Rabu, 22 Desember 2010

for you (cerpen)

Kembalikan lagi senyumku yang manis seperti dulu



Kurasa kini aku tertahan


Menahan luka yang amat dalam


...


(kembalikan lagi senyumku by melly goeslaw)


***

Pernahkah kamu merasa, tiba-tiba saja kamu tidak mengenali dirimu. Semua terasa berbeda, sama sekali bukan kamu, seperti yang kamu kenal dulu. Ya, mungkin kamu pernah merasakannya, tapi apakah kamu pernah menjalani hidup seperti itu, terus-menerus selama lima tahun ?

Apa ?

Gila katamu ?

Tertawalah. Tapi aku sangat mengerti rasanya.

***

Classmeeting yang membosankan. Sangat-sangat membosankan. Dan aku hanya bisa duduk di depan kelasku, memandangi lapangan yang penuh oleh mereka-mereka yang sepertinya begitu semangat untuk mengisi acara ini. Tidak sepertiku.

“Ceilah, bengong aja lo”

Aku menengok ke sebelah kiriku. “Biarin, suka-suka gue sih, bukan urusan lo ini..”

“Yaelah santai Shil..” ujar orang yang tak lain adalah Ify, sahabatku. “Pasti lagi mikirin si itu..”

“Woo..sok tahu..” elakku.

“Haha..” ia terkekeh, entahlah bagian mana yang menurutnya lucu. “Ngaku aja sih, apa lagi sih, yang seorang Ashilla Zahrantiara pikirin kalau bukan si..eumphhfff”

Tanpa pikir panjang, aku langsung saja menutup mulutnya dengan tanganku, sebelum ia akan menyebutkan nama itu dengan lantang. “Diem, baru gue buka mulat lo ..” ancamku sambil menatapnya tajam, agak sadis memang.

Ify menganggukan kepalanya, dan sedetik kemudian, aku lepaskan tanganku.

“Heh ?! gila lo ! pengap woi gue, kejem amat sih sama temen sendiri” semprotnya kesal, mengibas-ngibaskan tangan ke arah wajahnya, seolah memanggil angin agar mendekat ke arahnya.

“Bodo ! daripada elo frontal nyebut namanya” sahutku enteng.

“Lo kenapa sih ? lagi dapet ? apa pms ? sensi amat neng” Ify misuh-misuh sendiri. Melihatku sikapku, yang aku akui, sedang agak menyebalkan saat ini.

Dengan memasang muka polos, atau datar ? aku hanya menggeleng sambil mengangkat kedua pundakku bersamaan.

“Ahh, cerita dong, elo kenapa ?” pintanya.

“Enggak apa-apa Fy, udah ah, gerbang udah dibuka belum ? mau balik nih gue, gerah banget disini” ujarku, mengalihkan pembicaraan. “Gue ke kelas ya Fy..” sambungku lagi, sambil berdiri dan masuk ke dalam kelas.

Tanpa aku menoleh. Aku tahu pasti, saat ini Ify pasti sedang memandangku dengan pandangannya yang penuh menyelidik itu. Bukan aku tidak ingin membaginya. Hanya saja aku sendiri mulai lelah, jika harus kembali bercerita. Tentang tokoh yang sama, tentang rasa yang sama, bertahun-tahun ini, selalu begitu, tidak pernah berubah sedikitpun.

Ya, tentangnya. Tentang ia yang tak sedikitpun menggubrisku lagi.

Tentang ia..

Si masa lalu yang menyesakkan.

***

Jangan berakhir aku tak ingin berakhir


Satu jam saja kuingin diam berdua


Mengenang yang pernah ada


Jangan berakhir karena esok takkan lagi


Satu jam saja hingga kurasa bahagia


Mengakhiri segalanya


Tapi kini tak mungkin lagi


Katamu semua sudah tak berarti


....


(satu jam saja by lala karmela)


***

Seandainya semua bisa di putar. Bisakah aku memintanya untuk tetap tinggal ? berdiam bersama, di lingkaran kebahagiaan yang saat itu mengelilingi kami. Aku tahu, semua yang dimulai dengan seandainya, adalah ungkapan penyesalan. Yang membuahkan kepahitan, dan kesakitan tak berujung. Apalagi jika kesalahan itu, membuatmu kehilangan. Dan kenangan-kenangan yang adapun, tak ada lagi guna, tak ada lagi arti. Semua hanya semu. Karena rasa di dalamnya telah padam.

Ia merengut senyumku, tidak mengembalikannya.

Dan itu menyesakkan.

***

Aku mendekap bantalku erat. Menyalurkan segala rasa perih yang terasa malam ini. Selalu saja begini. Semua hal tentangnya, selalu memberikan efek samping padaku, dan kali ini, efek itu berupa tangis yang tertahan.

“Gue..enggak..mau nangisin dia lagi..” desahku getir. Berusaha menguatkan diriku sendiri. “Malam ini gue enggak mau labil..enggak mau..” aku meronta untukku sendiri. Seolah dengan begitu, aku tidak lagi akan tenggelam akan pikiran tentangnya.

Meski rasanya, itu nihil.

Inilah aku. Inilah yang terjadi, jika kenangan-kenangan itu berputar kencang di dalam pikiranku. Dan ini tentu saja masih tentangnya.

Dia.

Sesosok laki-laki, yang entah bagaimana caranya membuatku takluk dan tidak mengerti untuk menghentikannya.

Dan lihatlah hari ini. Ify telah menjadi korban karena rasa siksa, yang aku tahu, aku ciptakan sendiri. Ah, kenapa sih aku masih mencintainya ? laki-laki bukan hanya dia seorang kan ? jadi kenapa rasa ini tetap saja bertahan disini, dan tidak ingin beranjak meski seincipun.

Setelah merasa lebih baik. Aku turun dari ranjangku, bersimpuh di depan rak buku, membuka lacinya yang terletak di paling bawah. Aku mengeluarkan sebuah kotak, beberapa kali, aku menghela nafas, dan kira-kira di detik yang kedua puluh, aku membuka kotak itu, mengambil sebuah buku berwarna merah dari dalam sana.

Hanya memandanginya. Untuk beberapa saat. Tapi rasanya sesak. Buku itu menyimpan semuanya.

Bagaimana ia menyatakan perasaannya padaku, lima tahun lalu.

Bagaimana ia meminta ijinku padaku, untuk memanggil aku dengan sebutan yang hanya miliknya, lovely, di bulan kedua setelah kami berpacaran.

Atau bagaimana ia yang selalu memujiku dengan kata-kata lucu, hingga bagiku kata itu hanya berarti jika ia yang mengucapkannya.

Serta bagian paling pahit, yang aku tulis dengan getir, ketika akhirnya semua berakhir. selesai.

Cukup hanya dengan melihatnya, aku kembalikan lagi buku itu. Aku tidak mau melihat isinya. Aku tidak sanggup melihat isinya. Tidak untuk hari ini. Meski hanya untuk satu jam.

***

......


Teruslah berjalan


Teruslah melangkah


Kutahu kau tahu


Aku ada


(Aku Ada by Dewi lestari)

***

Meski hanya sekali. Tapi aku ingin bisa memandangnya lagi. Untuk beberapa detik saja. Ia tidak perlu tahu. Walaupun, jujur saja, aku juga ia ingin mengerti, meski hanya seujung kuku.

Aku masih ada disini.

Bukan hanya raga, tapi juga jiwa.

Dan lagi-lagi ini hanya sebuah khayalan.

Bagian dari harapan yang aku mengerti tidak akan pernah terjadi.

***

“Lo harus move on Shil !”

Kalimat itu lagi. Rasanya, jika aku ini rajin, dan bersedia repot untuk membuat daftar, ini bukan untuk pertama kalinya bahkan mungkin ini sudah terletak di urutan keseratus berapa, kalimat ini terlontar untukku.

Baiklah aku mengerti. Move on. Mencoba untuk bangkit, dan melupakan yang telah berlalu. Tapi, heloooo...ini tidak pernah semudah itu. Aku bisa bangkit, tapi melupakannya ? beri tahu aku, bagaimana caranya, aku bisa melupakan dia, sementara hampir setiap detik, apapun yang ada di sekitarku mengingatkanku kembali padanya.

“Iya..gue tahu” jawabku singkat, cenderung malas.

“Tahun pertama, okelah gue maklum, tahun kedua, masih oke, tahun ketiga, itu udah ngelewatin tiga kali tahun baru dan artinya itu udah masuk tahap waspada, tahun ke empat, oh God, ada banyak cowok di luar sana Shil, dan tahun kelima ?! saatnya elo berhenti dan ngelupain dia, jangan sampai ketemu tahun ke enem !” Ify berceloteh panjang lebar, sambil menjabarkan jarinya. Seperti anak umur lima tahun yang baru belajar menghitung.

“Fy, gimana gue mau lupain dia, kalau tiap hari aja, elo enggak berhenti ngebahas tentang dia”

“Gue cuma ngingetin, sepuluh hari lagi, kita masuk ke tahun yang baru, dan gue enggak mau lo masih aja ngarepin dia”

Aku melengos. Benar juga si Ify, dalam hitungan jari-jari ini, waktu yang baru akan tiba. Dan aku sama sekali tidak menghasilkan perubahan apapun, oke, itu menyedihkan.

“Kasih tahu gue Fy, gimana caranya gue bisa lupain dia..”

Ify memandangku, menghembuskan nafas. “Enggak ada cara yang pasti buat melupakan seseorang, yang ada cuma niat, kemauan, dan kalau itu ada di dalam diri lo, kalau lo berusaha buat ngelawan semua rasa itu pakai niat dan kemauan lo, lo pasti bisa..”

“Gue takut. Berhenti sayang sama dia, sama aja merubah hidup gue. Lima tahun ini, sejak gue bangun pagi sampai gue tidur lagi, dia selalu ada. Dia kaya drugs, gue ketergantungan sama dia. saat gue sedih, saat gue butuh dukungan, yang gue inget pertama adalah dia, kata-katanya yang dulu nyemangatin gue, senyumnya yang selalu bisa bikin gue tenang..gue takut Fy..”

“Tapi mau sampai kapan elo kaya gini ?”

“Kalau ada obat, atau alat yang bisa bikin gue lupa sama dia, pasti gue beli, berapapun harganya” ujarku mulai meracau. Membuat Ify tersenyum simpul.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tanpa aku sadari, tidak hanya ada aku dan Ify di dalam angkot ini. Ada orang lain disini, yang pasti sejak tadi memandangku bingung. Atau memang aku selalu seperti ini ? hidupku terlalu penuh tentangnya. Hingga aku lupa, aku tinggal di salah satu negara dengan penduduk terbanyak. Tapi rasanya jika begini, bahkan tatapan mereka yang biasa aja, seolah seperti meremehkanku, dan obrolan mereka yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya denganku, seakan-akan sedang mengejekku.

Aku si cewek lemah

Yang tidak mampu untuk bangkit.

“Riko..” desisku pelan. Sangat pelan. Hingga sepertinya, aku hanya melafalkannya saja, tanpa suara. Tapi Ify yang duduk di depanku, langsung sadar, dan memutar badannya, melihat pemandangan di belakangnya. Lalu ia kembali memandangku lagi, lantas menggenggam tanganku erat.

“Sabar ya Shil..” ujarnya pelan. Dan aku hanya tersenyum.

Angkot yang aku tumpangi ini, memang melewati sekolah Riko.

Siapa dia ?

Oh, aku belum mengenalkannya ya ?

Dialah, si-masa-lalu-tak-kunjung-padam yang sering aku sebut-sebut itu.

Ia sedang berdiri di depan sekolah. Bersama teman-temannya, dan di sampingnya, ia tidak sendiri. Ia bergandengan dengan seorang perempuan. Cantik. Seperti mantan-mantannya yang lain, kecuali aku mungkin. Aku jadi teringat, peristiwa beberapa bulan lalu. Saat aku datang ke sekolahnya karena ada sebuah lomba, dan ya, aku melihat pemandangan yang sama.

“Gue enggak apa-apa kok Fy”

“Bohong”

Ify benar, aku berbohong. Tapi ya sudahlah, ini doaku kan ? aku ingin melihatnya, dan tadi aku melihatnya. Setidaknya, meski ia tidak menyadarinya, sama sekali tidak menyadarinya, dan mungkin tidak akan repot-repot untuk menyadarinya, aku ada.

Disini, untuknya.

***

I tried to run from your side


But each place I hide


It only reminds me of you


.....


(It only reminds me of you by mymp)

***

Rasanya, kemanapun kakiku melangkah, ia tetap saja menempel kuat. Atau karena ia telah terlanjur berkerak di dasar hatiku ?

Dan satu-satunya yang aku lakukan, hanyalah membuat zona amanku. Berlindung di balik selubung itu. Melakukan semua dengan biasa-biasa saja. Ya, aku bisa melakukan semuanya di dalam zona amanku. Melaluinya seperti sebuah alur yang lurus dan memang harus begitu. Sesungguhnya itu membosankan. Amat sangat membosankan.

Tapi bagaiman lagi.

Hanya di dalam sana, aku merasa baik-baik saja.

***

Dan hari ini, aku kembali menjadi remaja yang sedang dalam kegalauan akut. Sampai kapan sih aku harus begini ?

Selalu mengingat segala tentangnya !

Segala tentang kita !

