Annyeong ^^
hahaha..
long time no see my lovely blogiee..maaf sudah membuat dirimu bulukkan >.<
err..
malem ini, saat ini, menit ini..gue lagi sms-an sama Dessy Ayunadhita, salah satu sahabat gue yang sedang merantau kuliah ke Bandung kekeke~
tapi sorisorisori gue nggak akan ngebahas dia haha, melainkan salah satu smsnya beberapa menit yang lalu ke gue, yaitu..
dengdeeenggg..
"....yang perlu dipikirin itu ulang tahun lo yg tinggal 3 jam 34 menit hehe"
yap, dengan berat hati gue akuin cuma dalam waktu segitu gue akan segera bertambah tua dan kehilangan satu tahun untuk menikmati jatah gue di dunia..
ulang tahun..
nggak tahu gue-nya yang udah berpikiran dewasa atau cuma sok-dewasa, tapi entah kenapa gue tidak terlalu 'menunggu' hari ulang tahun gue yang kali ini. gue termasuk tipe orang yang mengingat hal-hal kecil dan senang merayakannya termasuk ulang tahun gue, buat gue hal kecil itu akan lebih bermakna ketika kita mengingatnya dan mengamininya..
bukannya tahun ini gue mau sok lupa ingatan tentang ulang tahun gue dan enggak bersyukur karenanya. gimanapun umur tujuh belas tahun gue lalui dengan berbagai hal, mulai dari kebahagiaan yang penuh tawa dan senyuman sampai kesedihan berurai air mata..
gue cuma ngerasa, di delapan-belas tahun ini, gue ingin lebih bahagia lagi. gue menyadari satu hal, bahwa kita bertanggung jawab untuk kebahagiaan kita, karena ketika kita berharap sama orang lain untuk membuat kita bahagia kita nggak akan dapat apa-apa kecuali kekecewaan karena harapan kita pasti nggak akan terwujud dengan sempurna. dan gue akan membahagiakan diri gue sendiri dengan segala waktu yang gue punya..
bahagia buat gue mengandung banyak hal. keluarga, sahabat, kuliah, hidup, semua masuk dalam kebahagiaan yang ingin gue ciptakan.
gue tahu, hal paling nggak mungkin di dunia ini adalah membuat semua orang di sekitar kita bahagia, tapi berusaha untuk seenggaknya memberi arti di setiap hidup orang yang udah bersedia untuk masuk dalam hidup gue, bukanlah hal mustahil..
ini bukan, gue bahagia karena orang lain bahagia, tapi gue bahagia karena gue membuat orang lain bahagia dengan hadirnya gue, dan semoga harapan sederhana ini dapat gue capai di umur gue yang sekarang..
terimakasih untuk semua orang dan apapun itu yang udah menemani gue hingga hari ini, bersedia berjalan bersama gue, menerima kekurangan gue, menjadi sandaran bahkan ada saat gue terjatuh..terimakasih untuk setiap warna pelangi yang di biaskan oleh kalian untuk gue setelah setiap titik hujan yang jatuh dan membasahi hidup gue..
love you..
-cheers-
Minggu, 16 Oktober 2011
Rabu, 29 Juni 2011
semangaaaaaat !!!!
satu jam yang lalu, hasil snmptn baru aja diumumin, dan gue enggak lolos lagi.
walaupun kecewa tapi bisa gue bilang gue enggak selabil saat gagal undangan kemarin. yang sempet mampir ke blog gue sebelumnya, pasti baca postingan di bawah ini, dimana gue nulis penuh emosi karena gagal di snmptn undangan..
dan ternyata gagal disana ngasih gue pelajaran berharga, karena hari ini ketika gue harus gagal lagi, gue bisa nerima dengan lapang dada, mental gue jauh lebih siap, dan gue nggak nangis haha
gue pingin berbagi sedikit, apa yang mau gue tulis ini, bukan sesuatu yang bersifat menggurui atau apapun, gue cuma mau bilang, gue tahu rasanya gagal saat gue ada di puncak, dan gue cuma pingin berbagi sedikit gimana gue bisa menghadapi ini..
terimakasih super besar, untuk sebuah drama korea berjudul "DREAM HIGH" mungkin sebagian orang udah pernah nonton, dan yang buat belum nonton mau gue bahas dikit ya..karena drama ini ngasih banyak hal buat gue, pelajaran berharga yang bikin gue tetap bisa berdiri tegak ketika kata gagal mampir lagi dalam hidup gue
cerita ini tentang seorang siswi perempuan bernama Hye mi, dia cantik, kaya, suaranya bagus, hidupnya sempurna, tapi karena kesempurnaan itu, dia jadi orang yang tinggi hati dan terlalu percaya diri sama apa yang dia punya. sampai pada suatu hari dia ikut tes untuk masuk sekolah seni bareng sama sahabatnya, yang dia nilai kualitasnya jauh di bawah dia. ketika audisi, suara dan penampilannya memang jauh lebih bagus dari sahabatnya yang selalu dia sebut 'si ranking 3' tapi apa yang terjadi selanjutnya ? dialah yang gagal, sementara sahabatnya, bisa ngalahin dia untuk pertama kalinya. dengan penuh emosi dia mati-matian berusaha menggugat keputusan juri, karena dia merasa dia lebih berhak dari sahabatnya..
singkat cerita, ternyata diam-diam, pemilik sekolahnya ngasih dia semacem kesempatan untuk bisa masuk ke sekolah itu, tapi dia yang hebat harus masuk ke kelas rendah yang dianggap enggak punya kemampuan dan enggak punya kesempatan untuk melakukan debut. tapi pada saat itulah, dia belajar, belajar untuk menerima keadaannya, belajar untuk mengerti, belajar untuk berjuang, dan belajar kalau kita harus menemukan kata kegagalan terlebih dahulu sebelum kata kesuksesan..
gue suka banget sama soundtrack-nya, apalagi setelah gue ngerti artinya dalam bahasa inggris, dan ini ost-dream high translate inggrisnya :
When it gets hard I close my eyes
I dream High I have a Dream
When it gets hard I close my eyes
Dream high a chance to fly highfrom now to all the pain bye byetry and fly as high
as those stars in the sky
watch your dreams to unfold for you to shineit’s the start gotta make them mine
don’t be afraid of building your own future
walk on confidently with all your might
destiny is your fate unstoppable destiny
now it’s spreading in front of us
this is a whole new fantasy for you
so just take my hand
our goal now is the same
don’t give up on your dreams and future
everyone with a youthful passion dream high
I dream High I have a Dream
When it gets hard I close my eyes
while replaying the moment
my dream come true I get up
dan, walaupun beda, tapi gue bisa menemukan sosok Hye mi dalam diri gue. mungkin setelah baca tulisan yang mau gue tulis ini, kalian akan merasa gue sombong, tapi ada maksud lain yang benar-benar ingin gue curahin dari ini semua..
bisa dibilang gue termasuk anak berprestasi, gue memang seorang siswi di jurusan IPS yang menurut kebanyakan orang enggak sekeren IPA. tapi gue mencintai pelajaran IPS lebih dari apapun, hapalan buat gue kaya hitungan buat anak IPA, surga. di kelas sebelas, gue berhasil meraih peringkat satu baik itu di semester ganjil ataupun genap, malah ketika ulangan semesteran gue pernah sapu bersih alias nggak remidial sama sekali. nilai-nilai gue enggak pernah mengecewakan, dan gue enggak pernah bikin masalah sama guru satupun. bisa di bilang gue termasuk jajaran anak cupu di sekolah, dan dari nilai-nilai itulah gue merasa 'ada' . naik kelas tiga, semangat gue agak kendur sedikit, di semester ganjil gue cuma bisa dapet ranking 2, tapi ketika lulus kemarin gue balik jadi juara satu di kelas.
dan itu bikin semua orang yakin kalau gue bisa sukses juga di perguruan tinggi. gue masih ingat dengan jelas, kalau diam-diam gue yakin gue bisa nembus undangan dengan nilai yang gue punya, tapi kenyataannya ? gue GAGAL. dan disaat itulah gue jatuh. rasa percaya diri gue lenyap, gue enggak terima sama keadaan. gue cukup pintar tapi kenapa gue enggak bisa ?!! rasanya sakit bukan main, ketika gue terhempas dikenyataan bahwa gue enggak sepintar apa yang orang yakini, apa yang gue yakini.
dan hari ini, gue ternyata gagal lagi di tertulis. tapi rasanya beda, kegagalan yang kedua, gue merasa lebih bijak untuk menghadapinya. dan pada akhirnya, gue sampai di satu keputusan, kalau gue melepas cita-cita gue untuk jadi seorang mahasiswi di PTN, gue enggak ikut satu ujian mandiri pun, dan gue lebih milih untuk daftar PTS.
bukan karena gue menyerah, justru karena gue punya cita-cita. kaya Hye mi, dari peringkat satu yang serba bisa dia harus kalah dan dianggap tidak mampu, tapi dia terus berjuang walaupun bukan dari kelas unggulan, dan akhirnya dia sukses.
gue mau jadi PSIKOLOG dan gue harus jadi PSIKOLOG ! jadi enggak peduli jalan gue kesana itu dari tempat yang unggulan atau enggak, semua akan balik lagi ke gue. gue akan buktiin, walaupun gue bukan mahasiswi dari PTN gue enggak kalah sukses dari mereka yang dari PTN. ketimbang pingin jadi bagian dari sebuah PTN gue lebih pingin menyandang gelar PSIKOLOG di nama gue nantinya.
seenggaknya, gue pernah ngebuktiin satu hal, kalau gue enggak bego. mungkin gue cuma kurang beruntung, mungkin juga banyak yang lebih pinter dari gue. tapi gue pernah ada di satu titik dimana gue jadi si pintar, dan kalaupun sekarang itu bukan bagian dari diri gue lagi, ya udah, hidup berjalan, dan ini saatnya gue berjuang, cerita baru dimulai, dan gue akan berusaha untuk ngebuktiin itu suatu hari nanti, kalau apa yang gue pilih bukan sebuah kesalahan..
gue cuma mau minta maaf. untuk Bu Sugi wali kelas gue dan Putri Marliana teman sebangku gue. sama dua orang ini gue enggak berani ngaku kalau gue nggak ikut mandiri karena sama dua orang ini gue begitu takut ngecewain mereka.
"maaf ya bu, saya gagal di negeri, terimakasih untuk semua kepercayaan yang ibu kasih buat saya, untuk segala dukungan, saya akan buktiin meski bukan di negeri saya tetap akan sukses bu, saya janji.."
"put, maafin gue ya, gue enggak nyerah. gue tetep semangat, gue enggak berubah, gue minta maaf karena gue terkesan munafik, gue masih inget dimana dulu gue selalu menggebu-gebu saat kita ngomongin tentang masa depan, jaket kuning, psikologi, mahasiswi, gue beneran minta maaf, lo hebat bisa wujudin harapan lo, gue emang gagal hari ini, tapi gue tetep akan sukses suatu hari nanti..tetep percaya sama mimpi-mimpi kita ya, gue cuma merubah dikit kok, PTN jadi PTS, nggak banyak kan ? haha..semangat ya put, kita tetap bakalan sama-sama sukses nantinya"
dan untuk semua yang hari ini juga gagal, rasanya memang sakit. gue tahu banget. tapi kaya yang lirik lagu diatas bilang, kita bermimpi, dan apapun yang terjadi kita harus tetap bisa meraih mimpi itu, bagaimanapun caranya, selalu ada jalan untuk yang bermimpi dan ingin mewujudkannya..
ps : Thomas Alfa Edison gagal beribu-ribu kali ketika ingin menciptakan lampu, jadi jatuh dua kali bukan alasan untuk terus larut dalam rasa sedih.
TETAP SEMANGAAAAAAT !!!!
ahyaa..dan selamat buat yang lolos, kalian hebat !
