggal karena nyelametin kakek, kakek merasa bersalah banget waktu itu...” alvin tersenyum maklum, melihat mata kakek hadi yang sedikit berkaca-kaca.

“Sejak saat itu, kakek janji, kakek enggak akan setengah-setengah lagi. Kakek berusaha mengejar ketinggalan kakek, kakek pelajari cara-cara penggunaan senjata, kakek merasa punya utang budi sama sahabat kakek itu, jiwa nasionalisme kakek juga terpupuk, kakek maju di garis depan, bukan lagi untuk sekedar ikut-ikutan, tapi atas nama sahabat kakek, dan bagsa ini” ada semangat yang membara yang alvin tangkap dari nada bicara kakek hadi, yang mau tidak mau, menular juag kepadanya.

“Dan ini buktinya..” kakek hadi menggulung celananya hingga betis, tampak sebuah lingkaran kehitaman disana, di sekelilingnya juga terlihat banyak bekas luka.

“Bekas apa kek ?” tanya alvin penasaran.

“Ini luka tembak, dan kakek bangga sama ini”

“Kenapa ?” tanya alvin heran.

“Karena ini kenang-kenangan nyata, kalo kakek pernah ikut serta dalam sejarah bangsa ini” alvin tersenyum tipis, bingung ia mengatakan apa.

“Kalian berempat kenapa harus kerja sosial disini ?” pertanyaan kakek hadi ini, membuat alvin sedikti kikuk, malu bila mengingat alasan hukuman mereka.

“Enggak apa-apa bilang aja” sambung kakek hadi lagi yang nampak mengerti dengan gelagat alvin.

“Kita dapat hukuman dari sekolah kek, gara-gara sering kabur kalo upacara senin..” jawab alvin pelan, tidak berani menatap mata kakek hadi, kakek hadi terkekeh mendengarnya.

“Anak muda-anak muda..”

“Maaf kek, kita emang bukan generasi muda yang baik, tapi denger cerita kakek, bikin saya malu, malu karena kita yang cuma disuruh ikut upacara selama tiga puluh menit aja pake kabur-kaburan segala, gimana kalo kita disuruh pulang yang taruhannya nyawa” ujar alvin tulus dari dalam hati.

Kakek hadi menepuk-nepuk pundak alvin “Enggak apa-apa, yang penting sekarang kamu tahu dan sadar”

“Iya kek, makasih..” kakek hadi tersenyum, kemudian ia melirik jam tangannya.

“Ayo ikut kakek ke halaman depan”

“Ada apa kek ?”

“Upacara penurunan bendera” meski tidak sepenuhnya mengerti, tapi alvin tetap patuh mengikuti. Ia membantu kakek hadi berjalan. Sesampainya di halaman depan, para penghuni lain yang sudah berkumpul, termasuk juga iel, rio dan cakka.

“Ngapain sih ?” tanya alvin sambil menghampiri ketiganya.

“Upacara penurunan bendera” jawab rio singkat.

“Itu gue juga tahu, maksud gue, kenapa di turunin ?”

“Kata kakek rahmat, ini termasuk penghormatan sama bendera merah putih, udah ritual setiap hari” sahut iel, yang membuat cakka, rio dan alvin mengangguk.

“Lo tahu enggak, gue dapet banyak di panti ini, pelajaran tentang nasionalisme” ujar rio.

“Gue juga, ngerasa di tampar gue disini” timpal cakka.

“Bener lo, gue juga ngerasa hal yang sama” tambah iel.

“Intinya, mulai senin besok dan seterusnya, gue enggak akan cabut lagi pas upacara, kalo perlu gue mau minta sama pak yanto buat jadi petugas upacara” sambung alvin yang di setujui ketiganya.

“Ssstt, uapacara mau di mulai..” seorang kakek yang berdiri di depan mereka mengingatkan.

“Kepada sang saka merah putih hormat grak !” meski tidak lantang dan terkesan bergetar karena usia, tapi suara kakek ali yang saat ini bertindak sebagai pemimpin upacara tetap terasa bersemangat. Alvin, rio, iel dan cakka yang selama ini malas, berdiri tegak sambil hormat ke arah bendera yang di turunkan, dan berjanji dalam hati, mulai saat ini, mereka akan menjadi penerus yang menghargai jasa pahlawan, generasi muda yang akan peduli dengan nasib bangsanya. Mereka siap, berdiri tegak menantang matahari, untuk melihat sang saka berkibar, untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, bahwa masih ada rasa kebangsaan yang mengalir disana, masih ada kiwa nasionalisme yang menggelegar dan tidak akan padam.

Indonesia raya..

merdeka..merdeka..

tanahku negeriku

yang kucinta..

Indonesia raya..

merdeka..merdeka..

hiduplah indonesia raya..

1 komentar:

  1. bagusss banget kak !!!
    setuju banget sama pendapat kakek2 ituu...
    mksih kak, dri cerpen kk aku jdi bsa bljar lbih tntg makna nasionalisme

    BalasHapus