Padahal ia ? aku yakin, mungkin yang ia ingat hanya namaku, selebihnya ? kosong.

Sementara aku ? perlukah aku jabarkan ?

Baiklah.

Aku masih ingat tanggal jadian kita, bahkan tanggal putusnya..

Aku masih ingat apa saja yang ia pernah lakukan bagiku.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas, sms-sms apa yang pernah ia kirimkan untukku.

Dan tentu saja, aku juga masih mengingat, hal-hal kecil tentangnya.

Seperti hari ulang tahunnya, dimana aku selalu menahan ngantuk hanya untuk menjadi orang pertama yang mengucapkan hari ulang tahunnya, meski hanya lewat angin.

Atau makanan kesukaannya.

Rumah sakit tempat ia di lahirkan, ini memang tidak penting sih, tapi aku mengetahuinya.

Nomor telepon rumahnya, meski aku sama sekali tidak pernah berani buat menghubungi nomor ini.

Ahh ya, ternyata aku memang sangat menyedihkan ya ?

Silahkan tertawa untukku. Tapi memang itulah yang terjadi.

Aku membenamkan wajahku di bantal, dan air mata itu mulai menetes. Dan saat seperti ini, rasanya jika boleh berandai-andai, aku ingin ia menawarkan pundaknya, atau setidaknya menyodorkanku selembar tisu. Dan dalam tangisku, aku tertawa miris, bagaimana bisa aku berkhayal seperti itu, ia bahkan tidak tahu detik ini aku sedang menangis untuknya. Tidak pernah tahu.

Dan apa yang akan ia lakukan jika ia tahu ?

***

Aku tak percaya lagi


Akan guna matahari


Yang dulu mampu terangi


Sudut gelap hati ini


Aku berhenti berharap


Dan menunggu datang gelap


Sampai nanti suatu saat


Tak ada cinta ku dapat


....


(Berhenti berharap by sheila on7)

***

Bolehkah aku meminta satu ?

Aku hanya ingin semuanya berakhir. benar-benar berakhir, entah bagaimana caranya.

Ini mulai tidak sehat. Ini mulai menggangu, dan tentu saja, lama-lama ini bisa membuatku benar-benar gila.

Oke, aku memang baik-baik saja hingga saat ini. maksudku, aku tetap bisa makan tiga kali sehari, masih tetap bisa bermain bersama teman-temanku, masih bisa melakukan hobiku. Tapi sejauh apa sih aku mampu bertahan ?

Pasti tidak akan lama lagi kan ?

***

Suara denting-denting dari alunan musik klasik yang sepertinya sengaja di putar di kafe ini, mewarnai telingaku, yang entah kenapa, memutuskan untuk duduk sendiri, menghadap secangkir latte tanpa di temani siapapun.

Kafe ini, ada di komplek rumahku, sebuah kafe kecil yang menurutku cukup nyaman untuk mencari ketenangan, apalagi bagi orang-orang seperti aku, yang hidupnya di penuhi oleh dilema-dilema hidup, yang sesungguhnya tidak begitu penting, di bandingkan dengan masalah orang lain yang mungkin saja lebih besar.

Suara klenengan yang khas, menjadi pertanda ada yang membuka pintu masuk. Dan benar saja, ketika aku mengarahkan mataku ke pintu, ada tamu yang baru datang. Tunggu, hei apa-apaan ini ?! kenapa disaat aku sendiri begini, ia malah harus hadir. Ahh, apa yang harus aku lakukan Tuhan ?

Dan ia sadar, akan aku yang sedari tadi terus menatapnya. Sambil tetap menggenggam tangan perempuan, yang tidak aku kenali siapa itu, ia tersenyum ke arahku, dan sepertinya akan segera menghampiriku. Bahkan tanpa kaca, aku bisa merasa wajahku pucat pasi sekarang.

“Hei Shil..”

“Hei..” ujarku dengan suara bergetar dan gugup. Sial !

“Oh ya kenalin, ini Acha sahabat gue”

“Hai..”

Lagi-lagi aku mengulang kata sapaan yang sama. Otakku seperti berhenti bekerja dan mencerna kata untuk sesaat. Tapi tunggu, apa tadi dia bilang ? sahabat.

“Gue Acha..” ujar perempuan itu ramah, menyodorkan tangannya, yang tentu saja langsung aku balas. “Elo mantannya Riko ya ?”

Pertanyaan itu, sudah berapa orang saja yang setiap bertemu denganku, pasti menanyakan itu. Apakah Riko juga mendapat perlakuan yang sama ? sepertinya sih tidak.

“Hehehehe..” aku hanya bisa terkekeh untuk menjawab pertanyaan itu.

“Haha..dulu banget ya Shil, cinta monyetlah” celetuk Riko.

Cinta monyet. Taraa..akhirnya aku mengerti sekarang. Aku hanya cinta monyet baginya. Yayaya..aku memang tidak akan berarti apa-apa lagi. Oke, terimakasih Riko, sepertinya malam ini aku akan kembali menangis lagi.

“Hehe..” kali ini aku tertawa hambar, sangat hambar. “Err..kalian beneran cuma sahabatan doang ?”

Dan mulutku berkhianat. Ia meluncurkan sendiri kalimat itu, pertanyaan bodoh itu, tanpa ijin apapun dari ku. Aku menunduk, berharap mereka berdua tidak tersinggung dengan pertanyaanku.

“Eh ? emang keliatan banget ya Shil ? hehe..iya deh gue ngaku, kita berdua emang lagi pendekatan ehehe..doain aja ya”

Ucapan Riko barusan. Sama saja seperti ada petir dengan kekuatan bermega-mega watt yang baru saja menyerang telak padaku. membuat semuanya langsung hancur berkeping-keping.

“Oh ? ehh..iya..pasti-pasti. Eh, gue udah lama banget disini, mau balik, duluan yaa..bye..good luck” aku langsung nyerocos cepat, secepat yang aku bisa, sebelum air mataku mendahului. Tanpa menghabiskan latteku, aku langsung saja bergegas menuju kasir.

Aku menoleh sekilas, terlihat Riko, dan siapa tadi ? oh iya, Acha. tampak berbicang seru, dan sangat akrab. Aku hanya bisa mendesah pelan.

“Mbak, semuanya jadi dua puluh ribu..”

“Eh, maaf mbak, punya kertas enggak ?”

“Ada, ini..” tidak peduli, meski si mbak kasir ini memandangku bingung, aku tetap saja menulis di kertas yang ia sodorkan, beserta pulpennya tentu saja.

“Berapa tadi mbak ?”

“Dua puluh ribu”

“Ini, dan tolong kasihin kertas ini ke meja itu ya..” pintaku menunjuk meja Riko, sambil menyodorkan selembar dua puluh ribuan. Dan tanpa ingin melihat lagi, aku langsung keluar. Menjauh, kalau perlu menghilang.

***

Hai Riko, taukah kamu, bahwa aku ini pengecut ? hehe


ya, lihat saja, saat tadi kita berkesempatan ngobrol, aku menjadi gagap tiba-tiba, padahal kalau kamu tahu, tiap malam, aku selalu memikirkan tentang kamu lho..


hahaha..jangan bingung ya, tapi sepertinya, rasa cinta, yang kamu bilang cinta monyet itu, masih tertinggal deh disini. Kalau boleh, bisakah kamu mengambilnya ?


Aku udah terlalu lelah buat merasakannya..hehe


Atau setidaknya, ajarkan aku, bagaimana cara bisa melupakanmu. Seperti kamu yang dengan mudahnya melupakan aku..


Pilihan yang pintar Ko, selera kamu bagus-bagus ya, Acha cantik. Good luck buat kalian berdua..


Dan..selamat tahun baru, meski masih beberapa hari lagi..doain aku, biar tahun depan enggak perlu inget sama kamu lagi..


Biar tahun depan, aku enggak perlu begadang setiap hari ulang tahun kamu, cuma untuk jadi orang paling pertama yang ngucapin ke kamu, tanpa kamu tahu..hehe


Makasih Riko, buat semuanya.


Ashilla, si cinta monyetmu.

TAMAT.

Sebelum pergi, pengen ngepost cerpen aneh ini dulu..hehehe

Seperti biasa, di cerpen inipun sangat mengharapkan jejak-jejak yaa,,hehe..komen, saran, kritik..semua di terima dengan senang hati..

Kayanya ini bakalan jadi postingan terakhirku di tahun ini dehh ehehe

So, this is for you, for special someone..just you..

Makasih.

Minggu, 19 Desember 2010

a show LASKAR PELANGI (musikal laskar pelangi part 2)

Adakah yang penasaran dengan part dua ini ? ehehehehe


Owkayyy, teman-teman, di part ini gue akan ngebahas tentang drama MUSIKAL LASKAR PELANGI


Drama ini di buat oleh orang-orang yang memang hebat dan berpengalaman pada bidangnya masing-masing , sebut saja :

Mira lesmana dan Toto Arto sebagai Produser.

Riri Riza sebagai Sutradara.

Erwin Gutawa sebagai Komposer dan Pengarah musik.

Jay Subiakto sebagai sebagai Pengarah artistik.

Hartati sebagai Koreografer.

Ubiet sebagai Pengarah Vokal.

Tidak hanya orang-orang hebat di atas, drama ini juga di isi oleh Theater Company Musikal Laskar Pelangi dan tentu saja para pemainnya, yang terdiri dari berbagai usia dan latar belakang yang berbeda-beda.

Drama ini terdiri dari dua babak, babak pertama berisi 10 adegan, dan babak kedua berisi 8 adegan, di dukung oleh latar yang sangat-sangat indah, musik yang patut di acungi sepuluh jempol, pencahayaan yang sangat menawan dan menimbulkan decak kagum, serta kemampuan para pemerannya dalam membawakan lakon masing-masing, maka inilah, drama MUSIKAL LASKAR PELANGI ...

Adegan pertama, di buka dengan pertunjukan dari kuli-kuli PN.TIMAH yang meratapi nasibnya yang terus saja menjadi kuli, dengan latar yang real dan detail, kita atau khususnya gue, merasa banget tentang kehidupan pada jaman itu. Di ceritakan ikal dewasa yang kembali ke kampungnya, dan kemudian adegan ini berlanjut ke babak selanjutnya, ketika bu muslimah menantikan 10 orang murid di hari pertamanya mengajar.

Saat gue menonton ini, yang memerankan ibu muslimah adalah Eka deli, seorang penyanyi yang suaranya tentu saja bagus, dan menurut penilaian gue, dia memerankan ibu muslimah dengan sangat baik.

Adegan demi adegan berlanjut, dan buat yang udahbaca bukunya, atau seminimal-minimalnya nonton filmnya, oh ya, fyi drama ini menganut cerita yang sama seperti filmnya, bukan seperti bukunya. Mulai dari part yang meceritakan ketika akhirnya mereka beranjak dewasa, dan saat ini terjadi, gue, janice, prima dan kak mely langsung heboh waktu ngelihat shilla dan patton keluar panggung, yeah we’re still idola cilik lovers ! haha.

Terus adegan pemilihan ketua kelas, di lanjutkan dengan penceritaan tentang tokoh Lintang si anak pesisir yang harus menempuh 8 jam mengayuh sepeda buat sampai di sekolahnya, belum lagi harus melawan buaya. Dan waktu adegan Lintang ketemu buaya, itu salah satu adegan fave gue ! dengan kain putih yang lebar dan di bentangkan di depan panggung, tari-tarian dan cahaya di belakangnya, menghasilkan siluet yang indah banget, susah buat di deskripsiin dengan kata-katalah, bagusnya enggak main-main !! hehehe . patton disini juga main bagus, seneng deh lihat dia lagi, hehehe..rasanya sepanjang pertunjukkan itu pengen teriak namanya aja, si janice yang duduk sebelah kanan gue, heboh sendiri tuh pas lihat dia ._.v hahaha ...

Ada juga adegan yang menceritakan ruang kelas mereka, dan penggambaran SD Muhamadiyyah yang hampir roboh dan perlu di topang kayu pohon itu, keren banget-bangetan. Bener-bener mirip kaya yang ada di filmnya, bener-bener bikin yang lihat, ngerasa iba deh..

Ini adegan yang paling seru, waktu Ikal pergi ke toko sinar harapan, dan ia melihat jari-jari cantik milik Aling. Gedung teater langsung dipenuhi tawa waktu ngelihat polosnya Ikal falling in love untuk pertama kalinya..hehehe..

Terus ada juga, adegan yang menceritakan waktu Pak Bakri, guru lain yang ada di sekolah itu selain bu mus dan pak harfan, mau pergi karena udah enggak percaya dengan kemampuan sekolah itu. Gimana kecewanya bu mus, galaunya pak bakri dan ikhlasnya pak harfan, lagi-lagi harus gue bilang, keren banget !!

Habis adegan ini, eumh...apa ya ? kalau enggak salah, anak-anak laskar pelangi, belajar di luar sama bu mus, kalau di filmnya yang di baru-batu besar itu lho. Dan batu-batu besar itu ada juga di panggung, jadi bisa kebayang kan, detail dan nyatanya drama ini. bahkan ya, di adegan ini kan ada hujan, dan airnya itu turun beneran, bukan efek komputer sama sekali !! shilla nyanyi disini, dan bergoyang pakai daun pisang hehe..tetep cantik deh ehehe..nah di part ini, bu mus ngasih julukan laskar pelangi buat anak-anaknya, setelah ada pelangi yang muncul gitu. Dan pelanginya itu sendiri, tata cahayanya keren banget (lagi lagi gue pakai kata keren -_-) jadi kaya ada lengkungan di atas panggung, dan berwarna me-ji-ku-hi-bi-ni-u , AWESOME !