-anin-
walaupun kecewa tapi bisa gue bilang gue enggak selabil saat gagal undangan kemarin. yang sempet mampir ke blog gue sebelumnya, pasti baca postingan di bawah ini, dimana gue nulis penuh emosi karena gagal di snmptn undangan..
dan ternyata gagal disana ngasih gue pelajaran berharga, karena hari ini ketika gue harus gagal lagi, gue bisa nerima dengan lapang dada, mental gue jauh lebih siap, dan gue nggak nangis haha
gue pingin berbagi sedikit, apa yang mau gue tulis ini, bukan sesuatu yang bersifat menggurui atau apapun, gue cuma mau bilang, gue tahu rasanya gagal saat gue ada di puncak, dan gue cuma pingin berbagi sedikit gimana gue bisa menghadapi ini..
terimakasih super besar, untuk sebuah drama korea berjudul "DREAM HIGH" mungkin sebagian orang udah pernah nonton, dan yang buat belum nonton mau gue bahas dikit ya..karena drama ini ngasih banyak hal buat gue, pelajaran berharga yang bikin gue tetap bisa berdiri tegak ketika kata gagal mampir lagi dalam hidup gue
cerita ini tentang seorang siswi perempuan bernama Hye mi, dia cantik, kaya, suaranya bagus, hidupnya sempurna, tapi karena kesempurnaan itu, dia jadi orang yang tinggi hati dan terlalu percaya diri sama apa yang dia punya. sampai pada suatu hari dia ikut tes untuk masuk sekolah seni bareng sama sahabatnya, yang dia nilai kualitasnya jauh di bawah dia. ketika audisi, suara dan penampilannya memang jauh lebih bagus dari sahabatnya yang selalu dia sebut 'si ranking 3' tapi apa yang terjadi selanjutnya ? dialah yang gagal, sementara sahabatnya, bisa ngalahin dia untuk pertama kalinya. dengan penuh emosi dia mati-matian berusaha menggugat keputusan juri, karena dia merasa dia lebih berhak dari sahabatnya..
singkat cerita, ternyata diam-diam, pemilik sekolahnya ngasih dia semacem kesempatan untuk bisa masuk ke sekolah itu, tapi dia yang hebat harus masuk ke kelas rendah yang dianggap enggak punya kemampuan dan enggak punya kesempatan untuk melakukan debut. tapi pada saat itulah, dia belajar, belajar untuk menerima keadaannya, belajar untuk mengerti, belajar untuk berjuang, dan belajar kalau kita harus menemukan kata kegagalan terlebih dahulu sebelum kata kesuksesan..
gue suka banget sama soundtrack-nya, apalagi setelah gue ngerti artinya dalam bahasa inggris, dan ini ost-dream high translate inggrisnya :
I dream High I have a Dream
When it gets hard I close my eyes
while replaying the moment
my dream come true I get up
When it gets hard I close my eyes
while replaying the moment
my dream come true I get up
I shake in the face of fear today as well
Like a young bird who’s afraid to fly in fear of falling down
I keep asking whether I can do this
whether my dreams can come true
Whenever I make a step by step
the fear comes back
Like a young bird who’s afraid to fly in fear of falling down
I keep asking whether I can do this
whether my dreams can come true
Whenever I make a step by step
the fear comes back
I dream High I have a Dream
When it gets hard I close my eyes
while replaying the moment
my dream come true I get up
my dream come true I get up
I can fly high I believe
That one day into that sky
that I will spread my wings
and fly up higher than anyone before
That one day into that sky
that I will spread my wings
and fly up higher than anyone before
I need courage
to help me get up
the courage which would make me jump again
after brushing the dust off
Believing in myself and
in my destiny once again
Risking everything I will jump over the wall
higher than myself
to help me get up
the courage which would make me jump again
after brushing the dust off
Believing in myself and
in my destiny once again
Risking everything I will jump over the wall
higher than myself
I dream High I have a Dream
When it gets hard I close my eyes
while replaying the moment
my dream come true I get up
my dream come true I get up
I can fly high I believe
That one day into that sky
that I will spread my wings
and fly up higher than anyone before
That one day into that sky
that I will spread my wings
and fly up higher than anyone before
Dream high a chance to fly highfrom now to all the pain bye byetry and fly as high
as those stars in the sky
watch your dreams to unfold for you to shineit’s the start gotta make them mine
don’t be afraid of building your own future
walk on confidently with all your might
destiny is your fate unstoppable destiny
now it’s spreading in front of us
this is a whole new fantasy for you
so just take my hand
our goal now is the same
don’t give up on your dreams and future
everyone with a youthful passion dream high
I dream High I have a Dream
When it gets hard I close my eyes
while replaying the moment
my dream come true I get up
I can fly high I believe
That one day into that sky
that I will spread my wings
and fly up higher than anyone before
That one day into that sky
that I will spread my wings
and fly up higher than anyone before
dan, walaupun beda, tapi gue bisa menemukan sosok Hye mi dalam diri gue. mungkin setelah baca tulisan yang mau gue tulis ini, kalian akan merasa gue sombong, tapi ada maksud lain yang benar-benar ingin gue curahin dari ini semua..
bisa dibilang gue termasuk anak berprestasi, gue memang seorang siswi di jurusan IPS yang menurut kebanyakan orang enggak sekeren IPA. tapi gue mencintai pelajaran IPS lebih dari apapun, hapalan buat gue kaya hitungan buat anak IPA, surga. di kelas sebelas, gue berhasil meraih peringkat satu baik itu di semester ganjil ataupun genap, malah ketika ulangan semesteran gue pernah sapu bersih alias nggak remidial sama sekali. nilai-nilai gue enggak pernah mengecewakan, dan gue enggak pernah bikin masalah sama guru satupun. bisa di bilang gue termasuk jajaran anak cupu di sekolah, dan dari nilai-nilai itulah gue merasa 'ada' . naik kelas tiga, semangat gue agak kendur sedikit, di semester ganjil gue cuma bisa dapet ranking 2, tapi ketika lulus kemarin gue balik jadi juara satu di kelas.
dan itu bikin semua orang yakin kalau gue bisa sukses juga di perguruan tinggi. gue masih ingat dengan jelas, kalau diam-diam gue yakin gue bisa nembus undangan dengan nilai yang gue punya, tapi kenyataannya ? gue GAGAL. dan disaat itulah gue jatuh. rasa percaya diri gue lenyap, gue enggak terima sama keadaan. gue cukup pintar tapi kenapa gue enggak bisa ?!! rasanya sakit bukan main, ketika gue terhempas dikenyataan bahwa gue enggak sepintar apa yang orang yakini, apa yang gue yakini.
dan hari ini, gue ternyata gagal lagi di tertulis. tapi rasanya beda, kegagalan yang kedua, gue merasa lebih bijak untuk menghadapinya. dan pada akhirnya, gue sampai di satu keputusan, kalau gue melepas cita-cita gue untuk jadi seorang mahasiswi di PTN, gue enggak ikut satu ujian mandiri pun, dan gue lebih milih untuk daftar PTS.
bukan karena gue menyerah, justru karena gue punya cita-cita. kaya Hye mi, dari peringkat satu yang serba bisa dia harus kalah dan dianggap tidak mampu, tapi dia terus berjuang walaupun bukan dari kelas unggulan, dan akhirnya dia sukses.
gue mau jadi PSIKOLOG dan gue harus jadi PSIKOLOG ! jadi enggak peduli jalan gue kesana itu dari tempat yang unggulan atau enggak, semua akan balik lagi ke gue. gue akan buktiin, walaupun gue bukan mahasiswi dari PTN gue enggak kalah sukses dari mereka yang dari PTN. ketimbang pingin jadi bagian dari sebuah PTN gue lebih pingin menyandang gelar PSIKOLOG di nama gue nantinya.
seenggaknya, gue pernah ngebuktiin satu hal, kalau gue enggak bego. mungkin gue cuma kurang beruntung, mungkin juga banyak yang lebih pinter dari gue. tapi gue pernah ada di satu titik dimana gue jadi si pintar, dan kalaupun sekarang itu bukan bagian dari diri gue lagi, ya udah, hidup berjalan, dan ini saatnya gue berjuang, cerita baru dimulai, dan gue akan berusaha untuk ngebuktiin itu suatu hari nanti, kalau apa yang gue pilih bukan sebuah kesalahan..
gue cuma mau minta maaf. untuk Bu Sugi wali kelas gue dan Putri Marliana teman sebangku gue. sama dua orang ini gue enggak berani ngaku kalau gue nggak ikut mandiri karena sama dua orang ini gue begitu takut ngecewain mereka.
"maaf ya bu, saya gagal di negeri, terimakasih untuk semua kepercayaan yang ibu kasih buat saya, untuk segala dukungan, saya akan buktiin meski bukan di negeri saya tetap akan sukses bu, saya janji.."
"put, maafin gue ya, gue enggak nyerah. gue tetep semangat, gue enggak berubah, gue minta maaf karena gue terkesan munafik, gue masih inget dimana dulu gue selalu menggebu-gebu saat kita ngomongin tentang masa depan, jaket kuning, psikologi, mahasiswi, gue beneran minta maaf, lo hebat bisa wujudin harapan lo, gue emang gagal hari ini, tapi gue tetep akan sukses suatu hari nanti..tetep percaya sama mimpi-mimpi kita ya, gue cuma merubah dikit kok, PTN jadi PTS, nggak banyak kan ? haha..semangat ya put, kita tetap bakalan sama-sama sukses nantinya"
dan untuk semua yang hari ini juga gagal, rasanya memang sakit. gue tahu banget. tapi kaya yang lirik lagu diatas bilang, kita bermimpi, dan apapun yang terjadi kita harus tetap bisa meraih mimpi itu, bagaimanapun caranya, selalu ada jalan untuk yang bermimpi dan ingin mewujudkannya..
ps : Thomas Alfa Edison gagal beribu-ribu kali ketika ingin menciptakan lampu, jadi jatuh dua kali bukan alasan untuk terus larut dalam rasa sedih.
TETAP SEMANGAAAAAAT !!!!
ahyaa..dan selamat buat yang lolos, kalian hebat !
-anin-
Kamis, 19 Mei 2011
Rasanya-lebih-parah-dari-patah-hati
ketika elo gagal dan terjatuh, semua orang akan bilang..
"Lo jatuh untuk bangkit lagi"
atau
"Masih ada kesempatan lain, jangan nyerah.."
ada juga yang
"Tuhan punya rencana indah di balik kegagalan lo hari ini"
itu semua bener, enggak ada satupun yang salah dan yang patut di persalahkan. tapi enggak salah juga kan, kalau sekali aja, lo ngerasa kcewa dan elo enggak ngerti gimana cara untuk ngikhlasin itu semua..
sepanjang hidup gue, gue bukanlah orang yang ambisius dan selalu ingin jadi yang terbaik. gue selalu mensyukuri semua yang gue dapetin, apapun itu sepahit-pahitnya. gue enggak pernah berharap banyak, gue ngejalanin hidup apa adanya..
dan banyak hal indah dalam hidup gue yang terjadi tanpa pernah gue harapkan dengan tinggi sebelumnya. gue enggak pernah berharap lulus dengan nilai baik dari SMA, toh gue tahu setahun gue di kelas dua belas semangat belajar gue menurun drastis, tapi nilai kelulusan gue ternyata cukup bisa dibanggakan meski enggak terlalu bagus.
waktu nyokap nyaranin gue untuk ikut pmdk sanata dharma, gue enggak berharap apa-apa, tapi nyatanya gue dapet pmdk itu di jurusan yang gue mau dari dulu, psikologi.
sama juga dengan hal-hal lainnya, gue enggak pernah ngotot untuk dapet nilai bagus di sekolah, bagi gue selama enggak perlu remidial gue udah cukup puas. gue juga enggak peduli kalau ada guru yang jadiin gue, anggeplah murid fave-nya, toh gue enggak pernah minta itu. enggak pernah ngira juga kalau ternyata gue bisa dapat rangking yang cukup membanggakan selama dua tahun berturut-turut. Tapi gue enggak pernah berharap semua hal itu..
sementara hal-hal yang selalu gue harapkan, malah enggak pernah terwujud..
waktu sd, gue pingin banget bisa masuk SMP 49, tapi kenyataannya nilai gue kurang dan gue masuk ke SMP gue dulu 128, sama-sama unggulan, dan pada akhirnya gue nemuin sahabat di sana.
berlanjut ketika gue lulus SMP dan berniat masuk SMA, nilai gue enggak terlalu tinggi waktu itu, dan SMA fave gue lewat begitu aja. tapi gue masih berusaha untuk nerima, dan ternyata semua baik-baik aja sampai akhirnya gue lulus kemarin..
tapi yang ini, mungkin ini lebai, tapi kaya yang ditulis di atas, rasanya lebih parah dari patah hati. nyeseknya, kecewanya, sakitnya, nyeselnya...gue mungkin cuma orang yang kurang bersyukur dengan apa yang udah gue dapetin sampai hari ini, tapi kegagalan gue dalam snmptn undangan itu..adalah kegagalan yang bikin gue ngerasa sakit lebih dari apapun.