The last adegan di babak satu, it’s CARNAVAL !! yep, ini bagiannya mahar. Sayang pas gue nonton, bukan pas Iel yang jadi maharnya. Coba dia, histeris tiada henti deh gue lihatnya, secara maharnya tuh beneran pecicilan banget sepanjang drama. Di karnaval ini, mereka di gambarin kaya battle gitu deh sama anak SD PN Timah..

Jeda dua puluh menit. Orang-orang langsung pada sibuk ke kamar mandi tuh, termasuk kak mely dan prima, kalau gue sama janice sih mentingin tidur..ahahaha --“

Ohh ya, pas jeda ini juga, gue sama kak mely ngebahas tentang perasaan kita, yang merasa kalau pas bagian mahar nyanyi itu kaya suaranya iel. Serek-sereknya itu lho, beneran berasa iel banget deh, enggak tahu juga ya, kita berdua yang emang obses abis sama tuh bocah atu apa gimana, tapi prima sama janice sih enggak ngerasa..ngeekkk -_- hahaha

Show di mulai kembali ! di buka lagi, dengan adegan kuli-kuli yang nasibnya belum berubah juga *kasian yaa* tapi gue pribadi suka banget sama lagu yang dibawain kuli-kuli ini, enak, tarian mereka juga, kompak dan great banget !!

Abis itu, adegan ‘kapur’ yaaa..ini tentang ikal dan si cinta-pertama-tak-pernah-padam a.k.a Aling ehehe.. gimana si Ikal meratapi Aling yang pergi ke jakarta tanpa pamit dulu sama dia..ckck..anak sekecil itu, sabar ya boy ! hahaha.. dan walaupun sedih (harusnya) tapi sekali lagi adegan Ikal-Aling ini menimbulkan gelak tawa ehehehe..

Nah kalau ini adegan sedih, pas pak Harfan meninggal, dan bu muslimah kehilangan semangat ngajarnya. Tapi ya, sekedar opini gue, jadi kan pas pak Harfan meninggal, kaya ada tarian musikal gitu, nah itu tuh agak ngebosenin sedikit hehe..dikit doang, tarian sama lightingnya sih, bagusnya ga nahan hehehe

Disini di lihatin gimana Lintang ngeyakinin temen-temennya buat terus belajar, dan ngembaliin semangat bu mus untuk terus mengajar..ahhh..jadi agak merasa berdosa sama guru di sekolah hahaha

Lanjutan dari adegan ini adalah part cerdas cermat. Gimana pintarnya Lintang, si cemara angin (julukannya dalam drama ini) menguasai hitungan yang kalau gue yang ngitung, bakalan ribet nyari kalkulator ehehe. Dan pas adegan cerdas cermat ini, kan ada tuh yang dikira jawabannya Lintang salah, terus kan dia jelasin, nah dia tuh jelasinnya kaya nulis di papan gitu, tapi papannya transparan dan hurufnya dari lampu-lampu yang kaya melayang gitu, jadi kaya rasi bintang di malam hari (ribet ya penjelasan gue) ehehe..

Yang paling gue suka dari part ini, pas shilla/sahara nyanyi buat dukung Lintang, dan ngadepin ibu bersasak PN TIMAH, siapa dia ? silahkan tonton sendir dramanya :p :p ehehe...

Dan kembali lagi ke adegan sedih, ketika Lintang pulang bawa piala, tapi ternyata ayahnya enggak pernah kembali dari laut. Pas part ini, patton nyanyi seorang diri, gelap-gelappan di atas panggung dan itu berasa banget feelnya. Terus, tiba-tiba di sisi panggung lainnya, si pemeran ikal juga nyanyi mencari sahabatnya yang enggak kunjung datang ke sekolah. Jadi mereka berdiri di panggung yang sama, cuma di bawah sorotan lampu, dan sama-sama dalam pencarian orang-orang yang mereka kasihi. Dan sekali lagi, gue harus bilang, ini kerennya gila !!

Apalagi pas part surat dari Lintang yang menjelaskan kalau dia enggak bisa sekolah lagi. Anak-anak laskar pelangi lainnya pada sedih dan nangis, dan enggak ngerti kenapa dunia seenggak adil itu sama anak sepinter itu .. u,u ..

Perpisahan lintang dengan laskar pelangi, jadi klimaks cerita. Dan adegan terakhir, kembali menceritakan tentang ikal dewasa, tentang PN TIMAH yang akhirnya tamat riwayatnya, tentang kuli yang tetap jadi kuli tapi seenggaknya mereka lebih bahagia, dan tentang lintang dewasa yang udah punya truk sendiri dan anak perempuan yang juga pintar kaya dia.

Ceritanya sih memang hampir 90% menurut gue samaan sama filmnya. Tapi tata panggungnya, seriusan bikin gue jadi norak tiba-tiba, ngelihat rumah, sekolah, padang ilalang, pn timah, di angkat naik turun, datang dan pergi dari atas panggung. Kalau ada kata-kata lain yang bisa lebih ngewakilin dari kata keren, awesome, amazing, spektakuler atau apapun itu, kasih tahu gue, dan akan gue pakai kata itu buat deskripsiin itu semua !!

Ini benar-benar harus di tonton !! WAJIB DI TONTON !! apalagi buat elo-elo semua yang tinggal di jabodetabek atau semisal liburan ini bisa ke jakarta, tonton drama ini !! walaupun gue belum pernah ke amerika dan nonton broadway, gue jamin, ini enggak kalah sama broadway !!

Ini karya anak bangsa, tentang anak bangsa, dan untuk anak bangsa !!

Pas gue nonton aja, ada juga lho, bule yang nonton, jadi seriusan, lo semua, harus nonton ini !!

Seratus ribu, dan kelas tiga, gue dapet suguhan yang, luar biasa banget. Sangat-sangat pantas, bahkan kalaupun misalnya elo punya duit dan bisa beli yang vip atau vvip, ini akan tetap sangat pantas kok.

So, masih ada waktu sampai tanggal 9, jangan mau ketinggalan lagi, pesen tiketnya sekarang, dan tonton drama ini..jadi bagian orang-orang yang kagum dan bangga dengan karya yang luar biasa ini..



Ps : ini enggak penting sih, tapi pulangnya gue di jemput lho :p ehehe. Kayanya si nyokap gue takut gue ilang gitu ahahaha –“ << abaikan 



Makasih.

-cheers-

mengejar LASKAR PELANGI (musikal laskar pelangi part 1)

heloooo everybodeeeeee..hahaha
maaf ya kalau gue lebay, abis gimana ya, kemarin gue abis nonton drama yang super duper keren banget \(^.^)/ hahaha..

tapi di bagian ini, gue enggak mau nyeritain jalannya tuh drama dulu, gue mau nyeritain tentang perjuangan gue *ceilahhh..* buat bisa nonton ini drama..

siap ?

oke..mari kita meluncur...

gue pertama kali tahu ada drama musikal laskar pelangi ini dari twitter, secara artis-artis idola gue (baca : anak idola cilik !) kaya shilla sama gabriel main disini. dan yaa, gue langsung ngebet banget tuh buat nonton. apalagi gue juga ngefans abis sama LASKAR PELANGI dan ANDRE HIRATA yang menurut gue the best banget !!

tapi gue udah feeling bakal ga di bolehin tuh, secara gue anak rumahan dan komplek banget, pasti bakal ga di bolehin sama mama tersayang hehe..tapi bermodalkan nekat, akhirnya gue ngetweet, nyari temen buat nemenin nonton. karena kalau gue minta di temenin sama temen sekolah atau sahabat super gue itu, pasti mereka enggak mau, secara ya, gue nonton itu karena idola cilik ahahaha

ternyata ada yang ngerespon tweet gue, dia kak mely, anak icl juga. dia ngajakin gue nonton barengan sama prima nd janice.. of course gue mau dong. kan gue pikir, selain bisa nonton, gue bisa juga ketemu sama penulis-penulis hebat itu u,u

pas bedah kampus UI, gue ketemu sama kak mely, fyi dia anak FH. kita ngobrol tuh panjang lebar, dan akhirnya kita janjian buat ketemuan berempat. setelah lumayan susah nyari tempat, akhirnya kita sepakat buat ketemu di plasa semanggi. yaa..lagi-lagi ini gara-gara gue yang kaya anak pinggitan susah kemana-mana --"

sampai semanggi, kita bingung tuh mau ngapain, lagian jual tiketnya juga di mal taman anggrek, akhirnya bermodal nekat dan hasutan mereka bertiga, gue mau juga di ajak ke mta, buat mesen tiket..hehe..gatega juga kan biarin janice mesen sendiri ;p

dan inilah foto kita saat di mta :
janice ~ aku ~ prima ~ kak mely

gue pake acara bohong segala lho pas ini. nyokap gue kan nelpon gitu ya, mastiin gue masih di plangi apa enggak, dan gue bilang iyaa hahaha...ckck..jangan di tiru yaa..
*semogamamaenggakakanbacablogini* aminnnn..

kita mesen tiket buat yang tanggal 18 jam dua siang.dan berhubung kita semua anak pelajar yang manis dan berkantong tipis -_-v jadilah, kita beli yang kelas 3 doang, itu juga gue agak nyesek gimana deh pas selembar seratus ribu itu melayang dengan anggunnya dari dompet gue --" hahaha

dannnn...perjuangan gue berlanjut di tanggal 18nya..

kak mely sama prima sih janjian naik kereta, kalo janice kayanyadia udah apal jalan. lha gue ??
okee ya gue panik banget, karena gue enggak ngerti jalan ke TIM kalau naik angkotan umum itu apaan aja. gue sering sih muter-muter menteng-cikini tapi kan sama ayah, mana ngerti gue kalo suruh naik bis atau angkot..

tapi lagi-lagi karena gue nekat, gue putusin buat naik taksi, yang menurut gue satu-satunya kendaraan yang paling pasti di antara yang lainnya. selama perjalanan itu gue ngebacot mulu tuh di twitter hahaha

gue sama sekali enggak berani ngelirik argonya, apalagi pas macet di depan tebet, ya Allah rasanya pengen keluar aja gue dari dalem itu taksi hahaha...kak mely nelpon gue buat mastiin gue dimana dan jangan sampai di bawa kabur sama supir taksinya. gue sih cuma bisa cengengesan doang, padahal panik juga tuh -_- haha

akhirnya aksi jadi anak hilang seorang diri itu selesai, pas gue sampe TIM. yang amat gue sayangkan, hanyalah empat puluh empat ribu lima ratus gue yang melayang ke kantong abangnya...aaaahhh..duit gue tuh..hikssuuu T.T

disana kak mely, prima sama janice udah nunggu gue. dan setelah nanya beberapa kali, akhirnya kita menemukan letak si teater jakarta yang megahnya dapet banget lah..hehehe..

dan inilah tiket MLP yang janice ambilin buat kita berempat :
 *hihihi..maaf ya akunya ikut nampang ._.v ini aku ambil fotonya pas udah sampai rumah*

terus dapet ini juga lhohhh :

*semacem kaya buku penjelas tentang drama ini*


masih mau tahu, gimana pertunjukkan itu berlangsung ???
tunggu part duanya yaa hehehe

thankyouuuu..

-cheers-

Kamis, 16 Desember 2010

cerita biasa (cerpen)

Ini hanya sebuah kisah biasa.


Tentang persahabatan, tentang masa remaja yang menyenangkan.

Kisah yang bisa kamu temukan dalam hidupmu sendiri.

Percayalah.

Ini hanya tentang persahabatan.

Ini bukan kisah romeo dan juliete.

Hanya sebuah kisah sederhana, dan sangat biasa.

Persahabatan.

***

Suara pantulan bola basket serta derap kaki, bagaikan menjadi pengiring musik yang khas. Belum lagi gelak tawa yang ceria. Suasana kebahagiaan yang sederhana namun luar biasa. Empat anak laki-laki itu, asik larut dalam permainan mereka. Saling mengoper dan melempar bola. Berkejaran dan berlarian. Tidak peduli meski masing-masing dari mereka telah ada di umur tujuh belas, tidak peduli meski di dompet mereka telah terselip kartu tanda penduduk, tidak peduli meski matahari telah turun perlahan ingin kembali ke peraduaannya. Mereka terus saja bermain. Bermain dan bermain.

“Host...host...”

“Lo enggak apa-apa kan ? duduk dulu deh..” dua orang di antara mereka, menepi ke pinggir lapangan. Memaksa salah satu di antaranya, untuk duduk.

“Kenapa ?” tanya yang lain, yang baru datang.

“Dia..”

“Enggak, gue enggak apa-apa, ayo main lagi..” ujarnya yang di suruh duduk tadi.

Tiga laki-laki itu, sekarang menatapnya tajam, seolah-olah mereka berumur jauh lebih tua darinya. Seperti ia adalah anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan dan akan segera di marahi.

“Serius gue enggak apa-apa..” laki-laki itu mencoba menatap mata temannya yang lain, berusaha meyakinkan, meski ia mengerti mukanya saat ini sama sekali tidak menggambarkan kalimat ‘..enggak apa-apa’ yang baru saja di ucapkannya.