gue masih selalu nangis sampai hari ini, padahal saat gue nulis ini udah berselang dua hari dari pengumuman itu, gue yang selama ini selalu berhasil untuk ngontrol emosi gue, jebol gitu aja semuanya. gue nangis berkali-kali, saat sendirian ataupun di depan sahabat gue. bahkan saat gue ngetik inipun mata gue masih berkaca-kaca. haha, menyedihkan ya gue ?
jujurnya gue sendiri enggak suka lihat gue kaya gini. kaya yang tadi pagi putri -temen-sebangku-gue- bilang, "semangat dong nin, biasanya kan elo yang paling semangat, biasanya elo yang ngasih semangat ke gue"
dan mata gue malah berkaca-kaca, gue tahu, ada seratus lima puluh ribu lebih siswa/i lain di luar sana yang sama kecewanya kaya gue, dan gue sendiri enggak tahu gimana cara nyembuhin perasaan ini. gue enggak mau ngedown, tapi memang gue udah down.
semua orang bener, banyak jalan lain menuju roma. snmptn undangan bukan satu-satunya pintu untuk gue bisa masuk ke PTN. tapi enggak pernah ada yang semudah kata-kata kan.
gue berusaha untuk enggak nulis pake emosi, karena suatu hari nanti gue pasti akan malu banget liat postingan ini dan menyadari betapa labil-nya gue.
beberapa jam yang lalu gue mutusin untuk mulai buka-buka soal, seenggaknya gue berusaha berdamai sama keadaan gue, berusaha ikhlas walaupun belum bisa. gue sadar, gue enggak sepintar itu untuk mengharapkan undangan itu jatuh ke gue dengan cuma-cuma. gue tahu mental gue yang lemah untuk nerima semua ini..
ini blog gue, gue cuma cerita apa yang gue rasain hari ini..
-cheers-
"Lo jatuh untuk bangkit lagi"
atau
"Masih ada kesempatan lain, jangan nyerah.."
ada juga yang
"Tuhan punya rencana indah di balik kegagalan lo hari ini"
itu semua bener, enggak ada satupun yang salah dan yang patut di persalahkan. tapi enggak salah juga kan, kalau sekali aja, lo ngerasa kcewa dan elo enggak ngerti gimana cara untuk ngikhlasin itu semua..
sepanjang hidup gue, gue bukanlah orang yang ambisius dan selalu ingin jadi yang terbaik. gue selalu mensyukuri semua yang gue dapetin, apapun itu sepahit-pahitnya. gue enggak pernah berharap banyak, gue ngejalanin hidup apa adanya..
dan banyak hal indah dalam hidup gue yang terjadi tanpa pernah gue harapkan dengan tinggi sebelumnya. gue enggak pernah berharap lulus dengan nilai baik dari SMA, toh gue tahu setahun gue di kelas dua belas semangat belajar gue menurun drastis, tapi nilai kelulusan gue ternyata cukup bisa dibanggakan meski enggak terlalu bagus.
waktu nyokap nyaranin gue untuk ikut pmdk sanata dharma, gue enggak berharap apa-apa, tapi nyatanya gue dapet pmdk itu di jurusan yang gue mau dari dulu, psikologi.
sama juga dengan hal-hal lainnya, gue enggak pernah ngotot untuk dapet nilai bagus di sekolah, bagi gue selama enggak perlu remidial gue udah cukup puas. gue juga enggak peduli kalau ada guru yang jadiin gue, anggeplah murid fave-nya, toh gue enggak pernah minta itu. enggak pernah ngira juga kalau ternyata gue bisa dapat rangking yang cukup membanggakan selama dua tahun berturut-turut. Tapi gue enggak pernah berharap semua hal itu..
sementara hal-hal yang selalu gue harapkan, malah enggak pernah terwujud..
waktu sd, gue pingin banget bisa masuk SMP 49, tapi kenyataannya nilai gue kurang dan gue masuk ke SMP gue dulu 128, sama-sama unggulan, dan pada akhirnya gue nemuin sahabat di sana.
berlanjut ketika gue lulus SMP dan berniat masuk SMA, nilai gue enggak terlalu tinggi waktu itu, dan SMA fave gue lewat begitu aja. tapi gue masih berusaha untuk nerima, dan ternyata semua baik-baik aja sampai akhirnya gue lulus kemarin..
tapi yang ini, mungkin ini lebai, tapi kaya yang ditulis di atas, rasanya lebih parah dari patah hati. nyeseknya, kecewanya, sakitnya, nyeselnya...gue mungkin cuma orang yang kurang bersyukur dengan apa yang udah gue dapetin sampai hari ini, tapi kegagalan gue dalam snmptn undangan itu..adalah kegagalan yang bikin gue ngerasa sakit lebih dari apapun.
gue masih selalu nangis sampai hari ini, padahal saat gue nulis ini udah berselang dua hari dari pengumuman itu, gue yang selama ini selalu berhasil untuk ngontrol emosi gue, jebol gitu aja semuanya. gue nangis berkali-kali, saat sendirian ataupun di depan sahabat gue. bahkan saat gue ngetik inipun mata gue masih berkaca-kaca. haha, menyedihkan ya gue ?
jujurnya gue sendiri enggak suka lihat gue kaya gini. kaya yang tadi pagi putri -temen-sebangku-gue- bilang, "semangat dong nin, biasanya kan elo yang paling semangat, biasanya elo yang ngasih semangat ke gue"
dan mata gue malah berkaca-kaca, gue tahu, ada seratus lima puluh ribu lebih siswa/i lain di luar sana yang sama kecewanya kaya gue, dan gue sendiri enggak tahu gimana cara nyembuhin perasaan ini. gue enggak mau ngedown, tapi memang gue udah down.
semua orang bener, banyak jalan lain menuju roma. snmptn undangan bukan satu-satunya pintu untuk gue bisa masuk ke PTN. tapi enggak pernah ada yang semudah kata-kata kan.
gue berusaha untuk enggak nulis pake emosi, karena suatu hari nanti gue pasti akan malu banget liat postingan ini dan menyadari betapa labil-nya gue.
beberapa jam yang lalu gue mutusin untuk mulai buka-buka soal, seenggaknya gue berusaha berdamai sama keadaan gue, berusaha ikhlas walaupun belum bisa. gue sadar, gue enggak sepintar itu untuk mengharapkan undangan itu jatuh ke gue dengan cuma-cuma. gue tahu mental gue yang lemah untuk nerima semua ini..
ini blog gue, gue cuma cerita apa yang gue rasain hari ini..
-cheers-
Senin, 16 Mei 2011
Senin, 09 Mei 2011
Sahabat adalah............... ?
Sahabat..
Apa sih yang ada di pikiran lo kalau elo semua denger kata “SAHABAT” ??
Apa lo bakal jawab pertanyaan pasaran itu dengan jawaban klise, kaya ‘..sahabat itu orang yang akan selalu ada buat gue saat suka ataupun duka..’ atau ‘..sahabat itu orang/sekelompok orang yang memiliki kesamaan sama gue luar dalam..’
Jawaban kaya gitu memang enggak salah, gue sendiri pernah memberikan jawaban seperti itu ketika ada yang bertanya sama gue, apa itu sahabat. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, jawaban itu bukan jawaban yang tepat menurut gue..
Dan akhirnya pendeskripsian sahabat menurut gue adalah kaya gini :
Sahabat yang paling jujur adalah sahabat yang ikut mentertawakan elo..
Kedengarannya memang sadis banget sih, gila aja kan elo bikin suatu hal jadi berantakan dan elo menemukan sahabat lo juga lagi asik ngetawain lo. Tapi buat gue inilah sahabat yang jujur, karena mereka manusia men, munafik kalau mereka cuma diem tanpa ekspresi ketika ngeliat elo lagi ‘konyol’ or do something stupid. Lagipula menurut gue elo sendiri pasti akan ketawa kan kalo liat sahabat lo kepleset di koridor sekolah atau sahabat lo dandan ala ondel-ondel. Yang perlu lo pastiin cuma satu, meskipun mereka ikut tertawa, tapi tangan-tangan merekalah yang pertama kali terulur ke arah lo dan membantu lo..
In case, gue contohnya. Kaya yang udah gue tulis sebelum-sebelumnya, gue bersahabat dengan Dita Listi Galuh, dan gue memang masih punya sahabat yang lain, tapi untuk kali ini gue mau membahas tentang mereka (lagi). Sometimes tanpa gue sadari, gue suka ngomong dengan bahasa yang terlalu baku, kaya nyebut ‘becak’ dengan hentakan ‘k’ di ujungnya, atau ‘tahu’ yang saat itu gue maksud adalah ‘tau’ tapi gue melafalkannya tetap dengan huruf ‘h’ yang kental. Dan mereka bertiga selalu ketawa ngakak, sengakak-ngakaknya setan deh, hahaha, bahkan kadang gue curiga mereka sengaja nyari-nyari kesalahan gue dalam pengucapan untuk sekedar di ketawain. Ohya satu lagi, aibnya gue itu cadel, jadilah ketika ada kata yang terdiri dari banyak huruf ‘r’ gue akan sangat kesulitan, dan lagi-lagi mereka bakal tertawa.
Bikin kesel sih pasti. Tapi memang itu adanya gue, dan mereka menerima itu. Dan itu adanya gue yang memang bikin mereka ketawa. Mereka selalu berani ketawa dengan mulut paling lebar dan volume paling kenceng tepat di depan muka gue, bukan-di-belakang-gue, mereka enggak munafik, mereka manusia normal, dan ujung-ujungnya toh mereka bakalan tetap bakalan bilang ‘maaf’ mereka juga akan ngoreksi kesalahan gue, dan bagi gue ini yang paling penting. Ketimbang sahabat yang selalu nge-iya-in semua kata-kata lo bahkan ketika lo bilang mau bunuh diri misalnya, heloooo..sahabat adalah editor dalam buku kehidupan lo !
Sahabat yang paling setia bukan mereka yang siap sedia di samping lo selama 24jam..
Sahabat bukan apotek, bukan juga UGD atau circle K, hahaha. Mereka manusia biasa yang butuh tidur, butuh makan dan butuh privasi. Dia bukan kacung lo yang setia kemana-mana ngintilin elo. Ketika elo yakin persahabatan elo telah terbentuk dengan seseorang/lebih, percaya sama gue, tanpa perlu selalu ada mereka di sebelah lo secara raga, mereka akan tetap jadi orang yang bertahan sampai akhir dalam hidup lo. Jangan pernah menahan sahabat lo untuk tetap diam di samping lo, itu namanya elo egois.
Gue, Dita, Listi dan Galuh sekolah di SMA yang beda-beda, kita kenal di SMP yang sama dan nasib kita masing-masing enggak ngijinin kita untuk terus bareng-bareng di SMA. Awal-awal kita semua sama-sama takut persahabatan kita akhirnya berhenti di tengah jalan. Tapi alhamdulillah sampai hari ini, kita masih berdiri di garis persahabatan yang sama dan semoga akan terus seperti itu sampai nanti. Beda sekolah, pastinya bikin kita beda teman pergaulan. Dan gue rasa, sampai saat ini, enggak ada satupun dari kita yang merasa di lupain cuma karena masing-masing dari kita menemukan teman yang baru.
Ibaratnya kaya rumah, kalau sebuah rumah dibangun dengan pondasi kepercayaan dan kebersamaan yang kuat. Kemanapun perginya penghuni rumah itu, akan ada waktu dimana dia akan kembali ke dalam rumahnya. Dan mungkin itulah persahabatan kita berempat.
Tiga tahun ini di SMA, jalan bareng dengan formasi lengkap masih bisa dihitung pakai jari tangan deh, padahal mungkin masing-masing dari kita bisa berkali-kali jalan sama teman-teman kita di sekolah. Tapi bukan berarti persahabatan ini pudar dan kita jadi enggak setia satu sama lain. Percaya atau enggak, setiap gue ataupun salah satu dari mereka punya masalah, kita selalu tahu. Diam-diam, kita sering ngelihatin tweet masing-masing dari kita satu-satu, cuma untuk ngecek, sahabat gue baik-baik aja kan. Dan ajaibnya, misalnya gue tiba-tiba galau, terus gue ngetweet sesuatu yang kesannya gue punya masalah, padahal pas ngetweet itu gue udah mastiin kalau di timeline enggak ada salah satu dari mereka yang obline. Tapi eng-ing-eng..beberapa menit kemudian, ada aja dari mereka yang mention gue dan enggak jarang langsung sms gue. Begitupun juga gue. So, sahabat itu tentang jiwa yang bersatu sob, bukan cuma tentang tangan-tangan yang saling bertaut.
Sahabat yang peduli bukan sahabat yang nerima lo apa adanya..
Bukan berarti juga yang nerima lo ada apanya ya. Menerima seseorang dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka memang kunci awal untuk memulai sebuah hubungan yang harmonis. Tapi enggak harus selamanya kaya gitu. Khususnya di bagian sifat lo yang bad-side-nya.
Bukan sahabat namanya kalau dia terus maafin elo karena keegoisan lo. Bukan sahabat namanya kalau dia terus ngebiarin elo jadi pemakai-narkoba-misalnya walaupun mungkin sialnya-itu-satu-satu-nya-hal-yang-bikin-lo-bahagia. Bukan sahabat namanya kalau dia diem aja ketika sahabatnya terus neriakin kata-kata kasar tanpa diayak. Bukan sahabat namanya kalau dia mendukung elo karena sifat lo yang terlalu baik.
Itu sama aja, kaya elo lagi jadi api dan sahabat lo malah jadi bensin, bukan jadi air. Gue menerima sahabat gue apa adanya, dan sahabat gue pun demikian. Tapi di beberapa kasus, kita enggak ragu-ragu untuk negur atau malah marahin dan kadang sampai ngediemin ketika apa yang kita perbuat udah kelewat batas. Gue adalah orang yang enggak tegaan, di satu sisi mungkin itu baik, tapi di sisi lain sahabat gue jelas-jelas tahu kalau itu berbahaya buat gue sendiri. Dan mereka orang yang selalu meyakinkan gue untuk lebih tegas dalam ngambil keputusan. Enggak jarang kalau gue lagi kena masalah, merekalah yang maju duluan karena mereka tahu gue enggak akan mempermasalahkan masalah itu dan maafin itu gitu aja. Lebih dari sekedar menerima lo apa adanya, sahabat yang sesungguhnya memberi jawaban terbaik untuk ‘apa’ dan menyaring yang telah ‘ada’ dalam diri lo.
Sahabat yang paling asik adalah mereka yang sifatnya bertolak belakang dari sifat lo..
Perbedaan itu indah. Dan gue sangat mengamini hal tersebut. Buat gue perbedaan itu adalah lambang tentang kebersamaan sejati yang paling nyata. Begitu juga persahabatan yang isinya penuh dengan segala perbedaan.
Kita berempat itu beda banget. Dari segi pemikiran, selera musik, pelajaran sampai hal-hal kecil lainnya. Kita jarang punya idola yang sama. Gue sama Galuh malah selalu berseberangan kalau soal bola. Dita yang obsesinya di jalur desain-grafis-foto-gambar hal-hal yang akan selalu gue jauhi, karena gue enggak berbakat seni. Galuh yang beberapa tahun terakhir ini terobsesi dengan korea dan Kim Heechul-nya Super Junior. Listi yang..err...elo apa ya lis ? hahaha...sebagai satu-satunya orang yang punya pacar di antara kita, dia pastinya yang harus paling pinter-pinter ngebagi waktu, dan gue yang udah sebesar ini dan masih terobsesi sama Idola Cilik, Alvin khususnya, haha.
Dalam bidang musik atau film juga kita beda, mereka lebih suka yang ber-bau (?) luar negeri sementara gue selalu membanggakan yang dalam negeri haha. Listi pinter banget hitung-hitungan dan gue benci banget sama angka. Galuh satu-satunya IPA di antara kita ber-empat dan gue enggak pernah suka pelajaran IPA. Dita itu Hi-teck dan gue Gap-teck, hahaha. Masih banyak lagi perbedaan gue dan mereka, dan masing-masing dari kita. Perbedaan ini memang rawan banget untuk pencipta konflik, dan enggak gue pungkiri ada satu-dua kali kita berantem gara-gara perbedaan persepsi.
Tapi percaya deh, dengan perbedaan-perbedaan itulah hidup jadi lebih berwarna. Kita jadi lebih tahu banyak hal, enggak dari satu sisi, enggak cuma dari mata kita, melainkan dari orang lain di sekitar kita, dan itu menyenangkan. Dan dari perbedaan-perbedaan inilah, gue dan mereka belajar untuk saling tenggang rasa dan bertoleransi. Dengan bertoleransi kita akan saling mengerti dan ujung-ujungnya bakal saling melengkapi juga menguatkan satu sama lain. Tuhan aja menciptakan dunia dengan banyak warna, jadi kenapa kita harus menggambar buku harian persahabatan kita hanya dengan satu warna ?
Sahabat terbaik adalah....
Enggak ada definisi apapun untuk sahabat terbaik. Karena baik itu relatif, semua orang berhak menilai yang terbaik itu kaya apa.
Bagi seorang dokter sahabat terbaik mungkin stetoskopnya
Bagi seorang guru sahabat terbaik mungkin murid-muridnya yang sukses
Bagi seorang penjual daging sahabat terbaik mungkin peternak sapi
Bagi seorang wartawan sahabat terbaik mungkin masalah-yang-tak-kunjung-henti
Bagi seorang pemakai sahabat terbaik mungkin lintingan ganja dan jarum suntiknya
Bagi seorang penulis sahabat terbaik mungkin pena dan kertas
Bagi seorang guru sahabat terbaik mungkin murid-muridnya yang sukses
Bagi seorang penjual daging sahabat terbaik mungkin peternak sapi
Bagi seorang wartawan sahabat terbaik mungkin masalah-yang-tak-kunjung-henti
Bagi seorang pemakai sahabat terbaik mungkin lintingan ganja dan jarum suntiknya
Bagi seorang penulis sahabat terbaik mungkin pena dan kertas
Dan bagi gue, cukup mereka terus ada dan mempercayai gue. Gue udah sangat akan berterimakasih dengan kehadiran mereka. Di banding mereka, gue enggak ada apa-apanya. Gue masuk SMA negeri yang biasa-biasa aja, bukan yang unggulan kaya mereka, gue selalu jadi yang paling ngerecokin kalau lagi belajar bersama karena gue males banget belajar, gue yang suka marah-marah kalau mereka udah ngeberantakkin kasur dan kamar gue, gue yang kadang jadi sok bossy dan sok tahu ke mereka semua, gue yang takut ketinggian dan parnoan, gue yang enggak ikut satupun ekskul di sekolah dan bukan bagian dari OSIS ataupun MPK, gue yang cupu dan anak rumahan banget, gue yang kalau lagi foto bareng-bareng gayanya paling enggak ekspresif, gue yang sensitif dan cengeng, gue yang belum bisa ngasih banyak untuk mereka.
Tapi jadi apapun gue nanti, kalau gue jadi penulis, gue pastiin nama mereka bakal terpampang lengkap dan jelas di ucapan terimakasih buku gue, kalau gue jadi psikolog, gue bakalan ngasih free-consul untuk mereka, kalau gue nikah nanti, gue mau mereka yang jadi pendamping gue. Intinya, yang terbaik dalam definisi gue adalah, terbaik itu enggak akan selalu jadi yang pertama tapi sadar ataupun enggak akan selalu diutamakan.
Jadi, apa definisi kalian tentang SAHABAT ?
-cheers-
Minggu, 10 April 2011
Sabtu, 09 April 2011
isn't about him, but it
Mungkin ini berlebihan, tapi menurutku, tidak ada yang lebih menyesakkan daripada merindukan sesuatu yang kita tahu, tidak akan pernah bisa terulang, dan aku menyebutnya..
Kenangan.
Segala hal yang pernah terjadi, dan hanya terjadi satu kali. Jika aku boleh jujur, meski terasa memalukan, terkadang air mata jatuh bukan untuk ‘seseorang’ melainkan sebuah kenangan. Jejak-jejak masa lalu, yang entah mengapa datang begitu saja, memeluk jiwa dengan erat dan memaksaku untuk mengingatnya barang sejenak.
Kadang aku ingin melompat tinggi, meraih seluruh kenangan yang tersebar dan menyatu diudara, lantas mengumpulkannya dan menyimpannya dalam satu kotak, agar tidak ada satupun lagi yang menggangguku. Meski aku mengerti, membungkus kenangan, adalah membungkus kehampaan..
Namun aku juga menyadari, bahwa tanpa kenangan-kenangan itu, maka tidak akan ada aku hari ini, dan mungkin juga kamu. Tidak akan ada detik-detik, dimana aku luruh untuk mengenang apapun itu.
Tapi ini tetap saja menyebalkan. Bagiku. Aku telah mengalahkan waktu dan segala ketakutan untuk maju, tapi kenangan-kenangan itu, kadang menggelembung tiba-tiba dan menutupi pandanganku sejenak, membuatku kembali menatapnya, nya-dalam artian kenangan itu..
Meski di dalamnya, tentu ku akui, tetap ada dia.
Dan sekali lagi ku tegaskan, ini bukan tentang dia. ini tentang kumpulan kenangan, ataupun bagian darinya yang entah mengapa membuatku tidak nyaman. Aku benci harus mengakuinya, tapi terkadang segala pertahananku luluh lantah oleh kenangan, yang bahkan tak sampai beberapa menit menatapku dengan caranya yang memaksa.
Adilkah itu ? menurutku tidak.
Ia telah mengembalikan kepingan yang tanpa pernah sadar ia genggam dan terus melekat dalam dirinya, yang sempat membuatku layaknya arwah penasaran yang terus menghantuinya. Aku telah melengkapi segala susunan hatiku, dan langkahku telah menjadi ringan untuk mencintai diriku sendiri. Namun kenangan ini, rasa-rasanya ia tidak sepaham. Cengkramannya yang kuat, jujur saja, kadang membuatku melemah.
Dan yang paling aku benci dari semua itu adalah, ketika kenangan-kenangan itu terasah menjadi sedemikian menyengat dan kemudian mengalirkan air mata kerinduan, dan seolah menggambarkan aku sebagai pribadi yang rapuh. Padahal tidak. Hanya kenangan sialan itu membuatnya seperti ini.
Aku tahu, aku tak dapat mengusirnya, dan belum berhasil menepikannya. Tapi aku pastikan, kenangan itu akan tetap menjadi kenangan, bukan cerita yang berulang, bukan kisah yang dimulai kembali.
Kenangan, hanya akan indah dikenang, karena ia terjadi satu kali, bukan berkali-kali...
Kenangan.
Segala hal yang pernah terjadi, dan hanya terjadi satu kali. Jika aku boleh jujur, meski terasa memalukan, terkadang air mata jatuh bukan untuk ‘seseorang’ melainkan sebuah kenangan. Jejak-jejak masa lalu, yang entah mengapa datang begitu saja, memeluk jiwa dengan erat dan memaksaku untuk mengingatnya barang sejenak.
Kadang aku ingin melompat tinggi, meraih seluruh kenangan yang tersebar dan menyatu diudara, lantas mengumpulkannya dan menyimpannya dalam satu kotak, agar tidak ada satupun lagi yang menggangguku. Meski aku mengerti, membungkus kenangan, adalah membungkus kehampaan..
Namun aku juga menyadari, bahwa tanpa kenangan-kenangan itu, maka tidak akan ada aku hari ini, dan mungkin juga kamu. Tidak akan ada detik-detik, dimana aku luruh untuk mengenang apapun itu.
Tapi ini tetap saja menyebalkan. Bagiku. Aku telah mengalahkan waktu dan segala ketakutan untuk maju, tapi kenangan-kenangan itu, kadang menggelembung tiba-tiba dan menutupi pandanganku sejenak, membuatku kembali menatapnya, nya-dalam artian kenangan itu..
Meski di dalamnya, tentu ku akui, tetap ada dia.
Dan sekali lagi ku tegaskan, ini bukan tentang dia. ini tentang kumpulan kenangan, ataupun bagian darinya yang entah mengapa membuatku tidak nyaman. Aku benci harus mengakuinya, tapi terkadang segala pertahananku luluh lantah oleh kenangan, yang bahkan tak sampai beberapa menit menatapku dengan caranya yang memaksa.
Adilkah itu ? menurutku tidak.