“Udahlah, lagian ini juga udah sore, kita mainnya yang udah terlalu lama”

“Jangan berhenti cuma gara-gara gue” masih ujarnya lagi. Ia menyandarkan kepalanya di dinding, masih berusaha mengatur nafasnya.

“Haha..pede banget lo ! lagian gue juga udah capek kok” sahut temannya yang lain. Menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

“Tapi serius, gue masih bisa main”

“Besok lagi aja deh mainnya, istirahat dulu sekarang..” timpal yang satunya lagi.

“Thanks” desahnya pelan. Ia tersenyum, semuanya juga tersenyum. Senyum yang hangatnya melebihi dekapan selimut setebal apapun. Senyum yang indahnya melebihi keelokan langit sore. Senyum yang menenangkan melebihi kata-kata bijak dari seorang filsafat sejati. Senyum seorang sahabat.

***

Kemenangan terbesar dalam hidup, adalah ketika kamu menemukan sahabat-sahabat terbaik sepanjang masa.

***

Hari senin. Hari yang di tasbihkan menjadi hari yang paling menyebalkan. Bukan salahnya memang, hanya takdir yang membuatnya menjadi yang pertama, apalagi ia hadir setelah hari minggu yang menyenangkan.

Sepi. Itulah yang saat ini di rasakannya. Hari senin yang menyebalkan. Pelajaran matematika yang menjemukan. Dan hari ini ia harus duduk sendiri. Berkali-kali ia menoleh ke sebelah kanannya, yang tetap saja kosong. Tidak berpenghuni.

“Yo..Rio..pssttt..Rio..”

Merasa di panggil. Ia langsung celingukan kesana-kemari. Mencari darimana sumber suara itu berasal.

“Yo, itu Cakka disana..” Lintar yang duduk di belakangnya, menunjuk ke arah jendela kelas mereka. Dan terlihatlah wajah cakka tersembul sebagian disana. Dengan telunjuknya, Rio tahu, Cakka memberinya isyarat untuk keluar kelas. Dan tanpa perlu di beri tahu lebih lanjut lagi, Rio juga mengerti, apa yang akan mereka lakukan.

“Pak..” Rio langsung mengangkat tangannya. “Saya mau ijin ke kamar mandi”

“Cepat sana, cepat..”

“Iya pak..” buru-buru Rio langsung keluar dari kelasnya. Dan menghampiri Cakka.

“Iel mana ?”

“Dia lagi ada ulangan, gimana dong ?” tanya Cakka balik.

“Ya udah tungguin aja bentar”

“Oke deh, ayo..”

“Eh kka, elo kenapa enggak sms aja sih ?”

“Hehe..hape gue mati lupa ngecharge” tukas Cakka. Rio hanya menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan ke arah kelas Iel. Kira-kira tiga puluh menit, mereka menunggu sambil memperhatikan Iel. Dan ketika Iel terlihat sudah selesai bergulat dengan soal-soalnya, dengan tampangnya yang stay cool itu, Rio mulai mengambil bagiannya, menjalankan aksinya.

“Tok..tok..permisi bu..” ujar Rio sopan, berdiri di ambang pintu kelas Iel.

“Ada apa Mario ?”

“Saya mau ijin manggil Gabriel bu, ada urusan sebentar tentang buku tahunan”

Iel yang juga sudah dapat menebak, apa yang sedang di jalankan kedua sahabatnya itu. Hanya tersenyum kecil, sambil bangkit dari kursinya, dan berniat mengumpulkan kertas ujiannya.

“Kamu sudah selesai Gabriel ?”

“Sudah bu..”

“Ya sudah, ibu ijinkan kamu untuk pergi dengan Mario”

“Makasih bu..” dua orang itu, mencium tangan guru mereka, dan segera keluar kelas.

“Cakka mana Yo ?”

“Lagi ngurusin bagiannya..udah ayo kita ke parkiran aja” ajak Rio, sambil merangkul sahabatnya itu. Mereka berdua sudah siap di motor masing-masing, hanya tinggal menunggu Cakka, beberapa kali sudah Iel melirik jam tangan yang melingkar di tangannya.

“Udah sepuluh menit, keburu bel istirahat entar”

“Sabar Yel..”

“Eh, ngomong-ngomong kita udah lama ya enggak gila kaya gini” ujar Iel sambil memutar-mutar kunci motor di tangannya.

“Haha, hitung-hitung refreshing kelas tiga Yel..” sahut Rio.

“Sori lama..” kedatangan Cakka, memotong obrolan mereka. “Nih lihat dong, apa yang gue punya..”

“Apaan tuh ?” Iel mengambil secarik kertas yang ada di tangan Cakka. “Surat ijin keluar sekolah ? dapet darimana lo ?”

“Serius surat ijin sekolah ? ahh..gila banget lo Kka..sadis” timpal Rio.

“Haha..gue gitu, udah ayo ah, berangkat..” Cakka memakai helmnya, begitu juga Rio dan Iel. Dan ketiga motor itupun melesat meninggalkan parkiran, melewati pos satpam dengan lancar, dan tentu saja melupakan segala macam pelajaran di hari itu.

***

Suara gaduh di luar, membangunkannya. Pandangannya agak buram dan kepalanya agak berat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, ia mencoba untuk menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur.

Klek.

“Cakka ?”

“Wess, udah bangun lo bro..”

“Rio..”

“Kata nyokap lo, lo masih tidur..”

“Iel..”

“Gimana vin, baikkan ?”

“Kalian ngapain kesini ?”

“Mau nemenin elo lah..” sahut ketiganya kompak. Dan mengambil tempat favourite mereka masing-masing. Iel di kaki tempat tidurnya, Cakka di di kursi belajarnya, dan Rio di kusen jendela yang langsung menghadap ke taman.

“Enggak sekolah ?”

Tidak ada yang menyahut, mereka saling berpandang-pandangan dan melemparkan cengiran-cengiran yang Alvin kenal, sebagai cengiran saat mereka berbuat suatu hal gila.

“Kalian cabut ya ?”

Masih tidak ada yang menyahutinya. Membuat Alvin jadi kesal sendiri. “Kalau enggak ada yang jawab, gue usir lo semua” katanya tajam.

“Eh, jangan dong, perjuangan nih bisa kesini, enak banget lo mau ngusir” jawab Cakka akhirnya.

“Ya udah, terus kenapa bisa kalian kesini, ini kan masih jam pelajaran. Kalian cabut beneran..”

“Gitulah Vin” sahut Iel.

“Ahh, gila, parah lo semua !”

“Yah Vin, elo jangan marah gitu dong, maksud kita kan baik, mau jengukin elo, mau nemenin elo, lagian lo tega apa biarin gue duduk sendirian hari ini” ujar Rio, beranjak dari tempatnya mendekat ke arah Alvin.

“Tapi enggak kaya gini juga, kita udah kelas tiga, kalau gue kan emang dispensasi, kalau elo bertiga ? lagian elo kaya enggak biasa duduk sendiri aja sih Yo, dalam sebulan berapa kali sih lo harus duduk sendiri tanpa gue”

“Ini bentuk solidaritas kita sob..” ucap Iel pelan, menyadari nada suara Alvin yang mulai tajam.

“Solidaritas macam apa sih Yel ? gue aja enek kalau harus ada di rumah kaya gini, gue aja pengen bisa terus pergi ke sekolah, tanpa perlu ada halangan apapun, dan elo bertiga malah kaya gini ! sarap tahu enggak !”

Melihat Alvin mencak-mencak seperti itu, Rio, Iel, dan Cakka jadi merasa bersalah sendiri. Mereka saling berpandang-pandangan, dan entah karena naluri batin mereka yang memang sudah terlalu tertanam kuat atau bagaimana, mereka sama-sama tahu, apa yang harus mereka lakukan saat ini.

“Ya udahlah, mungkin better kalau elo istirahat sendiri sekarang, kita balik deh ke sekolah..” ujar Cakka. Berdiri dan mencoba tersenyum ke arah Alvin, yang masih menatapnya tajam.

“Cakka benar, lagian adanya kita disini, malah bikin elo enggak bisa istirahat lagi” timpal Iel.

“Ya udah, kita balik ya Vin, get well soon” sambung Rio. Mereka bertiga beriringan, menuju pintu kamar Alvin.

Alvin menghela nafas, melihat sahabat-sahabatnya itu. Bukan ia tidak senang mereka kemari, hanya saja, cara yang mereka tempuh ini sama sekali tidak Alvin sukai.

“Ouh..shitt..” Alvin mengumpat pelan, ketika ia merasa cairan kental mulai mengalir dari kedua lubang hidungnya, dan kepalanya bertambah berat. Semua tampak berbayang. Alvin berusaha menggapai-gapai tisu, yang tempatnya terletak di meja kecil samping tepat tidurnya.

“Prang !!”

“ALVIN !”

Suara Rio, Iel, dan Cakka seperti bersatu, memanggilnya. Namun semua tampak berputar, berpusar, dan tiba-tiba menggelap. Hitam dan pekat.

***

Wajah-wajah itu langsung tampak memenuhi bola matanya, ketika Alvin akhirnya sadar. Desahan serta senyum lega, terdengar jelas di telinganya.

“Mau minum Vin ?” tawar Iel, yang kini ada di sisi sebelah kirinya.

“Enggak..” sahut Alvin lirih. Ia mencoba mengangkat kepalanya, tapi semua masih terasa berat.

“Jangan di paksain” ujar Rio. Menumpukkan bantal untuk Alvin, agar meski dalam posisi tidur pun, Alvin masih bisa melihat sahabat-sahabatnya itu.

“Kok kalian masih disini ?”

“Vin, kita ini sahabat lo ! enggak mungkin banget tadi kita tetap aja balik ke sekolah, pas ngelihat elo pingsan kaya gitu, udahlah lagian udah jam segini juga, percuma aja balik ke sekolah, bunuh diri yang ada..” cerocos Cakka.

“Sori..” desah Alvin pelan.

“Buat ?” tanya Iel.

“Udah bikin kalian tetap ada disini dan bukannya balik ke sekolah”

“Haha..yang ada juga kita kali, yang bilang makasih, elo udah ngasih kita libur sehari dari pelajaran-pelajaran enggak guna itu”

“Ahh iya, Rio bener. Gue bebas dari matematik sama kimia hari ini, surga banget !” sambung Cakka.

Alvin terkekeh pelan. “Jangan di ulangin lagi, ini terakhir kalinya, kalian cabut dari sekolah, cuma demi gue..”

“Siap bos !” tukas Iel sambil berlagak hormat ke arah Alvin. “Lagian ini kaya nostalgia juga sih, dulu kan smp kita sering banget ngelakuin kaya gini, terakhir kita kaya gini kapan ya ?”

“Awal-awal kelas sebelas, pas gue baru balik dari rumah sakit” sahut Alvin. Ia tidak akan pernah lupa, semua hal yang pernah sahabatnya lakukan untuk dia, meski dengan cara yang tidak tepat, tapi tetap saja, ketulusan di balik itu mampu membuat Alvin dapat membusungka dadanya, membanggakan pada dunia, bahwa ia memiliki sahabat terhebat di muka bumi ini, sukur-sukur hingga ke surga nanti.

“Gimana tadi kaburnya ? emang enggak ditanyain sama satpam ?” kali ini Alvin malah penasaran, apa yang sahabatnya lakukan agar bisa semudah itu keluar dari pagar sekolah mereka. “Atau kalian manjat tembok lagi ?”

“Enggak dong, masa udah mau 2011 gini, masih jaman aja manjet pager, tadi kita pakai cara yang lebih elegan Vin..haha..” jawab Cakka bangga. “Gue berhasil dapetin surat ijin keluar, plus tanda tangan piket hari ini”

“Kok bisa ?” tanya Alvin tidak mengerti.

“Haha..gue gitu..jadi tadi pas gue mau ngelobi satpam, biar ngasih kita ijin keluar, gue ketemu sama Agni, ternyata dia mau ngurusin lomba basket putri di luar, nah ya udah sekalian aja gue minta tolong ke dia, buat sekalian ngambilin surat ijin plus tanda tangannya..canggih kan gue ?” terang Cakka sambil menaik turunkan alisnya.

“Woo..kalau gitu sih, Agni yang canggih, bukan elo..” cibir Rio sambil melayangkan sebuah bantal ke muka Cakka.

“Ahh tetep aja, kalau enggak karena pesona gue, Agni pasti enggak bakal mau ngelakuinnya” sahut Cakka pede, dan kembali melemparkan bantal itu ke arah Rio. Iel dan Alvin hanya bisa tertawa melihat kelakuan dua orang tersebut.

***

Seorang sahabat, tidak akan pernah menjauh seincipun, ketika sahabatnya membutuhkannya.

***

Bel berakhirnya pelajaran terakhir telah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Tapi tiga orang itu masih berkutat dengan pekerjaan baru mereka, yang sama sekali tidak elite, membersihkan kamar mandi sekolah.

“Yel, bagian itu udah gue pel, kenapa elo siram air lagi sih !” protes Cakka.

“Eh ? haha..mana gue tahu Kka, sori deh, ya udah pel lagi sono..” sahut Iel enteng, sama sekali tidak merasa salah.