Ia telah mengembalikan kepingan yang tanpa pernah sadar ia genggam dan terus melekat dalam dirinya, yang sempat membuatku layaknya arwah penasaran yang terus menghantuinya. Aku telah melengkapi segala susunan hatiku, dan langkahku telah menjadi ringan untuk mencintai diriku sendiri. Namun kenangan ini, rasa-rasanya ia tidak sepaham. Cengkramannya yang kuat, jujur saja, kadang membuatku melemah.
Dan yang paling aku benci dari semua itu adalah, ketika kenangan-kenangan itu terasah menjadi sedemikian menyengat dan kemudian mengalirkan air mata kerinduan, dan seolah menggambarkan aku sebagai pribadi yang rapuh. Padahal tidak. Hanya kenangan sialan itu membuatnya seperti ini.
Aku tahu, aku tak dapat mengusirnya, dan belum berhasil menepikannya. Tapi aku pastikan, kenangan itu akan tetap menjadi kenangan, bukan cerita yang berulang, bukan kisah yang dimulai kembali.
Kenangan, hanya akan indah dikenang, karena ia terjadi satu kali, bukan berkali-kali...
Minggu, 30 Januari 2011
ketika kemarin memudar (cerpen)
Aku mendesah perlahan, ketika nama itu, lagi dan lagi serasa berputar di kepalaku, memenuhi pikiranku hingga sesak, mengajak aku melayang menuju hari-hari yang telah terlewati. Sampai kapan ini akan berhenti, dan membiarkan aku sendiri. Rasa kangen yang selalu menelusup di balik kulitku dan memelukku erat, sesungguhnya sangat-sangat menyiksa dan membuatku tidak nyaman.
Ini tentangnya dan masih tentangnya, seperti biasa. Ia yang selalu membuatku rapuh dan lemah. Ketika mengingat senyumnya, ketika merasakan sentuhannya, ketika ia datang dalam mimpi-mimpi malam, maka saat itu juga, air mataku dapat tumpah, tanpa terbendung sedikitpun.
Satu..dua..tiga..iya ini tahun ketiga. Tahun ketiga dimana kamu meninggalkan aku dengan tiba-tiba, tanpa pamit, tanpa pesan, tanpa pernah aku mengerti kamu dimana dan kenapa. Tapi rasa ini tidak pernah selesai. Selalu saja mengenang bahkan berharap, masa itu akan kembali, setidaknya, kamu akan datang, ke tempat dimana kita pernah bersama-sama, dan menghabiskan waktu.
Dan tempat ini. Tempat yang aku pijaki sekarang. Kelas kosong, berhias dua papan tulis yang menggantung diam di sana, dan deretan bangku serta meja yang menatapku, seolah bertanya, apa yang sedang aku lakukan disini ?
Aku mendekat. Meja nomor tiga dari depan, di barisan sebelah kiri. Seandainya kamu ada disini, ingatkah kamu, ini meja kita. Dengan ujung-ujung jariku, aku merabanya, meski yang kurasakan hanya sentuhan debu-debu kotor. Tapi tetap saja, ia saksi bisu kita, saksi bisu ketika semua cerita tertoreh dan kemudian luruh dalam hidupku.
***
Tiga tahun lalu.
Suasana begitu hening, amat sangat hening. Tangan-tangan saling bertaut satu sama lain, mencoba menenangkan dan saling mentransfer energi positif satu sama lain. Tinggal beberapa menit lagi, dan segala perjuangan tiga tahun ini akan segera mencapai garis akhir. Dan tentu saja semua yang ada di ruangan ini berharap, akhir yang bahagia.
“Selamat pagi siswa-siswi yang bapak cintai dan banggakan..”
Sapaan Pak Wisnu, kepala sekolah kami, sama sekali tidak kami hiraukan. Hanya sedikit yang menjawab, sementara sisanya memilih diam, melantunkan doa-doa penenang dalam hati. Begitu juga denganku.
“Baiklah, karena bapak sudah melihat wajah-wajah tegang di sini, akan bapak umumkan langsung saja..”
Suara degup jantung kencang nyaris tak beraturan, secara ajaib, terdengar dengan jelas memenuhi sudut-sudut aula.
“Dengan bangga bapak sampaikan, angkatan dua puluh delapan, baik yang di penjurusan ipa ataupun ips, lulus seratus persen !”
“Alhamdullilah !!”
“WOII..GUE LULUS !!”
“Njir, gue anak kuliah sekarang !!”
“AHHH LULUS..KITA LULUS !!!”
Segala macam teriakan, ungkapan kebahagiaan langsung bergema dimana-mana. Ekspresi-ekspresi yang tidak mampu di lukiskan hanya dengan kata-kata biasa. Setelah tiga tahun berjibaku dalam putih abu-abu yang memang abu-abu, setelah hampir satu tahun belakangan ini kami semua larut dalam beribu-ribu soal, pelajaran tambahan, try out, hingga bimbingan belajar. Maka hari ini, dengan bangga aku katakan, aku baru saja menutup satu lagi bukuku, untuk kutapaki cerita yang baru, tidak lagi hanya sebagai siswa biasa, tapi telah menjadi maha.
“Fy..lulus Fy, kita lulus Fy..” Shilla berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Bagian dari tangisan haru.
“Iya Shil, lulus, kita anak kuliahan sekarang !” sambungku bangga, dan langsung memeluknya. Kami berdua berpelukkan erat, sangat erat. Karena di balik kebahagiaan ini, kami juga mengerti, perpisahan tampak nyata menatap langkah di depan kami.
“Ehem..”
Aku dan Shilla saling melepaskan pelukan satu sama lain, kami kenal betul, suara siapa yang mengganggu euforia kami berdua. Tepat di hadapan kami, berdiri Alvin dan Rio, yang juga sedang menyunggingkan senyum kebahagiaan ciri khas mereka masing-masing. Dan tanpa aba-aba dari siapapun, aku dan Shilla, langsung kompak memeluk laki-laki di hadapan kami itu. Aku memeluk Alvin, sementara Shilla memeluk Rio.
Bukan. Alvin bukan pacarku. Dan jangan tanya kenapa, kenapa saat itu aku memilih untuk memeluknya. Itu sungguh-sungguh tanpa alasan. Bukan juga karena ia teman sebangkuku.
Karena bila diingat, sepertinya tubuhku sendirilah yang ingin mendekap tubuhnya. Entah untuk alasan apa.
*
Kesenangan pengumuman kelulusan itu, tidak berlangsung lama. Aku dan teman-teman seangkatanku mulai sibuk lagi larut dalam persiapan kami semua untuk menghadapi snmptn. Gerbang keputusan yang akan menentukan nasib kami selanjutnya.
Dan aku begitu semangat mengerjar impianku. Menjadi seorang yang bisa berguna di masyarakat adalah hal yang menjadi prinsipku. Oleh sebab itu, aku membulatkan tekadku untuk bisa masuk dalam jurusan psikologi. Aku harus bisa !
Satu-satunya penghibur yang terselip dalam sederet kegiatan detik-detik menjelang snmptn, adalah prom night. Aku akan datang bersama Alvin. Dia mengajakku kemarin, dan tanpa pikir panjang aku tentu saja langsung mengiyakannya. Dan kalau ada yang bertanya lagi apa alasanku, aku masih belum benar-benar mengerti.
Suara deru mesin mobil terdengar dari depan rumahku, buru-buru aku membuka pintu, untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin ? naik mobil ?” tanyaku bingung, belum pernah tiga tahun ini aku berteman dengannya, melihat Alvin menyetir mobil, biasanya ia selalu setia dengan motor bebek hitamnya.
“Hehe..minjem bokap, abis masa gue mau jemput cewek cantik naik motor, kasian di elonya lah..mana lo pakai dress gitu lagi..” ujarnya sambil menunjukku.
“Ohh hehe..ya udah, ayo masuk, gue ambil tas dulu di kamar..” ajakku sambil menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumahku. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, akhirnya aku dan dia bergegas untuk pergi ke prom night di sekolahku.
Tanpa janjian, aku dan Alvin tampak begitu serasi. Aku menggunakan tube dress berwarna hitam dengan cutting asymetris di bagian bawahnya, dan Alvin tampak santai di balik kemeja putih dan blazer hitamnya yang ia gulung hingga ke siku.
“Lo udah jago kan Vin nyetirnya ?” tanyaku polos, tepat ketika Alvin mulai menghidupkan mobil dan menggeser persenelingnya.
Ia terkekeh, dan menatapku. “Kalau gue enggak bisa nyetir, enggak akan deh gue bawa anak orang naik mobil malam-malam kaya gini..”
“Ya kan, gue masih mau hidup panjang Vin..hehe..masih mau ikutan snmptn nih gue..”
“Snmptn daftar apa aja ?”
“UI sama UGM..hehe..”
“Hmm..tahu deh yang pinter, semoga jebol salah satunya yaa..” ujarnya sambil mengelus rambutku pelan. Dan aku sangat menikmati belaiannya ini.
“Amin !! doain gue ya Vin..”
“Selalulah Fy..”
“Makasih..”
“Seandainya lo masuknya ke UGM, berarti lo bakal pergi dong dari Jakarta ?”
“Ya iyalah Vin, masa iya gue mau kuliah jarak jauh, mana bisa..” tukasku, entah polos atau bodoh. Yang jelas, Alvin kembali terkekeh.
“Haha iya-iya..maksud gue, err....berarti lo bakal ninggalin gue, ninggalin Shilla, Rio..”
“Rio kan mau ke ITB, elo juga mau ke UNPAD kan ? kita semua pergi kali dari Jakarta kecuali Shilla..”
“Lo percaya sama long distance nggak Fy ?”
Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan Alvin. “Kok elo enggak nyambung sih Vin ?”
“Hahaha..iyaya ? lupain aja deh..” kilahnya, kemudian terdiam, dan menatap jalan di depannya. Dan akupun begitu.
Anggaplah saat itu aku tidak peka, tapi percayalah, aku benar-benar tidak mengerti maksud pertanyaannya saat itu. Dan di tahun-tahun ke depan, itu seperti sebuah kerikil kecil yang menyeret penyesalan dalam hidupku.
Tidak begitu banyak hal penting yang terjadi malam itu, yang aku ingat hanyalah, sepanjang prom night aku dan Alvin terus berdansa berdua. Tanpa ikatan, di balik persahabatan kami, tanpa kata-kata, aku dan dia menikmati semuanya.
Sekeping kenangan yang ternyata tertoreh dalam di kemudian hari.
*
Aku nyaris tak berkedip menatap layar laptopku. Dan sejurus kemudian, sebuah senyum kelegaan, bercampur kebahagiaan dan kebanggaan tak terkira terpeta di bibirku.
Psikologi, UGM. Ya, aku lolos !
“Mama..aku ke UGM ma !!” teriakku masih enggan bangkit dari depan laptopku, masih ingin menatap pengumuman itu. Meski hanya sebaris kalimat. Namun kalimat yang membuncahkan sejuta kebahagiaan dalam hati.
“Drrtt..drrrttt...”
“Halo, gimana Fy ?” suara Alvin langsung menyapaku. Bisa ku tebak, ia juga sedang mendapatkan berita terbaiknya.
“UGM Vin, gue ke jogja..kampus biru hahaha..”
“Congrats yaa..”
“Makasih Alvin...lo sendiri gimana ?”
“Menurut lo gimana ?”
“Pasti lolos, iyakan ?”
“Hehehe..temen lo jadi calon dokter gigi nih Fy”
“Ahh Alvin, selamat ya selamat !! asik deh, entar gue bisa periksa gigi gratis..haha..”
“Woo..eh, ntar malem ada acara enggak ?”
“Enggak, kenapa ?”
“Entar gue ke rumah lo ya ?”
“Oke, gue tunggu, jam berapa ?”
“Jam tujuh mungkin, ya udah deh, sekali lagi selamat ya, awas jangan ikutan stres sama pasien lo entar..hahaha..”
“Si...”
Klik. Belum sempat aku membalas kata-katanya, Alvin telah terlanjur menutup telponnya. Hah, rasanya kebahagianku menjadi tambah berlipat ganda. Dan sekarang, aku malah menjadi mengira-ngira, untuk apa ya Alvin datang ke rumahku nanti malam. Adakah hal yang ingin ia sampaikan ?
Ahh, aku jadi penasaran.