“Ah elah, elo berdua rame amat dari tadi, kapan selesainya ini ?!” timpal Rio kesal, yang dalam hukuman kali ini, kebagian tugas mengosek toilet.

“Belum selesai juga elo bertiga ?”

“Nah elo Vin, udahan ulangan susulannya ?” bukannya menjawab, Cakka malah melemparkan pertanyaan lain ke Alvin.

“Udah, mana yang bisa gue bantu ?”

“Eits, diem aja lo disitu ! lagian ini hukuman kita bertiga, elo enggak usah ikut campur” perintah Iel.

“Sini ah..” Alvin melepas jaketnya, menggantungnya di pintu, mengambil pel yang ada di tangan Cakka, dan mulai mengepel. “Lagian kalian di hukum kaya gini kan, karena mau nemenin gue..”

“Tapi Vin ...” Rio menatap Alvin, cemas.

“Udah ah, ayo kerja-kerja, biar cepetan beres..”

Tahu, akan percuma saja, jikalau mereka terus melarang Alvin. akhirnya mereka berempat mulai kembali melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Lagipula, sepertinya inilah yang paling pantas di sebut dengan persahabatan. Ada di tempat yang sama, bersama-sama, bukan hanya untuk tertawa, tapi juga untuk letih bersama. Meski di dalam sebuah kamar mandi.

***

Setelah hampir satu setengah jam, berada di kamar mandi yang pengap serta sempit itu. Mereka berempat kini sedang duduk-duduk di gazebo rumah Alvin, menikmati hembusan angin sore yang menyejukkan.

Selalu seperti ini. Rumah Alvin, dan gazebo ini, seperti telah menjadi markas tetap persahabatan mereka. Dulu, saat mereka sd, mereka sering main disini karena Alvin yang memang tidak di perkenankan untuk main terlalu jauh. Tapi semakin kesini, semakin banyak kenangan yang mereka torehkan disana, semakin tidak dapat dipisahkan juga mereka dari gazebo ini.

“Hahh..” Alvin mendesah, dan agaknya terlalu keras, sehingga semua teman-temannya kini mengarahkan wajah mereka ke arahnya.

“Kenapa Vin ?” tanya Rio, yang duduknya paling dekat dengan Alvin.

Alvin menggeleng sambil tersenyum kecil. Pertanyaan ini, seolah menjadi pertanyaan wajib, yang paling sering Rio, Iel, dan Cakka tanyakan padanya. Pertanyaan biasa, yang selalu terdengar penuh kepanikan dan di ucapkan dengan wajah khawatir oleh teman-temannya. Pertanyaan sederhana, namun berarti bagi Alvin, karena hanya dengan pertanyaan itu, Alvin bisa merasakan ketulusan sahabat-sahabatnya.

“Serius enggak kenapa-napa ?” tanya Rio lagi, ketika tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Alvin.

“Sumpah deh gue baik-baik aja, kan kemarin udah mimisannya, masa sekarang lagi” jawab Alvin enteng.

“Ya enggak gitu juga sih Vin, kita kan cuma khawatir aja sama elo” sambung Iel.

“Iya gue tahu..” tukas Alvin. “Tapi lo semua ngerasa enggak sih, semakin kesini, elo semua sama aja kaya nyokap gue, makin protect sama gue..”

“Enak aja lo ngomong, gue di samain sama nyokap lo lagi” sahut Cakka tidak terima.

“Haha..abisan, dulu lo semua enggak gini-gini amat ah, coba sekarang, dikit-dikit pasti khawatir banget sama gue. Ya iya sih gue tahu, sakit gue emang tambah parah, mau mati malah kayanya ta...”

“Vin ! elo asalan banget sih kalau ngomong !” potong Rio. Ia paling tidak suka jika Alvin mulai menyisipkan kata ‘mati’ dalam kalimatnya. Meski Rio tidak bisa memungkiri itu hal yang paling mutlak dalam hidup ini.

Alvin diam melihat kilat kemarahan di mata Rio. Tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Tapi sampai kapan, semua harus pura-pura menganggap bahwa umurnya akan panjang. Alvin bukan lagi, Alvin yang berusia sepuluh tahun, yang diberi tahu bahwa ia menderita sebuah penyakit dan suatu saat nanti ia akan sembuh. Alvin telah mengerti sekarang, bahwa harapan-harapan itu hanya kosong belaka, menguap di telan waktu.

“Dulu, waktu elo pertama kalinya di rawat, saat itu gue ngeyakinin diri gue sendiri kalau elo itu cuma sakit biasa, sekedar demam, dan bakal sembuh..” Iel tiba-tiba saja bersuara di tengah-tengah keheningan itu.

“Dan gue inget banget waktu itu, waktu gue jenguk elo di rumah sakit, nyokap lo nangis dan nyokap gue meluk nyokap lo. Gue sama sekali enggak ngerti, kenapa nyokap kita harus kaya gitu. Waktu itu gue disuruh masuk sendiri ke kamar rawat lo, dan elo baik-baik aja di mata gue, enggak ada yang salah..sama sekali enggak ada..” Iel melanjutkannya. Menerawang dalam waktu yang telah terlewati dengan susah payah.

“Tapi setelah itu, elo enggak lagi boleh ikut pelajaran olahraga sama upacara, enggak lagi boleh main sepedaan sama kita, dan elo jadi minumin obat setiap hari. Tapi waktu itu gue masih mikir, kalau elo masih dalam penyembuhan, dan emang obatnya harus habis kaya antibiotik yang dokter kasih kalau gue lagi sakit..” tersenyum simpul, Iel mengajak semuanya lebur dalam kisah itu.

“Gue juga inget..” sebelum Iel menyambung kata-katanya lagi, Cakka terlebih dulu membuka suaranya. “Gue juga boleh ngomong kan Yel ?”

“Bolehlah Kka..”

“Inget, waktu itu, kita main, gue lupa kita main apa, tapi yang jelas elo mimisan banyak banget. Terus pas sampai ke rumah lo, gue, Rio sama Iel di ajak ngobrol sama nyokap bokap lo, waktu itu gue kira kita bakal di marahin, ternyata enggak. Bokap lo malah bilang, kita harus ngejagain elo, harus ngingetin elo biar enggak sering capek-capek, dan kalau perlu marah sama elo kalau elo enggak mau di kasih tahu. Waktu itu gue tanya kenapa, tapi bokap lo cuma bilang, suatu hari nanti kita bakalan tahu..”

“Terus waktu itu juga, guru-guru jadi perhatian banget sama lo. Mereka pasti panik banget kalau elo pucet dikit aja, dan jujur ya Vin, gue iri berat sama elo waktu itu. Lo tuh kaya jadi anak emas semua guru, enggak ada yang marah kalau elo enggak masuk, dan elo selalu bisa bebas dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan sama fisik..” sambung Cakka lagi, tersenyum kecil, mengingat ia yang dulu paling vokal, menganggap guru-guru berlaku tidak adil.

“Gue juga mau dong..” pinta Rio, seolah saat ini adalah waktunya untuk membagi pengalaman mereka tentang Alvin. Cakka hanya mengangguk. Sementara Alvin, si objek yang dibicarakan sejak tadi, hanya bisa diam mendengarkan.

“Kelas satu smp, gue maksa ke nyokap gue buat ngasih tahu apa penyakit lo, dan akhirnya gue tahu. Jadi saat itu, diam-diam gue udah ngerti sakit apa yang ada di tubuh lo. Gue takut banget waktu itu, dan gue sama sekali enggak ngerti apa yang bisa gue lakuin buat bikin elo tetep tinggal disini sama kita..”

“Sampai akhirnya, pas kelas dua smp, dan elo cerita ke kita, lo sakit apa dan kenapa, dan ngelihat elo bisa tegar kaya gitu, gue pikir kenapa gue enggak bisa. Tapi setegar-tegarnya gue, gue tetep aja ngerasa takut, itu sebabnya mungkin kenapa elo nganggep kita jadi lebih protect ketimbang dulu, karena semakin kesini, gue juga semakin ngerti sama keadaan lo, dan semakin kesini, semakin banyak waktu yang kita berempat laluin jadi kenangan..” Rio menepuk-nepuk pundak Alvin pelan.

“Gue bukan siapa-siapa tanpa kalian” ujar Alvin pelan, memandang temannya satu persatu-satu.

“Gue penyakitan dan lemah. Gue enggak pernah aktif di osis kaya kalian bertiga, enggak bisa juga jadi bintang basket atau olahraga lainnya karena fisik gue yang enggak mengijinkan untuk itu, badan gue terlalu kurus dan pucet buat jadi idaman cewek-cewek cantik di sekolah, otak gue apalagi, satu bulan, bisa ada satu minggu sendiri gue enggak ikut pelajaran, orang tahu gue, karena gue sama kalian..”

“Enggak gitu juga ah Vin..” sanggah Iel.

“Kaya gitu Yel. Orang kenal gue, oh Alvin temennya Iel yang mpk itu ya, atau Alvin yang suka sama Rio ketua osis itu kan, ehm..Alvin yang sering nemenin ketua basket si Cakka ya..selalu kaya gitu, tapi coba kalau gue sendiri, orang tahunya ya gue yang penyakitan, jarang masuk, tapi selalu sukses naik kelas..”

“Serius Vin, ada yang bilang gitu ? minta di tampol tuh orang” sungut Cakka sengit.

“Buat apa Kka ? gue enggak peduli. Emang gue kaya gitu kok, emang gue Alvin looser yang ada di antara tiga orang hebat, dan gue enggak keberatan akan hal itu. Yang penting kaliannya mau nerima gue apa adanya, padahal gue suka nyusahin kaya gini, sama sekali enggak ada keuntungannya temenan sama gue”

“Elo ngomong apaan sih Vin ? siapa bilang temenan sama elo enggak ada keuntungannya ? gue bangga punya temen kaya elo, dan akan selalu kaya gitu !” sahut Rio.

“Thanks, kalian emang yang paling the best..”

***

Tidak akan ada perpisahan yang menyenangkan, yang ada hanya doa agar suatu saat dapat berjumpa kembali

***

Deruan nafas yang tidak teratur, rasa sakit yang bagai meremas tulang-tulang secara sengaja, darah yang terus mengalir bagai kran air yang lupa ditutup, dan kesadaran yang perlahan dan demi perlahan tergerus.

“Vin..Alvin..”

Suara itu. Seperti ada tangan yang mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi jangankan untuk membuka matanya, bahkan dalam ke adaan terpejam seperti inipun, rasa sakit itu terus saja mendera tanpa ampun. Terus saja memeluknya erat.

“Alvin, lo denger gue kan ? ini gue Rio, Alvin !!”

“ALVIN !! VIN !!”

Dan semua tiba-tiba seperti diam. Berhenti. Tidak ada lagi suara, sama sekali tidak. Tapi rasa sakit itu masih saja tersisa. Membuat seluruh tubuhnya terasa berat.

***

Doa dan lantunan harapan, bergaung terus menerus di dalam hati mereka. Tangan-tangan di angkat, menengadah, meminta kepada Ia, satu-satunya Zat yang paling berkuasa atas segala kuasa di alam ini.

Ini bukan untuk pertama kalinya. Sudah berpuluh-puluh kali, mereka pernah ada di kondisi yang sama seperti ini. Menanti tanpa harapan yang pasti. Berharap masih ada satu hari atau malah lebih, untuk di tambahkan pada umur Alvin.

Tangan Rio bergetar hebat. Bayangan wajah pucat Alvin, dan darah yang terus keluar dari lubang hidungnya, terasa terus berkelebat di pikirannya. Rio benar-benar tidak menyangka akan menemukan Alvin dalam keadaan seperti itu. Ia memandangi ujung kaosnya, yang penuh bercak darah.

“Dia pasti baik-baik aja Yo..” ujar Iel yang duduk di sebelahnya, meski gurat kecemasan juga terpeta jelas di wajahnya.

“Alvin kuat, kita harus percaya sama dia” timpal Cakka.

Kedua orang tua Alvin tersenyum tipis, melihat bahwa anak mereka, memiliki sahabat yang tidak sedetikpun pernah berniat untuk pergi, meski keadaannya seperti ini. Bukankag itu suatu yang patut di banggakan ?

Seorang dokter keluar dari kamar perawatan Alvin, yang langsung mereka hampiri. “Kalian semua di tunggu oleh Alvin di dalam”

“Sudah, kalian bertiga aja yang masuk duluan, om sama tante biar ketemu sama dokter dulu” bujuk papanya Alvin. ketiga orang itu mengangguk, dan segera masuk ke dalam kamar Alvin.

“Hei..” sapa Alvin parau, mencoba tersenyum di balik masker oksigen yang menyelubungi wajahnya.

“Lo bikin gue takut Vin” sahut Rio.

“Gue masih ada disini” ujar Alvin pelan. “Untuk beberapa waktu..” sambungnya lirih.

“Berhenti ngomong, seolah-olah lo mau mati besok” celetuk Iel datar, menatap Alvin memohon.

“Kita kenapa sih ? jangan pada kaya gini ah lo semua, kitakan harusnya seneng, Alvin udah sadar” Cakka mencoba untuk tidak ikut terpengaruh pada suasana, yang entah kenapa terasa begitu suram ini.

“Gue pengen kita ngeband lagi”

“Apa Vin ?” tanya Cakka, yang agak kesulitan mendengar perkataan Alvin.

“Ngeband, gue mau ngeband lagi..” ulang Alvin.

“Iya, entar kalau elo udah keluar dari sini, kita ngeband lagi” jawab Iel. Layaknya seorang ayah, yang menjanjikan sesuatu pada anaknya.

Dan semua tiba-tiba saja diam. Duduk mengelilingi Alvin. Namun meski tanpa kata-kata, semua terasa tersampaikan, rasa sayang itu, kepedulian itu, aroma persaudaraan yang kental. Semuanya, begitu terasa.

***

Semua saling berbisik-bisik. Tidak mengerti, mengapa harus di kumpulkan di aula sekolah siang-siang begini. Dan segala kasak-kusuk itu kian menjadi-jadi, ketika Alvin, Rio, Iel dan Cakka keluar ke atas panggung dan mengambil alat musik masing-masing.

“Siang semuanya..” sapa Alvin, yang kali ini bertindak sebagai vokalis.

“Maaf kalau gue ganggu waktu belajar kalian, oh ya by the way, kalian kenal enggak ya sama gue ? kalau sama, yang ada di belakang, pasti kenal semua doang, ada Rio, Cakka dan Iel. Gue sendiri Alvin, angkatan 28, dari 12 ips 1, mungkin banyak yang enggak kenal gue karena gue jarang masuk, tapi sekali ini aja, gue pengen ngasih sesuatu buat sekolah ini..”

Cakka yang ada di balik drum, Iel yang memegang Bass serta Rio dengan gitarnya, menatap Alvin lirih. Hanya ini yang bisa mereka bertiga lakukan, memohon kepada sekolah, agar bersedia mengijinkan untuk acara kecil ini. keinginan mereka hanya satu, hanya ingin, Alvin tidak hanya menorehkan kenangan di hati mereka bertiga, tapi juga di seluruh sekolah ini.

Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali

Kita berbincang tentang memori di masa itu

Peluk tubuhku usapkan juga air mataku

Kita terharu seakan tidak bertemu lagi

Suara Alvin yang sedikit serak, entah mengapa terasa mengirisi ulu hati Cakka, Rio dan Iel. Belum lagi lagu pilihan yang Alvin pilih ini.



Bersenang-senanglah

Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan

Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan

Bersenang-senanglah

Kar'na waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua



Sampai jumpa kawanku

S'moga kita selalu

Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Sampai jumpa kawanku

S'moga kita selalu

Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan



Bersenang-senanglah

Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan

Di hari nanti...



Mungkin diriku masih ingin bersama kalian

Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian

“Prokkk....prokkk..”

“Makasih semuanya..” untuk pertama kalinya, Alvin merasa ia bisa melakukan sesuatu, tidak hanya bergantung pada orang lain. Tapi rasa bangga sesaat itu, tiba-tiba saja berganti menjadi rasa sakit yang tidak tertahankan, dan semua kembali gelap. Benar-benar gelap.

***

Titik-titik air mata, masih saja menetes meski hanya satu-satu. Tidak ada yang akan tetap berdiri tegak, ketika sahabat terbaik akhirnya pergi. Semua akan terasa pekat dan gelap. Dan mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu. Tapi siapa peduli. Yang terbaik yang pernah ada di hidupmu baru saja pergi. Kamu berhak untuk menangisinya.

Bukan cengeng. Bukan juga lemah. Ini hanya fase kehidupan, manusiawi. Setidaknya percayalah, kamu telah memberikan semua yang terbaik yang kamu punya, untuknya, yang kamu bilang sahabat.

Dan saat kamu meyakini, bahwa ia telah cukup bahagia, maka lepaskanlah, karena percuma saja terus menahannya. Sahabat terbaik datang untuk menemani langkahmu. Jadi teruslah pegang itu, meski ia pergi, kakinya tidak akan pernah beranjak jauh dari tempatmu.

Yang terbaik, adalah ia yang datang, untuk siap kamu bagi dengan segala dukamu, dan tidak pernah dendam saat kamu lupa membagi tawamu untuknya.

***

Kisah biasa kan ?

Hanya tentang persahabatan.

Persahabatan yang indah. Namun tetap saja, hanya sebuah..

Cerita biasa..

TAMAT.

*nengok kanan kiri* jangan ada yang nimpuk aku, oke ??

sebenernya aku pernah janji enggak akan nyiksa alvin lagi..

tapi...

banyak banget yang minta aku bikin cerita yang nyiksa begini..

Jadi, cerita ini, spesial buat mereka yang minta cerita penyiksaan .. semoga sih enggak ngecewain, walaupun kayanya bakal ngecewain –“ hehehe

Tinggalin jejak yaa..berupa apapun deh, komen, kritik, saran..wall di fb, atau twitter hehehe..

Twitterku >> @nindhiyaa

Fyi, lagunya sebuah kisah klasik by sheila on7

Makasih.

Jumat, 03 Desember 2010

bertahan (cerpen)

Gadis kecil itu menggelembungkan pipinya, membuatnya terlihat bulat, sambil mengamit boneka beruang kecil di dekapan tangan kirinya, ia berdiri di ambang pintu.


“Mama mana pa ?” tanya gadis itu ketus, dan kembali menggelembungkan pipinya. Papanya yang sejak tadi membaca koran, baru sadar akan kehadiran anak perempuannya itu.

“Mama pergi, kamu kenapa via ? sini deket papa..”

Dengan berlari kecil, via mendekati papanya dan duduk di sampingnya. “Via sebel sama iel, via enggak mau temenan lagi sama iel..” ujarnya polos, khas anak-anak.

“Kok gitu ? via sama iel kan sahabatan, jadi enggak boleh saling benci..”

“Tapi iel jahat sama via”

“Iel nakalin via ?” via itu menggeleng.

“Iel bikin via nangis ?” lagi-lagi via menggeleng.

“Terus iel bikin salah apa sama via ?”

“Tadikan di sekolah, acara tukeran bekal, terus via udah bawain roti buat iel, tapi iel malah ngasih bekalnya ke zahra, terus seharian mereka ngobrol berdua, via enggak boleh ikutan”

“Via suka ya sama iel ?” goda papanya.

“Ihh, papa, apaan sih, kata bu guru, anak kecil enggak boleh suka-sukaan, via cuma enggak suka aja, zahra ngerebut ielnya via”

Papanya tersenyum penuh arti, menggendong via lalu meletakkan di pangkuannya. “Itu via tahu, lagian via enggak boleh egois, semua itu teman, via, iel, zahra, kalau main ya harus sama-sama..”

“Tapi via enggak suka lihat iel berdua sama zahra”

“Kok gitu sih ? anak papa enggak boleh ah, jadi egois gitu..”

“Kan via itu putri, iel pangerannya, kalau pangerannya direbut, nanti via sama siapa ?” papanya terkekeh pelan, ia mengusap rambut via yang tergerai.

“Tuh kan, berarti via suka sama iel..”

“Enggak papa, via enggak suka. Tapi via sama iel itu, putri sama pangeran, enggak bisa dipisahin” sahut via masih keukeuh dengan jawabannya.

“Via tahu enggak, kadang apa yang manusia rencanain, belum tentu sesuai sama apa yang Tuhan rencanain”

“Beneran ? kan kata papa, kalau kita rajin berdoa dan jadi anak baik, Tuhan akan sayang sama kita dan ngabulin semua doa kita, iyakan ?”

Papanya menatap mata via yang bening, putri tunggalnya itu, memang cerdas. Mata yang sama seperti mata ibunya, sifat ingin tahu yang sama seperti ibunya pula, dan ego yang dimilikinya itu, rasa-rasanya juga mirip dengan ibunya.

“Via, mau dengerin cerita papa enggak ?”

“Cerita apa ? tentang putri yang cantik sama pangeran berkuda putih ya ?”

“Haha..mau enggak nih ?”

“Mau..”

“Ini cerita tentang...”

***

Suara riuh penonton, menjadi pengiring penuh semangat. Teriakan serta yel-yel yang terus berkumandang tanpa henti, bagai genderang yang berisi energi tak terbatas. Pertandingan basket antar sma sejabodetabek, memang selalu begini.

“Gimana fy, udah berapa-berapa ?” seorang laki-laki dengan mata sipit, dan masih berbalut seragam bola, duduk di samping seorang gadis manis, yang dari tadi termasuk yang paling kencang, dalam soal teriak-meneriaki.

“Eh elo vin, udah 77-68, buat sekolah kita..” sahut ify menoleh sekilas, lalu kembali memperhatikan pertandingan.

“Bagus deh, rio udah masukin berapa kali ?”

“20an lebihlah, hampir 30 malah kayanya”

“Sadis tuh bocah, abis ini kita ditraktir nih fy..”

“Yoaa..” ujar ify sambil mengacungkan jempolnya, dan baru-baru benar menoleh ke arah alvin. “Lho, vin kok elo pakai...? ya ampun !! gue lupa lo juga tanding, gimana-gimana ?!!” sambung ify heboh sendiri.

Alvin menutup kedua telingannya, mendengar teriakan ify. “Santai fy..”

“Hehe...jadi gimana pertandingan lo ?”

“Lumayanlah, 3-0”

“Menang ?”

“Iya dong”

“Siapa yang ngegolin ?”

“Gue..”

“Tiga-tiganya ?”

“Iya”

Ify menatap alvin tidak percaya, bukan soal gol yang alvin buat, tapi cara alvin menyampaikan berita itu, yang datar-datar saja. “Itu sih bukan lumayan vin, itu namanya hebat..aaaa..selamat yaaa..”

“Haha..oke-oke. Entar pas final, lo sama rio wajib nonton ya, enggak mau tahu gue”

“Sip. Asik, gue ditraktir dobel nih..”

“Dih, siapa juga yang mau nraktir lo..”

“Ya elo sama riolah hahaha..”

-----

Dua orang laki-laki itu sama-sama diam, meski mata mereka mengisyaratkan bahwa mereka berdua tidak suka ada di tempat ini, bosan lebih tepatnya. Penampilan mereka sama-sama berantakan, rambut yang acak-acakkan, luka lebam di wajah mereka, serta noda darah di kemeja putih mereka yang keluar dan tidak terkancing rapi.

“Kalian itu mau jadi apa sih ?!! kerjaannya berantem terus ! bangga kalau bisa ikut tawuran ?! bangga !”

“Jawab saya !!” seorang laki-laki tua di hadapan mereka, yang mempunyai kumis melingkar menyaingi kumis pak raden, dan selalu dihadiahi predikat sebagai guru tergalak dan tersangar oleh setiap angkatan.

“Mereka yang ngejek sekolah kita duluan pak, saya enggak bisa tinggal diam dong kalau sekolah saya di injak-injak” sahut seorang anak yang duduk di sisi kanan.

“Tapi bukan dengan cara tawuran seperti ini mario !! mereka itu hanya anak-anak dari sekolah negeri pinggiran, bukan sekolah unggulan seperti kita ! gunakan dong akal sehat kamu !!”

“Akal sehat saya bilang, saya harus ngelawan mereka pak !” timpal seorang yang satunya lagi.

“Saya belum kasih kamu kesempatan buat ngomong alvin !”

“Tapi saya mau ngomong pak !”

“Udahlah pak, udah hampir satu jam kita duduk disini, dengerin bapak ngoceh kesana-kemari, bapak mau ngasih kita hukuman apa ? skorsing ?” sela rio, ia benar-benar sudah muak terus-terusan ada disini.

“Jangan kurang ajar ya kamu !”

“Kalau bapak tidak ingat, sama prestasi kalian berdua di bidang basket dan bola, rasanya bapak ingin sekali mengeluarkan kalian dari sekolah ini..”

“Kalau mau ngeluarin saya ya keluarin aja” potong alvin.

“Diam kamu alvin !”

“Baiklah, keputusan bapak untuk kelakuan kalian kali ini, bapak akan menskors kalian selama tiga hari ke depan, dan besok panggil orang tua kalian kemari. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan saya..”

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, dua orang sahabat itu keluar begitu saja. Terlihat ify yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi seperti biasa, langsung menghampiri mereka.

“Kalian tuh ya, kapan sih mau sadarnya ? ini udah ke 54 kalinya kalian masuk ke ruang BP, dan yang ke 14kalinya selama kalian kelas tiga ini”

”Dan sampai kapan sih fy elo mau ngitungin berapa kali kita udah masuk BP ?” tanya rio tidak mengerti dengan sahabatnya yang satu ini.

“Ya gue pengen tahu aja, sejauh apa sih, sepak terjang lo berdua di kelas tiga ini, enggak lulus aja lo berdua, tahu rasa deh”

“Kalau gitu, terus hitung ya fy, masih bakal panjang kayanya tuh daftar lo” celetuk alvin dengan cengirannya yang khas.

“Gila ah lo berdua, gue enggak abis pikir deh. Apa sih motif kalian masih tawuran dan nyari gara-gara kaya gini ? empat bulan lagi kita UN ! ujian nasional !” ujar ify sambil mengacungkan empat jarinya, semangat.

“Untung kalian siswa berprestasi, jadi selalu dimaafin. Tapi jangan ngelunjak gini juga dong. Lo enggak inget apa yo, ultimatum beberapa guru tentang nilai lo yang kurang di pelajaran mereka, itu bahaya banget tahu enggak..” ify masih saja melanjutkan orasinya, dan kali ini, seperti biasa, ia menjadikan rio sebagai objek pembahasannya.