*
Dan ia berdiri di hadapanku sekarang, terlambat dari waktu yang ia bilang. Ini sudah jam sembilan malam, sudah sejak dua jam lalu aku menunggunya, ia datang dengan wajahnya yang babak belur. Tanpa perlu bertanya, aku juga mengerti, apa yang terjadi dengannya.
Tiga tahun bersahabat. Dan satu tahun duduk bersama, membuat aku sangat mengerti dengan apa yang sering Alvin alami.
“Ada apa Vin ?”
Dia tersenyum lirih ke arahku. Hanya tersenyum di tempatnya, tanpa melanjutkan langkahnya. Dia berhenti, dan akhirnya aku yang maju. Menujunya yang berdiri di halaman rumahku.
“Vin, ada yang bisa aku bantu ?”
Ia langsung memelukku. Untuk alasan yang aku mengerti tapi tidak ku ketahui sepenuhnya. Aku melingkarkan tanganku di punggungnya, menepuk-nepuknya, mencoba menghibur speerti layaknya seorang sahabat.
Untuk beberapa saat, kami menelan waktu dalam pelukan ini. Tidak peduli pada ketukan detik yang terpacu cepat. Tangan Alvin semakin memelukku erat. Aku sama sekali tidak memberontak atau risih karenanya. Aku ingin menjadi orang yang menenangkannya, dan itu aku sekarang.
Nada-nada alam dari ketukan air yang menyentuh tanah dalam hujan yang tiba-tiba, mengguyur kami, yang tetap saja, saling berpelukan satu sama lain.
Tubuhku mulai basah, rasa dingin mulai merasukiku. Tapi aku benar-benar tidak ada niatan untuk meminta Alvin melepaskan pelukannya. Ada yang bergetar dalam hati ini, sesuatu yang tidak aku kenal, sesuatu yang baru namun terasa begitu nyata. Teduh dan hangat, bahkan meski gemericik hujan semakin deras tertumpah dari langit nan membentang.
Apa yang terjadi padaku ?
“Fy..” untuk pertama kalinya, sejak kedatangannya, akhirnya bibir itu terbuka.
“Ya ?”
“Gue sayang sama lo..”
*
Hiruk pikuk yang terjadi di stasiun ini, sama sekali tidak menyurutkan air mataku untuk mengalir sederas-derasnya. Tinggal dua puluh menit lagi, sebelum kereta dengan gerbong abu-abunya itu akan membawa tubuhku ke Jogja, kota dimana aku akan menapaki langkah baruku.
“Fy..” Shilla terisak di hadapanku, membuat aku juga terus menangis.
“Ahh Shilla..jangan bikin gue berat dong..” aku kembali memeluk sahabatku itu. Ternyata berpisah tak semudah kelihatannya.
Sahabat adalah kepingan jiwa, terasa seperti mati rasa ketika harus meninggalkannya.
“Fy, take care ya..” ujar Rio tersenyum ke arahku, dan menepuk kepalaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk. Ada yang lebih menyakitkan dari perpisahan sementara ini. Ketidak hadirannya.
Alvin, entahlah ada dimana ia saat ini.
“Alvin marah ya Yo sama gue, karena gue nolak dia ?” tanyaku pelan, tidak melihat Rio, melainkan melihat ke arah pintu masuk stasiun, berharap dapat menemukan sosoknya sedang berjalan ke arahku.
“Gue juga enggak tahu, gue juga enggak bisa ngehubungin dia dari tadi pagi, tapi gue rasa Alvin enggak akan marah sama lo..”
“Tapi dia enggak datang sekarang..” desahku, yang entah mengapa harus kecewa.
“Fy, ayo naik, sebentar lagi keretanya berangkat..” mama mengingatkanku. Aku menghela nafas, ingin menahan waktu, dan menunggu Alvin untuk datang, meski itu tidak mungkin bisa.
Masih dengan air mata berurai, aku memeluk Shilla lagi, hanya saja lebih singkat kali ini, memeluk Rio, dan kemudian berbalik mengikuti mama yang berjalan di depanku. Sebelum naik, lagi-lagi aku menyempatkan diri untuk menoleh ke titik itu, tempat yang aku pandang dengan bias harap bercampur nanar. Ia tetap tidak hadir, sama sekali tidak.
“Nanti kan kalau liburan kamu juga bakalan pulang Fy, udah ah nangisnya..” tegur mama, setengah menasihati. Aku hanya tersenyum.
Kereta mulai berjalan. Perlahan, meninggalkan kota ini, meninggalkan gedung-gedung beton pencakar langit yang sering ku lihat setiap hari. Meninggalkan semuanya.
Dan ia tetap tak nampak. Menghilang. Benar-benar menghilang.
***
Reflek, aku langsung menghapus setitik air mata yang jatuh tanpa kendaliku. Mengingat tentangnya selalu membuatku seperti ini. Aku berdiri dari bangku, yang dulu merupakan bangkuku, untuk sekejap, aku menoleh menatap kursi kosong yang ada tepat di samping kananku. Tempatnya dulu duduk.
Alvin, ada dimana kamu ?
Ya, tiga tahun berlalu, dan aku tetap tidak mengetahuinya. Dan sepertinya memang tidak ada yang mengetahuinya. Rumahnya pindah. Nomornya tidak lagi aktif, sehari setelah keberangkatanku ke Jogja waktu itu. Ia lenyap, tak bersisa.
Dan aku ?
Yang terlalu bodoh ini. Baru menyadari satu hal. Aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Tidak ingin terlalu lama ada disini, aku buru-buru beranjak pergi. Lagipula, aku telah membuat janji dengan Rio dan Shilla untuk makan siang bersama.
Di sebuah kafe, di bilangan tebet. Aku menunggu kehadiran mereka berdua. Sesaat ku amati sekelilingku, semua telah berubah. Kota ini berubah terlalu banyak. Dan sayangnya aku tidak di ajak serta dalam perubahan itu. Aku terbenam dalam cerita masa lalu yang aku sesali.
Hidup itu pilihan, termasuk juga sebuah penyesalan.
“IFY !!..ahhh gue kangen !” Shilla langsung menghambur, memelukku, sementara Rio berjalan di belakangnya.
“Gue juga !! haha..liburan semester kemarin gue juga balik ya..”
“Hei Yo, lo tambah item aja ..haha..” sambungku, sambil menjabat erat tangan Rio.
“Iya nih, gue abis pkl Fy..”
“Kemana ?”
“Chevron di Minas..”
“Sumpah lo bisa pkl disana ? ahh keren banget ! ehem..sahabat gue mau jadi tukang minyak, entar kalau udah tajir jangan lupa sama gue, oke..”
Rio dan Shilla hanya terkekeh menyaksikkan tingkahku. Dua sahabatku ini, bisa dibilang adalah contoh pasangan yang wajib ditiru, berpacaran sejak kelas dua sma, berlanjut hingga kuliah sekarang meski tol cipularang memisahkan mereka, namun keduanya tetap saja bisa menjaga kekompakkan untuk menjaga hubungan mereka.
Dan layaknya sebuah persahabatan, kami bertiga mulai asik menceritakan setiap detail pengalaman yang telah kami lalui, apapun itu. Meski terasa ada yang kurang, karena ia tidak ada disini.
Alvin, bisakah kamu kembali ?
“Yo..elo beneran enggak tahu, Alvin ada dimana ?” tanyaku pelan. Setiap bertemu, aku selalu menanyakan ini. Dan bisa saja kan, Rio mulai jengah dengan sikapku ini.
“Fy..gue sama Rio selalu berusaha buat nyari keberadaannya Alvin, kita juga mau ketemu sama dia, tapi ya kaya yang lo lihat, dia enggak meninggalkan jejak sedikitpun buat kita lacak..” Shillalah yang menjawab pertanyaanku. Dan aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar jawabannya.
Ia seperti menyatu dengan udara, yang menghilang tanpa jejak, tapi ke alpaannya begitu hebat terasa.
***
Seminggu terakhir, sebelum aku kembali ke Jogja. Rio sudah kembali ke Bandung dan Shilla sedang ada acara di kampusnya. Tidak ada kerjaan di rumah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan, sekedar menyegarkan mata.
Aku memasuki sebuah mall di jantung ibu kota, gedungnya yang unik, seperti balok-balok kotak yang miring serta warna dindingnya yang begitu ceria dan berwarna-warni. Berjalan sendirian tanpa tujuan, membuatku hanya mengelilingi tempat ini tanpa jeda.
Hingga langkahku terhenti, dan tubuhku bergetar hebat.
Aku melihatnya. Dan aku yakin itu dia.
Alvin.
Tanpa mengulur waktu, aku mengejarnya, membiarkan wedgesku menghentak lantai dengan brutal. Tak menghiraukan orang-orang lain yang menatapku bingung.
“Alvin..” dan tanpa malu-malu, aku mencekal pergelangan orang itu. Membuatnya menoleh ke arahku.
“Ya..”
“Vin, ini aku, Ify..”
Dia tersenyum, sesuatu yang membuatku tambah yakin bahwa ini dirinya. “Maaf, tapi gue enggak kenal sama lo..”
Aku membeku. Ku lepaskan tanganku dari tangannya, aku berjalan mundur, tubuhku serasa limbung. Hingga akhirnya tanpa aku sadar, aku menabrak orang lain di belakangku. Dan aku terpaku, menatapnya. Suara keramaian yang tadi sangat nyata, kini malah seperti dengungan memekakkan telinga. Aku merasa sendiri, dan sama sekali tidak mengerti.
***
Entah sudah untuk keberapa kalinya. Aku kembali mengamati wajah laki-laki di depanku ini lekat-lekat. Berjuta-juta persen, aku yakin ia Alvin, dan ia memang Alvin, ia mengaku itu. Tapi bukan Alvinku, ia tidak mengenaliku. Dan aku tidak mengerti kenapa.
“Kamu beneran enggak kenal sama aku ?” tanyaku lagi. Lebih dari yang kesepuluh kalinya.
“Harus gue jawab berapa kali sih, gue sama sekali enggak kenal sama elo, maaf..”
Aku tersenyum lirih. Entah untuk alasan bodoh macam apa, tapi aku memintanya untuk duduk bersamaku di sebuah restaurant. Aku masih tidak percaya, sama sekali tidak percaya. Aku rasa hanya ada satu Alvin, dan itu Alvinku.
“Tapi lo perlu tahu satu, gue ini seorang penderita amnesia..”
“Vin..”
“Dan gue enggak ada niatan sama sekali, untuk minta ingatan gue kembali lagi”
Seperti ada Zeus yang sedang menghunuskan petirnya ke dadaku, aku tidak bisa berkata-kata untuk apapun. Mati rasa. Tidak mengerti, mengapa orang yang sekian tahun ini ingin aku temui, terasa begitu berbeda dan tidak aku kenali, bahkan tidak mengenaliku.
“Ke..kenapa..?” tanyaku terbata.
“Kata beberapa orang, masa lalu gue enggak begitu bahagia, gue seorang anak broken home yang sering di hajar sama bokap gue sendiri. Tapi sekarang, gue udah tinggal sama nyokap, gue lebih bahagia di kehidupan kedua gue ini..itu sebabnya gue enggak mau tahu tentang yang dulu..”
“Tapi aku sahabat kamu di masa lalu, aku sayang sama kamu” ujarku lirih, sambil menunduk, tidak berani menatapnya, tidak ingin menangis di depan orang asing yang benar-benar tidak aku kenali sama sekali.
“Maaf kalau gue ngecewain lo, tapi ini pilihan gue. Dan kalau apa yang lo bilang tadi benar, kalau kita memang sahabat, ada baiknya, elo nerima keputusan gue..”
Aku mengangkat wajahku, menghapus air mata yang terlanjur menetes, dan menatapnya. “Hai Alvin, boleh kita kenalan ? aku Ify..” sambil tersenyum, aku mengulurkan tanganku.
“Boleh..gue Alvin..” balasnya sambil tersenyum juga, dan menerima uluran tanganku.
Dan kehangatan tangannya masih sama seperti dulu.
Seperti dulu.
***
Ia benar-benar berubah. Namanya saja yang tetap Alvin. Tapi keseluruhannya berubah, aku rasa, ia bukan saja amnesia tapi telah mengganti nyawanya dengan roh orang lain.
Ilmu psikologiku sama sekali tidak mempan padanya. Ia begitu patuh untuk menjalani prinsipnya yang memetakan perih tak terhingga di jiwaku. Ia telah membungkus rapat cerita lalunya, dan membuangnya ke tempat sampah tanpa niatan untuk sekedar menengoknya sedikit.