“Kenapa selalu gue sih fy ? kenapa lo selalu ribet mikirin tentang gue ?!”

“Ya karena elo itu males, dan harus di ingetin dulu !” alvin hanya bisa terkikik menahan tawa, melihat dua sahabatnya ini mulai beradu argumen sepanjang koridor. Ia sendiri lebih memilih menebar senyumnya untuk setiap siswi yang ia temui.

“....kalau elo pintar gue juga enggak akan capai-capai peduliin nilai-nilai lo yang ada di bawah standar itu !”

“Jadi lo mau bilang gue bego fy ?!”

“Kan udah gue bilang tadi, lo itu malas. Nyatanya pas kelas satu, lo pernah kan ngalahin nilai matematik gue, walaupun cuma sekali sih, tapi tambah kesini, lo tuh malah tambah ancur, mau jadi apa sih lo ?!”

“Urusan gue dong mau jadi apa, kok elo yang ribet ? emak bapak gue aja santai..”

“Lo itu laki-laki, laki-laki itu bakal jadi tulang punggung keluarga, tapi kalau laki-lakinya kaya lo sih, susah banget deh di harepinnya”

“Udah ah, enggak akan selesai kita debat ! bibir gue berdarah, nyut-nyutan, dan malah lo ajakin kaya gini ! sekali-kali sama alvin kek..” gerutu rio kesal.

“Alvin kan udah punya cewe-cewenya yang banyak itu, buat ngurusin dia, beda sama lo..”

“Apa...”

“Eits, apa tuh tadi nama gue disebut-sebut ?” alvin memotong kata-kata rio, menyelinap di antara dua orang itu, menghentikan perdebatan mereka.

“Tau ah, gue mau balik ke kelas aja..”

“Ya elah fy, udah tinggal 20menit lagi bel, nanggung. Enggak ikut pelajaran sekali, enggak akan bikin ranking satu lo yang abadi itu lepas kok..” tahan alvin.

“Sekali apanya ? setiap kalian masuk BP, gue pasti cabut !”

“Emang kita yang nyuruh..” cibir rio, cari perkara. Untung alvin buru-buru, merangkul ify, dan memberi jarak yang cukup diantara ify dan rio.

“Udah-udah, temenin kita aja ke uks ya ? kalau bukan lo, siapa dong yang bakal ngobatin kita..” bujuk alvin, setengah memaksa, karena ia langsung saja menyeret ify agar berjalan bersamanya, dan memberi kode ke arah rio agar mengikuti mereka.

Panas. Itulah yang rio rasakan, ketika dengan matanya sendiri, ia melihat ify mengoleskan betadine di pelipis alvin yang terluka. Tapi gengsinya yang besar, dan mengingat baru beberapa menit yang lalu mereka adu mulut, rio pun hanya bisa menelan kekesalan itu mentah-mentah, menendang-nendangi tempat sampah, yang sesungguhnya tidak mempunyai salah apapun terhadapnya.

“Buset dah yo, itu tempat sampah abis ngelakuin apa sih sama lo ?” goda alvin, yang dengan tampang inoccentnya, membuat ia tampak sangat menikmati perhatian ify.

“Itu tadi ada kecoa disitu, jadi mau gue bunuh aja rasanya” jawab rio asal. Alvin terkekeh. Dua sahabatnya ini, memang sama saja.

Pintu uks terbuka, seorang siswi yang berparas cantik, muncul di baliknya. “Kak alvin, enggak apa-apa kan ?”

“Nah fy, berhubung cewek gue udah dateng, jadi sekarang lo mending urusin aja tuh sih rio, thanks ya..”

Ify menoleh ke arah rio, dalam hatinya ia tidak tega melihat rio seperti itu, tapi egonya yang keras, seolah menghalangi ia untuk menghampiri rio dengan segera. Ia kembali menatap alvin, dan menggeleng.

“Udah sana ah, jangan ganggu gue sama shilla..” ujar alvin santai, dan tanpa aba-aba langsung mendorong ify mendekat ke arah rio. “ Yo, si ify mau ngobatin lo tuh..” teriaknya asal.

“Kalau enggak mau, enggak usah aja” celetuk rio, tetap berlindung dibalik kegengsiannya. Ify tidak menggubris itu, ia mulai mengobati rio, tanpa suara.

“Awww..pelan bisa kali fy..” erang rio, ketika ify entah sengaja atau tidak, menekan titik yang mengeluarkan darah.

“Berani tawuran masa takut sama betadine” ejek ify. Rio mendengus pelan. Gadis di depannya ini, terlalu tangguh untuk di luluhkan begitu saja. Meski setiap kali bertemu mereka jarang akur, tapi tidak sedetikpun rio bisa berhenti untuk mengagumi ify.

“Jangan berantem lagi, lo udah kelas tiga yo, jangan sampai prestasi basket lo ketutup sama prestasi tawuran dan kenakalan lo ini, sama sekali enggak bisa dibanggain..” ify memulai lagi ceramahnya. Tapi kali ini rio memilih diam. Karena saat seperti inilah, ify terlihat berbeda dimatanya. Tampak bercahaya dan memancarkan sinar-sinar yang tidak kuasa ia tolak.

“Kasian juga sama nyokap lo, masa sampai famous gitu disekolahan gara-gara udah keseringan di panggil..”

“Fy..”

“Apa ?” ify menatap rio, yang ternyata sedang menatapnya. Untuk sesaat, mereka berhenti di tempat masing-masing, memandang ke satu titik, dimana pantulan bola mata mereka saling berbaur, dan seolah menjadi satu. Membiaskan roman-roman merah jambu yang merekah ruah, berbuncah di dalam hati mereka.

Sorot mata yang tegas dan cerdas, yang selalu menampilkan sosok ify yang nyata dan apa adanya. Yang cerewet namun berbobot. Dan sorot mata yang teduh dan menentramkan, yang selalu menggambarkan sosok rio yang bisa di andalkan. Yang bandel namun berprestasi.

“Thanks ya..” bisik rio lembut.

“Sama-sama..” balas ify manis. Untuk beberapa detik, keadaan jadi sedikit kikuk. Tanpa saling mengetahui, dua-duanya sama-sama terbayang, pancaran mata masing-masing tadi. Agar tidak terlihat gugup, ify membereskan alat-alat yang tadi ia gunakan dan memasukkannya kembali ke dalam kotak obat.

Rio memperhatikan punggung ify, rambutnya yang bergerak pelan, tertiup angin. Hal kecil yang entah kenapa terlihat begitu indah. “Ify..”

“Iya, kenapa yo ?”

“Eh..itu..” rio menggaruk tengkuknya, bibirnya tadi bergerak sendiri memanggil nama ify, dan sekarang ia tidak mengerti harus apa.

“Apa yo ? masih ada yang belum gue obatin ?”

“Enggak..enggak..itu..ehm..alvin..” sahut rio reflek, saat melihat ke arah alvin.

“Alvin kenapa ?”

“Kita gangguin alvin yuk, biar si playboy glodok itu kena batunya..” usul rio sambil tersenyum jahil, ify mengangguk setuju.

“Ohh, jadi ini vin ? terus yang kemarin anak basket itu, si agni lo kemanain ?” tanya rio setengah berteriak ke arah alvin.

“Lha, bukannya zeva ya vin ? kayanya pas di toko buku, lo perginya sama dia deh” timpal ify masang wajah tanpa dosa.

“Ya udahlah, kita berdua balik deh ya, enggak mau ganggu. Tapi nanti di kelas, kalau ditanyain angel gimana ? bilang aja lo disini sama anak kelas dua ?” sambung rio lagi. Alvin menatap mereka berdua geram, seolah siap menerkam tanpa ampun. Rio dan ify langsung saja menghambur keluar uks.

“Satu..” hitung rio sepelan mungkin. Mereka berdua masih duduk di depan uks.

“..dua..” lanjut ify.

“...tiga..” ujar keduanya kompak.

“PLAK ! KITA PUTUS KAK !”

Dan tawa rio serta ifypun, membahana, memenuhi lorong-lorong di sekitar uks.

-----

Alvin menatap rio tidak mengerti, tidak mengerti apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. Rio sendiri memberikan tatapan yang tidak kalah tajamnya untuk alvin. Rahang-rahangnya mengeras, tangan kanannya mengepal, menyimpan sejuta emosinya.

“Apa ?! lo mau pukul gue ? pukul !” tantang alvin, sambil mendorong rio ke dinding.

“Jangan samain ify sama cewek-cewek lain yang bersedia jadi cewek lo !!” hardik rio kencang.

“Ify sahabat gue juga yo !! gue enggak sejahat itu !”

“Gue lihat sendiri vin ! gue lihat ify nangis di pelukan lo ! apa maksudnya ?!!”

“Bug !” sebuah hantaman kencang mendarat mulus di pipi rio. “Dengerin gue, ify mau ke jepang, beasiswa, dan dia nangis karena dia enggak ngerti gimana cara nyampaiinya ke elo, dia enggak mau pisah sama lo”

Rio mencoba mencerna kata-kata alvin, perlahan semakin ia mencoba mengendurkan emosinya, ia mulai bisa berpikir dingin. Tubuhnya merosot di dinding. “Je..jepang ?”

“Gue rasa dia belum jauh, kejar dia, jangan jadi pengecut, bilang kalau lo sayang sama dia” sahut alvin tegas, menyandang tasnya yang tadi ia jatuhkan di lantai, dan membiarkan rio seorang diri.

Butuh beberapa detik bagi rio untuk berpikir. Dan di detik yang ke sepuluh, tanpa pikir panjang lagi, dengan kecepatan ekstra ia langsung berlari, ia harus mengejar ify, harus.

“Doain gue ya vin..” ujar rio saat mendahului alvin di gerbang sekolah, alvin hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ia telah mengetahui itu sejak lama, terlalu mudah melihat cinta yang sama di mata rio ataupun ify, hanya mereka berdua yang terlalu bodoh saja hingga tidak menyadari itu.

Berlari dan terus berlari, itu yang rio bisa lakukan saat ini. Ia tidak bisa menemukan ify di halte depan sekolah tempat ify biasa menunggu metromini, jadi rio memutuskan untuk terus saja berlari, sepanjang jalur yang ia tahu, ify lalui.

Tidak peduli akan tatapan orang-orang di jalan, dan peluh yang mulai membasahi seragamnya. Rio harus meminta maaf pada ify saat ini juga. Harus saat ini, tidak bisa ditawar lagi. Di tikungan setelah lampu merah, rio melihat ify yang turun dari metromini dan berganti ke metromini yang lain, tanpa rasa lelah sedikitpun, rio terus berlari, bahkan mencoba menambah kecepatannya.

“IFY !!” panggilnya kencang, berharap ify akan mendengar, dan berhenti untuknya.

“Fy..Ify !!”

Metromini yang rio yakini, ify naiki tetap saja melaju. Namun rio tidak menyerah. Awan mendung mulai nampak, rintik-rintik air mulai menyapa bumi. Dan kaki rio tetap saja terus bergerak, meski entah telah berapa kilometer ia lalui tanpa beristirahat sedetikpun.

“IFY !!”

Dan akhirnya di depan komplek rumah ify, metromini itu berhenti, menurunkan ify, yang tidak sama sekali memandang ke arah rio. Padahal rio yakin dengan sangat, ify mengetahui keberadaannya. Gadis itu memang benar-benar berbeda, atau terlalu berego tinggi ?

“Tunggu fy..hosh..hosh..” tangan rio berhasil mencekal pergelangan tangan ify. Dan ify tetap saja, tidak mau memandang rio sedikitpun.

“Hufttt..” rio menstabilkan nafasnya dulu, merilekskan organ-organ tubuhnya yang baru saja ia ajak bergulat dengan waktu. “Gue..hhh..minta maaf..”

“Ohh, ya udah, lepasin tangan gue” sahut ify datar. Membiarkan rio terpaku shock dengan reaksi yang ia dapat. Ify berjalan menjauh dari rio, berlari-lari kecil sambil menutupi kepalanya agar tidak terkena hujan.

Tidak mau kehilangan dan dipaksa berlari lagi, rio langsung menyongsong ify, memeluknya dari belakang. “Gue enggak mau lo ke jepang..” bisiknya, lirih, dan membuat ify terdiam.

“Gue enggak bisa..gue..enggak mau jauh dari lo..” sambung rio lagi.

Ify tidak merespon apapun, ia masih saja diam. Kata-kata rio itu, serasa beban yang memaksanya untuk tetap tinggal.

“I..love..you..”

Tiga kata keramat penuh makna itu terlontar juga dari bibir rio. Di ucapkan dalam hujan yang mulai menderas. Dengan sedikit terbata, namun dalam satu tarikan nafas yang mantap dan tidak main-main. Delapan huruf yang mewakilkan lebih dari sejuta perasaan yang ada di dalam hati.

“Love you too..” balas ify, pelan, hanya bisa di dengar oleh rio dan hujan. Rio tersenyum sumringah, ia langsung saja menggendong ify dengan kedua tangannya. Berputar bersama, tertawa, seolah sedang menunjukkan pada dunia, gadis itu miliknya sekarang, saat ini, dan semoga seterusnya.

Setelah puas bermain hujan berdua, ify dan rio akhirnya memilih untuk berteduh. Rio meremas kedua tangan ify yang terasa dingin, mencoba menghangatkannya. “Mau pulang sekarang ? kayanya udah reda tuh, lagian bibir kamu juga udah putih gitu ?”