Dan aku ? aku mencoba mengikutinya. Berharap dapat menembus barikade pertahanan supernya. Meski itu kini jelas telah terlihat sebagai sebuah kesia-siaan semata. Ini hari terakhir aku disini, dan ia sama sekali tidak pernah bertanya bagaimana kisah kita dulu.
Seolah telah menjadi rutinitasku, hari ini aku kembali menunggunya di tempat yang sama, tempat pertama kali akhirnya aku bertemu dengan ia yang baru.
Sudah hampir setengah jam, dan ia belum juga datang. Padahal tiga jam lagi, aku harus ke stasiun. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja, sembari menunggu kehadirannya.
“Maaf gue terlambat..”
“Enggak masalah, aku cukup seneng, seminggu ini kamu enggak keberatan buat nemenin aku disini..”
“Senang punya teman baru kaya lo..”
Teman baru ? hei..kita sudah kenal sejak lima tahun yang lalu. Dan kamu menganggap, kita baru kenal satu minggu ini.
“Aku mau pulang ke Jogja..”
“Oh ya ?”
“Dulu, waktu aku mau berangkat kesana untuk pertama kalinya, kamu enggak datang, padahal aku sangat berharap sama kehadiran kamu, yang baru kemarin juga tahu, kalau pada saat itu kamu kecelakaan..”
“Fy, tolong jangan bahas yang udah lewat..”
“Waktu itu, aku mau bilang ke kamu, kalau aku juga sayang sama kamu, aku nyesel nolak kamu malam itu, aku nyesel enggak sadar sama perasaan aku sendiri saat itu..bener-bener nyesel..” tanpa menggubris interupsinya, aku meneruskan kalimatku.
“Dan sekarang ternyata semua kaya gini, kamu bahagia dengan apa yang kamu punya sekarang, memang kesempatan enggak akan datang dua kali..pelajaran paling berharga yang aku ambil dari semua ini..maaf kalau seminggu ini aku ngerecokkin kamu terus, aku pikir, tadinya pasti ada sebuah sisi di dalam diri kamu yang, meski kecil tapi ingin tahu tentang siapa kamu di masa lalu. Tapi aku salah, kamu memang udah punya kehidupan baru, dan aku enggak berhak untuk narik kamu mundur lagi..meski harus dari awal...tapi biarin aku untuk memulai semuanya...pertemanan dan mungkin persahabatan kita..”
Alvin tersenyum, ia meletakkan sebuah kertas yang ia ambil dari saku jaketnya, dan kemudian mendorongnya ke arahku.
“Apa ini ?”
“Baca aja..” ujarnya, sambil mengendikkan dagunya.
Sebuah puisi. Itu yang aku tangkap, ketika menemukan bait-bait yang tertata rapi dalam tulisannya, yang ternyata masih sama.
Pagi pasti berubah malam
Tapi tidak untuknya
Cuaca pasti berubah
Tapi tidak untuknya
Aku menapaki waktu, berjalan maju
Aku mematahkan waktu, berlari mundur
Dia berdiri dan waktu mendorongnya maju
Tetapi waktu tak bisa mengalahkan tegar dirinya
Pagiku paginya
Siangku paginya
Malamku tetap paginya
Seperti terbawa mesin waktu
Yang membuatku tertawa kecil
Kehidupan masa lalu
Kehidupan masa sekarang
Aku membisu
Aku membatu
Diam, takjub, heran
Aku takut, takut kalau aku bukan aku
Rangkaian kalimat menjadi sebuah cerita
Rangkaian cerita menjadi sebuah kalimat
Aku paham sekarang
Bahasa terindahpun tak bisa mengalahkannya
seperti terbangun dari tidur panjang
Memori..memori..memori
Mungkin aku bukan aku
Tapi dia tetap dia
Aku sadar akan hal itu
Aku yang bukan aku
Mungkin akan merubah dia yang tetap dia
Akan merubah pagi jadi malam atau malam jadi pagi
Itu ketakutanku
Ketakutanku akan waktu
Maaf.
“Maksudnya apa Vin ?”
“Semenjak lo datang, dengan segala ketegaran lo untuk mencoba mengajak gue balik dalam cerita yang pernah kita laluin sama-sama, gue sadar, mungkin keputusan gue ini cukup sepihak, gue hidup tujuh belas tahun dalam masa lalu gue, dan baru tiga tahun dalam hidup gue yang baru..pastinya lebih banyak yang berarti dalam tujuh belas tahun itu. Tapi sekali lagi, ini apa yang memang pengen gue jalanin..dan gue cukup berterimakasih atas pengertian lo, dan maaf yang sebesar-besarnya, kalau gue nyakitin elo..”
Ingin rasanya aku berkata-kata, tapi yang terjadi hanyalah, sebuah senyum kecil yang aku persembahkan untuknya.
Masa lalu kami memang terhapus, tak bersisa. Dan aku menyesalinya, tak ku pungkiri itu. Terlalu banyak pengandaian yang tersebar dalam otakku dan ingin tersampaikan untuknya. Untuk mengulang semuanya.
Tapi setidaknya sekarang aku tahu satu, aku tidak akan menyiakan apa yang memang harusnya menjadi milikku. Semua benar..
Kesempatan emas hanya datang satu kali. Sekali kita menolaknya, maka perlu dimulai dari awal lagi untuk mendapatkannya kembali.
TAMAT
Hmmm...sepertinya cerpen ini aneh bin ancur banget enggak sih ??
Kalau ada yang mau mengkritik cerita ini, aku terima dengan senang hati lhoo..secara ya aku sadar banget ini cerpen gagal total..
Dan, terimakasih yang sebesar-besarnya besar buat PANJI TAMA WIBISENA yang udah bersedia minjemin puisinya yang ada di cerita ini..tengkiuuu so muchh ya hehe..maaf kalau enggak sesuai sama isi yang lo maksud (-.-v)
Dan juga buat semua yang mau meluangkan waktunya buat baca, apalagi komen hehehe..
Ini tentangnya dan masih tentangnya, seperti biasa. Ia yang selalu membuatku rapuh dan lemah. Ketika mengingat senyumnya, ketika merasakan sentuhannya, ketika ia datang dalam mimpi-mimpi malam, maka saat itu juga, air mataku dapat tumpah, tanpa terbendung sedikitpun.
Satu..dua..tiga..iya ini tahun ketiga. Tahun ketiga dimana kamu meninggalkan aku dengan tiba-tiba, tanpa pamit, tanpa pesan, tanpa pernah aku mengerti kamu dimana dan kenapa. Tapi rasa ini tidak pernah selesai. Selalu saja mengenang bahkan berharap, masa itu akan kembali, setidaknya, kamu akan datang, ke tempat dimana kita pernah bersama-sama, dan menghabiskan waktu.
Dan tempat ini. Tempat yang aku pijaki sekarang. Kelas kosong, berhias dua papan tulis yang menggantung diam di sana, dan deretan bangku serta meja yang menatapku, seolah bertanya, apa yang sedang aku lakukan disini ?
Aku mendekat. Meja nomor tiga dari depan, di barisan sebelah kiri. Seandainya kamu ada disini, ingatkah kamu, ini meja kita. Dengan ujung-ujung jariku, aku merabanya, meski yang kurasakan hanya sentuhan debu-debu kotor. Tapi tetap saja, ia saksi bisu kita, saksi bisu ketika semua cerita tertoreh dan kemudian luruh dalam hidupku.
***
Tiga tahun lalu.
Suasana begitu hening, amat sangat hening. Tangan-tangan saling bertaut satu sama lain, mencoba menenangkan dan saling mentransfer energi positif satu sama lain. Tinggal beberapa menit lagi, dan segala perjuangan tiga tahun ini akan segera mencapai garis akhir. Dan tentu saja semua yang ada di ruangan ini berharap, akhir yang bahagia.
“Selamat pagi siswa-siswi yang bapak cintai dan banggakan..”
Sapaan Pak Wisnu, kepala sekolah kami, sama sekali tidak kami hiraukan. Hanya sedikit yang menjawab, sementara sisanya memilih diam, melantunkan doa-doa penenang dalam hati. Begitu juga denganku.
“Baiklah, karena bapak sudah melihat wajah-wajah tegang di sini, akan bapak umumkan langsung saja..”
Suara degup jantung kencang nyaris tak beraturan, secara ajaib, terdengar dengan jelas memenuhi sudut-sudut aula.
“Dengan bangga bapak sampaikan, angkatan dua puluh delapan, baik yang di penjurusan ipa ataupun ips, lulus seratus persen !”
“Alhamdullilah !!”
“WOII..GUE LULUS !!”
“Njir, gue anak kuliah sekarang !!”
“AHHH LULUS..KITA LULUS !!!”
Segala macam teriakan, ungkapan kebahagiaan langsung bergema dimana-mana. Ekspresi-ekspresi yang tidak mampu di lukiskan hanya dengan kata-kata biasa. Setelah tiga tahun berjibaku dalam putih abu-abu yang memang abu-abu, setelah hampir satu tahun belakangan ini kami semua larut dalam beribu-ribu soal, pelajaran tambahan, try out, hingga bimbingan belajar. Maka hari ini, dengan bangga aku katakan, aku baru saja menutup satu lagi bukuku, untuk kutapaki cerita yang baru, tidak lagi hanya sebagai siswa biasa, tapi telah menjadi maha.
“Fy..lulus Fy, kita lulus Fy..” Shilla berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Bagian dari tangisan haru.
“Iya Shil, lulus, kita anak kuliahan sekarang !” sambungku bangga, dan langsung memeluknya. Kami berdua berpelukkan erat, sangat erat. Karena di balik kebahagiaan ini, kami juga mengerti, perpisahan tampak nyata menatap langkah di depan kami.
“Ehem..”
Aku dan Shilla saling melepaskan pelukan satu sama lain, kami kenal betul, suara siapa yang mengganggu euforia kami berdua. Tepat di hadapan kami, berdiri Alvin dan Rio, yang juga sedang menyunggingkan senyum kebahagiaan ciri khas mereka masing-masing. Dan tanpa aba-aba dari siapapun, aku dan Shilla, langsung kompak memeluk laki-laki di hadapan kami itu. Aku memeluk Alvin, sementara Shilla memeluk Rio.
Bukan. Alvin bukan pacarku. Dan jangan tanya kenapa, kenapa saat itu aku memilih untuk memeluknya. Itu sungguh-sungguh tanpa alasan. Bukan juga karena ia teman sebangkuku.
Karena bila diingat, sepertinya tubuhku sendirilah yang ingin mendekap tubuhnya. Entah untuk alasan apa.
*
Kesenangan pengumuman kelulusan itu, tidak berlangsung lama. Aku dan teman-teman seangkatanku mulai sibuk lagi larut dalam persiapan kami semua untuk menghadapi snmptn. Gerbang keputusan yang akan menentukan nasib kami selanjutnya.
Dan aku begitu semangat mengerjar impianku. Menjadi seorang yang bisa berguna di masyarakat adalah hal yang menjadi prinsipku. Oleh sebab itu, aku membulatkan tekadku untuk bisa masuk dalam jurusan psikologi. Aku harus bisa !
Satu-satunya penghibur yang terselip dalam sederet kegiatan detik-detik menjelang snmptn, adalah prom night. Aku akan datang bersama Alvin. Dia mengajakku kemarin, dan tanpa pikir panjang aku tentu saja langsung mengiyakannya. Dan kalau ada yang bertanya lagi apa alasanku, aku masih belum benar-benar mengerti.
Suara deru mesin mobil terdengar dari depan rumahku, buru-buru aku membuka pintu, untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin ? naik mobil ?” tanyaku bingung, belum pernah tiga tahun ini aku berteman dengannya, melihat Alvin menyetir mobil, biasanya ia selalu setia dengan motor bebek hitamnya.
“Hehe..minjem bokap, abis masa gue mau jemput cewek cantik naik motor, kasian di elonya lah..mana lo pakai dress gitu lagi..” ujarnya sambil menunjukku.
“Ohh hehe..ya udah, ayo masuk, gue ambil tas dulu di kamar..” ajakku sambil menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumahku. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, akhirnya aku dan dia bergegas untuk pergi ke prom night di sekolahku.