“Boleh..”

“Ya udah yo, eh tunggu..” rio berjongkok memunggungi ify.

“Mau ngapain yo ?”

“Gendong kamu sampai ke rumah..”

“Serius ?”

“Iya, cepetan naik makanya” ify menganggukan kepalanya, dan langsung naik ke punggung rio. Dan dua sejoli itu, berjalan berdua, menyusuri jalanan komplek yang basah, membiarkan udara menyelinap di antara mereka, menunjukkan pada semua bahwa mereka bisa bersatu.

“Kamu enggak capai apa, tadi udah lari dari sekolah sampai sini buat aku ?”

“Kan buat kamu, masa capai sih..”

“Huu..belum apa-apa aja udah gombal”

“Kan aku temennya alvin, sedikit banyak ketularanlah”

“Ihh, aku enggak mau ya, punya pacar playboy gitu”

“Haha, aku sih cuma buat kamu doanglah”

“Yakin ?”

“Banget”

“Sampai kapan ?”

“Sampai kapanpun. Sampai kita nikah, dan punya anak, sampai kita nikahin anak-anak kita, sampai kita jadi tua, selama itu..”

“Jauh amat kamu ngebayanginnya yo”

“Biarin. Aku janji sama kamu, aku bakal belajar yang benar, jadi orang sukses dan bahagiaan kamu selamanya”

“Amin..”

-----

Hari yang dibenci rio itu tiba, keberangkatan ify ke jepang. Kalau tidak ingat ini beasiswa dan kesempatan sekali seumur hidup, rasanya rio ingin membawa ify kabur ke suatu tempat, dan membiarkan pesawat itu terbang tanpa kekasihnya.

“Kamu beneran harus berangkat ?”

“Yo, tolong deh ya, gue aja udah muak denger pertanyaan itu, gimana ify” oceh alvin, yang bertindak sebagai supir mereka kali ini.

“Enggak usah nyamber deh vin” sahut rio kesal.

“Abisan elo yo, enggak bosen-bosen pertanyaannya itu terus”

“Coba aja kalau cewek lo mau pergi ke luar negeri, baru balik empat tahun kemudian, pasti lo bawel juga kaya gue”

“Enggak ah, motto gue kan, hilang satu dateng yang lain” jawab alvin enteng.

“Udah ah lo berdua..empat tahun lagi lo berubah dong vin, kalau gue balik kesini, udah ada satu yang lo kenalin ke gue, dan emang satu-satunya” ujar ify, membuat alvin terkekeh.

“Enggak janji ya fy..”

“Dasar ah lo..”

“Haha..udah gih, lo berdua turun disini, gue cari parkiran” perintah alvin, memposisikan mobilnya di pinggir selasar bandara. Rio langsung bergegas menurunkan koper-koper yang ify bawa dan meletakkannya di trolley. Lalu mendorongnya untuk ify.

Ify menghampiri agen beasiswa yang telah menunggunya, rio hanya memperhatikan itu, tidak lama lagi, mereka akan berpisah, dan baru bisa bertemu bertahun-tahun kemudian. Sesuatu yang baru rio bayangkan saja, sudah membuatnya merasa ingin menyerah.

“Aku kayanya harus masuk sekarang deh, ada yang masih harus diurus lagi di dalam”

“Enggak bisa nanti ? nunggu alvin gitu dulu kek..” sahut rio mencari alasan untuk terus bisa menahan ify.

“Aku harus masuk yo..”

“Please, sebentar lagi..” pinta rio sedikit memelas.

“Kita kan udah obrolin ini sebelumnya, jangan bikin aku berat kaya gini dong, aku kan juga belajar disana”

Rio menyerah, ify tetaplah ify. Ia memegang kedua pipi ify, lalu mengecup kening ify lembut, cukup lama, cukup membuat orang-orang yang ada disekitar mereka berhenti sejenak untuk mengamati itu.

“Aku sayang sama kamu, sayang banget, aku berangkat ya..” tidak ingin air matanya menetes dan membuat suasana ini menjadi mengharu biru, ify segera beranjak untuk menjemput mimpinya.

“Aku bakal jemput kamu disini fy, empat tahun lagi, aku bakal menunggu kamu fy, menunggu kamu..” ujar rio lantang, mengiringi langkah kaki ify yang menjauh.

Sepeninggal ify, rio duduk di bangku panjang, tangannya merogoh sebuah kotak berwarna biru yang baru saja ia keluarkan dari kantong celananya.

“Lho, ify mana yo ?” tanya alvin yang baru muncul.

“Udah berangkat..”

“Kok enggak nungguin gue..” gerutu alvin, ikut duduk disampinng rio. “Lho, itu, enggak jadi lo kasih ?”

“Enggak..” rio menggeleng. “Gue rasa sekarang bukan waktu yang tepat, empat tahun lagi, gue akan menanti empat tahun lagi vin”

“Sip bro, apapun, gue dukung elo” sahut alvin sambil menepuk-nepuk pundak rio.

-----

Tidak ada yang berubah, itulah yang ify lihat. Semua tetap sama, malah bertambah tidak karuan. Empat tahun menetap di negeri modern penuh teknologi, membuat ify jadi agak lebih kritis melihat pembangunan negaranya sendiri.

Ia menoleh kesana-kemari, mencoba melihat, kali-kali saja menemukan sosok rio yang empat tahun ini membuatnya rindu hampir setiap saat. Tapi diantara puluhan orang yang berdiri, tidak satupun yang terasa familiar dimatanya.

“Fy..” ify memutar badannya. Senyumnya melebar, dan dengan segera ia langsung memeluk orang yang menyapanya itu, tidak banyak berubah, apalagi mata sipitnya.

“ALVIN ! aaaa..gue kangen banget sama lo..”

“Gue juga..”

“Rio mana ?”

“Ayo ikut gue..” ajak alvin, sambil mengambil alih trolley ify.

“Kemana ? rio janji nunggu gue disini, jemput gue disini”

“Udah ayo ikut aja”

“Huu..dasar tuh orang, ingkar janji..” celetuk ify kesal. Alvin hanya tersenyum kecil, atau tersenyum hampa ?

Mobil alvin melaju menembus jalanan yang sudah lama tidak ify lewati. Tidak bosan-bosannya ify bertanya ke alvin, tentang hampir semua gedung baru yang bermunculan di kota ini.

“Orang tua lo, kapan datang dari bandung fy ?”

“Harusnya sore ini mereka udah sampai sini vin”

“Ohh..” alvin yang selama ini pintar berkata-kata bila dihadapan seorang wanita, kali ini terasa mati kutu dihadapan ify, bukan karena penampilan ify, yang berubah layaknya seorang model. Namun karena ia tidak mengerti, bagaimana cara menjelaskan semuanya pada ify. Ini terlalu rumit.

“Vin, kok kita kesini ?” tanya ify bingung, alvin hanya tersenyum lirih.

“Ayo fy..” tanpa menjawab pertanyaan ify, alvin turun dari mobilnya, dan segera menggandeng ify, membimbingnya sambil berharap dalam hati, akan ada bantuan yang membimbingnya untuk menyampaikan semua ini.

“Kita ngapain vin ?” ify menghentikan langkahnya. “Ini..”

“Ssstt..” alvin meletakkan telunjuknya di bibir ify. “Sebentar lagi..”

Dan mereka berdua berhenti di satu posisi. Bayang-bayang air langsung tercipta di mata ify, ia berkali-kali memandang alvin dan sebuah nisan putih dihadapannya.

“Vin..”

“Rio udah enggak ada, sejak setahun lalu” ujar alvin pelan, dan pedih. Ify langsung jatuh, berlutut di makam rio. Dengan gemetar, tangannya berniat untuk menyentuh nisan berukirkan nama orang yang selama empat tahun ini, tidak sedetikpun absen ia nantikan kehadirannya dalam setiap mimpinya.

“Ini bercanda kan vin ? kalian pasti mau ngerjain gue ? iyakan ?”

“Fy..”

“Rio udah janji mau nungguin gue vin, rio mau jemput gue !!” ify mulai kehilangan kendalinya.

“Dia jadi aktivis kampus, dan dia tetap rio yang emosinya mudah terpancing. Kampusnya terlibat tawuran sama kampus lain, dan dia jadi salah satu korbannya..”

“Stop vin ! cukup !!” teriak ify menutup kedua telinganya.

“Kita semua sengaja enggak mau ngasih tahu lo, sengaja nunggu kepulangan lo fy, maaf..” alvin ikut berlutut di samping ify, memeluk sahabatnya itu.

“I..ini..konyol vin..dia..dia masih tetap ngirim email ke gue..dia..”

“Itu gue fy, gue..”

“Enggak ! itu rio ! rio..” alvin mengeratkan pelukannya, mencoba meredam ify yang terus meronta dan berteriak-teriak.

“Ada satu permintaannya dia, dan izinkan gue untuk memenuhi janji gue ke sahabat gue fy..” bisik alvin. Ify tidak menggubrisnya sama sekali. Matanya hanya tertuju pada segunduk tanah di hadapannya.

Petikan dawai kesedihan, menyeruak pelan, memenuhi sudut-sudut hati. Menyisakan linangan tangis air mata, serta berton-ton kesedihan yang seolah tidak akan berujung. Semua terasa begitu hambar, seakan-akan mati rasa.

***

“...dan sahabat laki-laki itu..” papanya menoleh, dan terlihat malaikat kecilnya itu telah terlelap, menuju dunia mimpinya.

“Alvin..”

“Kamu udah pulang fy ? via ketiduran disini, biar aku gendong ke kamarnya dulu”

Ify tersenyum tipis, ia mengecup pipi putih via. Lalu duduk di hadapan meja riasnya, membersihkan sisa make up yang melekat di wajahnya. Tidak sampai sepuluh menit, alvin telah kembali lagi ke kamar mereka, duduk di ranjang.

“Hebat kamu vin, bisa bikin via tidur sampai sepulas itu”

“Aku baru nyeritain dia sebuah cerita”

“Dongeng putri-putri kesukaannya ?”

“Cerita tentang putri ify dan pangeran rio” ujar alvin pelan. Namun cukup untuk membuat ify menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah alvin.

“Vin..”

“Ada saatnya, via akan tahu, kemana kamu setiap tanggal 10, dan biarkan aku menceritakan itu dari awal fy” ify menatap alvin yang tersenyum ke arahnya, tapi menimbulkan rasa bersalah di hatinya.

“Jadi gimana makam rio ? tetap bersih kan ?” tanya alvin santai.

“Maafin aku vin”

“Buat apa fy ?”

“Untuk semuanya, tujuh tahun, kamu terlalu baik”

“Aku menjalankan amanat sahabatku fy..” lagi-lagi alvin tersenyum. Ia berdiri dan mendekat ke arah ify, menumpukan kedua tangannya di bahu ify. “Mungkin ini unik, mungkin kamu akan selalu mengunjungi makam rio setiap tanggal 10 untuk memperingati hari jadian kalian, mungkin kamu akan selalu mengingat rio sebagai yang pertama, via, baru aku, mungkin kamu akan lebih mengingat makanan kesukaan rio ketimbang aku..tapi aku tidak peduli..anggap saja ini persahabatan yang abadi, dan seorang sahabat tidak akan pernah berhenti di tengah jalan untuk meninggalkan sahabatnya..”

“Kamu..”

“Aku mau bikin kopi, kamu mau ?” ify hanya bisa menggeleng. Alvin mengangguk kecil dan segera keluar dari kamar. Menuju dapur dan menyeduh kopi hitamnya, rasa pahit, tempat pelariannya.

Di halaman belakang rumah, alvin duduk sambil meniup-niup kopinya. Ia sukses sebagai seorang pengacara muda sekarang, mempunyai rumah yang besar, mobil yang bisa dibilang mewah, anak yang lucu dan pintar, dan istri yang cantik. Meski bagian terakhirnya, alvin harus rela berbagi dengan sebuah kenangan yang sampai kapanpun ia berusaha, tidak akan mati.

“Gue udah menjaga ify semampu gue yo, gue udah menyematkan cincin itu seperti yang lo minta, dan sekarang, gue harap lo bisa bahagia disana yo..”

Alvin menyesap kopinya, membiarkan rasa pahit itu memenuhi rongga-rongga mulutnya. Dalam kesendiriannya itu, ia tersenyum lirih. Ini bukan terlalu baik seperti yang ify bilang. Ini hanya sebuah janji. Dan alvin percaya, meski hingga ujung nanti, keadaan akan tetap begini. Setidaknya ia telah berusaha. Lagipula ada via, alasan paling kuat, bagi alvin untuk terus bertahan.

..bertahan, berdiri di satu titik, terus menunggu, dan kadang menyelipkan harapan di dalamnya, menempuh ribuan kilometer, menerjang batas-batas tak terjamah, menyembunyikan segala rasa sakit di dalam hati..bertahan, tidak memerlukan keahlian apapun, hanya kesetiaan, dan sedikit pengorbanan, menunggu meski mungkin yang ditunggu tak akan pernah hadir..bertahan, manusiawi, kadang terlihat bodoh, dan menggelikan..bertahan, tidak peduli seperti apa hari esok, selama kaki masih mampu berdiri tegak..bertahan, untuk yang indah pada waktunya..