Tanpa janjian, aku dan Alvin tampak begitu serasi. Aku menggunakan tube dress berwarna hitam dengan cutting asymetris di bagian bawahnya, dan Alvin tampak santai di balik kemeja putih dan blazer hitamnya yang ia gulung hingga ke siku.
“Lo udah jago kan Vin nyetirnya ?” tanyaku polos, tepat ketika Alvin mulai menghidupkan mobil dan menggeser persenelingnya.
Ia terkekeh, dan menatapku. “Kalau gue enggak bisa nyetir, enggak akan deh gue bawa anak orang naik mobil malam-malam kaya gini..”
“Ya kan, gue masih mau hidup panjang Vin..hehe..masih mau ikutan snmptn nih gue..”
“Snmptn daftar apa aja ?”
“UI sama UGM..hehe..”
“Hmm..tahu deh yang pinter, semoga jebol salah satunya yaa..” ujarnya sambil mengelus rambutku pelan. Dan aku sangat menikmati belaiannya ini.
“Amin !! doain gue ya Vin..”
“Selalulah Fy..”
“Makasih..”
“Seandainya lo masuknya ke UGM, berarti lo bakal pergi dong dari Jakarta ?”
“Ya iyalah Vin, masa iya gue mau kuliah jarak jauh, mana bisa..” tukasku, entah polos atau bodoh. Yang jelas, Alvin kembali terkekeh.
“Haha iya-iya..maksud gue, err....berarti lo bakal ninggalin gue, ninggalin Shilla, Rio..”
“Rio kan mau ke ITB, elo juga mau ke UNPAD kan ? kita semua pergi kali dari Jakarta kecuali Shilla..”
“Lo percaya sama long distance nggak Fy ?”
Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan Alvin. “Kok elo enggak nyambung sih Vin ?”
“Hahaha..iyaya ? lupain aja deh..” kilahnya, kemudian terdiam, dan menatap jalan di depannya. Dan akupun begitu.
Anggaplah saat itu aku tidak peka, tapi percayalah, aku benar-benar tidak mengerti maksud pertanyaannya saat itu. Dan di tahun-tahun ke depan, itu seperti sebuah kerikil kecil yang menyeret penyesalan dalam hidupku.
Tidak begitu banyak hal penting yang terjadi malam itu, yang aku ingat hanyalah, sepanjang prom night aku dan Alvin terus berdansa berdua. Tanpa ikatan, di balik persahabatan kami, tanpa kata-kata, aku dan dia menikmati semuanya.
Sekeping kenangan yang ternyata tertoreh dalam di kemudian hari.
*
Aku nyaris tak berkedip menatap layar laptopku. Dan sejurus kemudian, sebuah senyum kelegaan, bercampur kebahagiaan dan kebanggaan tak terkira terpeta di bibirku.
Psikologi, UGM. Ya, aku lolos !
“Mama..aku ke UGM ma !!” teriakku masih enggan bangkit dari depan laptopku, masih ingin menatap pengumuman itu. Meski hanya sebaris kalimat. Namun kalimat yang membuncahkan sejuta kebahagiaan dalam hati.
“Drrtt..drrrttt...”
“Halo, gimana Fy ?” suara Alvin langsung menyapaku. Bisa ku tebak, ia juga sedang mendapatkan berita terbaiknya.
“UGM Vin, gue ke jogja..kampus biru hahaha..”
“Congrats yaa..”
“Makasih Alvin...lo sendiri gimana ?”
“Menurut lo gimana ?”
“Pasti lolos, iyakan ?”
“Hehehe..temen lo jadi calon dokter gigi nih Fy”
“Ahh Alvin, selamat ya selamat !! asik deh, entar gue bisa periksa gigi gratis..haha..”
“Woo..eh, ntar malem ada acara enggak ?”
“Enggak, kenapa ?”
“Entar gue ke rumah lo ya ?”
“Oke, gue tunggu, jam berapa ?”
“Jam tujuh mungkin, ya udah deh, sekali lagi selamat ya, awas jangan ikutan stres sama pasien lo entar..hahaha..”
“Si...”
Klik. Belum sempat aku membalas kata-katanya, Alvin telah terlanjur menutup telponnya. Hah, rasanya kebahagianku menjadi tambah berlipat ganda. Dan sekarang, aku malah menjadi mengira-ngira, untuk apa ya Alvin datang ke rumahku nanti malam. Adakah hal yang ingin ia sampaikan ?
Ahh, aku jadi penasaran.
*
Dan ia berdiri di hadapanku sekarang, terlambat dari waktu yang ia bilang. Ini sudah jam sembilan malam, sudah sejak dua jam lalu aku menunggunya, ia datang dengan wajahnya yang babak belur. Tanpa perlu bertanya, aku juga mengerti, apa yang terjadi dengannya.
Tiga tahun bersahabat. Dan satu tahun duduk bersama, membuat aku sangat mengerti dengan apa yang sering Alvin alami.
“Ada apa Vin ?”
Dia tersenyum lirih ke arahku. Hanya tersenyum di tempatnya, tanpa melanjutkan langkahnya. Dia berhenti, dan akhirnya aku yang maju. Menujunya yang berdiri di halaman rumahku.
“Vin, ada yang bisa aku bantu ?”
Ia langsung memelukku. Untuk alasan yang aku mengerti tapi tidak ku ketahui sepenuhnya. Aku melingkarkan tanganku di punggungnya, menepuk-nepuknya, mencoba menghibur speerti layaknya seorang sahabat.
Untuk beberapa saat, kami menelan waktu dalam pelukan ini. Tidak peduli pada ketukan detik yang terpacu cepat. Tangan Alvin semakin memelukku erat. Aku sama sekali tidak memberontak atau risih karenanya. Aku ingin menjadi orang yang menenangkannya, dan itu aku sekarang.
Nada-nada alam dari ketukan air yang menyentuh tanah dalam hujan yang tiba-tiba, mengguyur kami, yang tetap saja, saling berpelukan satu sama lain.
Tubuhku mulai basah, rasa dingin mulai merasukiku. Tapi aku benar-benar tidak ada niatan untuk meminta Alvin melepaskan pelukannya. Ada yang bergetar dalam hati ini, sesuatu yang tidak aku kenal, sesuatu yang baru namun terasa begitu nyata. Teduh dan hangat, bahkan meski gemericik hujan semakin deras tertumpah dari langit nan membentang.
Apa yang terjadi padaku ?
“Fy..” untuk pertama kalinya, sejak kedatangannya, akhirnya bibir itu terbuka.
“Ya ?”
“Gue sayang sama lo..”
*
Hiruk pikuk yang terjadi di stasiun ini, sama sekali tidak menyurutkan air mataku untuk mengalir sederas-derasnya. Tinggal dua puluh menit lagi, sebelum kereta dengan gerbong abu-abunya itu akan membawa tubuhku ke Jogja, kota dimana aku akan menapaki langkah baruku.
“Fy..” Shilla terisak di hadapanku, membuat aku juga terus menangis.
“Ahh Shilla..jangan bikin gue berat dong..” aku kembali memeluk sahabatku itu. Ternyata berpisah tak semudah kelihatannya.
Sahabat adalah kepingan jiwa, terasa seperti mati rasa ketika harus meninggalkannya.
“Fy, take care ya..” ujar Rio tersenyum ke arahku, dan menepuk kepalaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk. Ada yang lebih menyakitkan dari perpisahan sementara ini. Ketidak hadirannya.
Alvin, entahlah ada dimana ia saat ini.
“Alvin marah ya Yo sama gue, karena gue nolak dia ?” tanyaku pelan, tidak melihat Rio, melainkan melihat ke arah pintu masuk stasiun, berharap dapat menemukan sosoknya sedang berjalan ke arahku.
“Gue juga enggak tahu, gue juga enggak bisa ngehubungin dia dari tadi pagi, tapi gue rasa Alvin enggak akan marah sama lo..”
“Tapi dia enggak datang sekarang..” desahku, yang entah mengapa harus kecewa.
“Fy, ayo naik, sebentar lagi keretanya berangkat..” mama mengingatkanku. Aku menghela nafas, ingin menahan waktu, dan menunggu Alvin untuk datang, meski itu tidak mungkin bisa.
Masih dengan air mata berurai, aku memeluk Shilla lagi, hanya saja lebih singkat kali ini, memeluk Rio, dan kemudian berbalik mengikuti mama yang berjalan di depanku. Sebelum naik, lagi-lagi aku menyempatkan diri untuk menoleh ke titik itu, tempat yang aku pandang dengan bias harap bercampur nanar. Ia tetap tidak hadir, sama sekali tidak.
“Nanti kan kalau liburan kamu juga bakalan pulang Fy, udah ah nangisnya..” tegur mama, setengah menasihati. Aku hanya tersenyum.
Kereta mulai berjalan. Perlahan, meninggalkan kota ini, meninggalkan gedung-gedung beton pencakar langit yang sering ku lihat setiap hari. Meninggalkan semuanya.
Dan ia tetap tak nampak. Menghilang. Benar-benar menghilang.
***
Reflek, aku langsung menghapus setitik air mata yang jatuh tanpa kendaliku. Mengingat tentangnya selalu membuatku seperti ini. Aku berdiri dari bangku, yang dulu merupakan bangkuku, untuk sekejap, aku menoleh menatap kursi kosong yang ada tepat di samping kananku. Tempatnya dulu duduk.
Alvin, ada dimana kamu ?
Ya, tiga tahun berlalu, dan aku tetap tidak mengetahuinya. Dan sepertinya memang tidak ada yang mengetahuinya. Rumahnya pindah. Nomornya tidak lagi aktif, sehari setelah keberangkatanku ke Jogja waktu itu. Ia lenyap, tak bersisa.
Dan aku ?
Yang terlalu bodoh ini. Baru menyadari satu hal. Aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Tidak ingin terlalu lama ada disini, aku buru-buru beranjak pergi. Lagipula, aku telah membuat janji dengan Rio dan Shilla untuk makan siang bersama.
Di sebuah kafe, di bilangan tebet. Aku menunggu kehadiran mereka berdua. Sesaat ku amati sekelilingku, semua telah berubah. Kota ini berubah terlalu banyak. Dan sayangnya aku tidak di ajak serta dalam perubahan itu. Aku terbenam dalam cerita masa lalu yang aku sesali.
Hidup itu pilihan, termasuk juga sebuah penyesalan.
“IFY !!..ahhh gue kangen !” Shilla langsung menghambur, memelukku, sementara Rio berjalan di belakangnya.
“Gue juga !! haha..liburan semester kemarin gue juga balik ya..”
“Hei Yo, lo tambah item aja ..haha..” sambungku, sambil menjabat erat tangan Rio.
“Iya nih, gue abis pkl Fy..”
“Kemana ?”
“Chevron di Minas..”
“Sumpah lo bisa pkl disana ? ahh keren banget ! ehem..sahabat gue mau jadi tukang minyak, entar kalau udah tajir jangan lupa sama gue, oke..”
Rio dan Shilla hanya terkekeh menyaksikkan tingkahku. Dua sahabatku ini, bisa dibilang adalah contoh pasangan yang wajib ditiru, berpacaran sejak kelas dua sma, berlanjut hingga kuliah sekarang meski tol cipularang memisahkan mereka, namun keduanya tetap saja bisa menjaga kekompakkan untuk menjaga hubungan mereka.
Dan layaknya sebuah persahabatan, kami bertiga mulai asik menceritakan setiap detail pengalaman yang telah kami lalui, apapun itu. Meski terasa ada yang kurang, karena ia tidak ada disini.
Alvin, bisakah kamu kembali ?
“Yo..elo beneran enggak tahu, Alvin ada dimana ?” tanyaku pelan. Setiap bertemu, aku selalu menanyakan ini. Dan bisa saja kan, Rio mulai jengah dengan sikapku ini.
“Fy..gue sama Rio selalu berusaha buat nyari keberadaannya Alvin, kita juga mau ketemu sama dia, tapi ya kaya yang lo lihat, dia enggak meninggalkan jejak sedikitpun buat kita lacak..” Shillalah yang menjawab pertanyaanku. Dan aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar jawabannya.
Ia seperti menyatu dengan udara, yang menghilang tanpa jejak, tapi ke alpaannya begitu hebat terasa.
***
Seminggu terakhir, sebelum aku kembali ke Jogja. Rio sudah kembali ke Bandung dan Shilla sedang ada acara di kampusnya. Tidak ada kerjaan di rumah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan, sekedar menyegarkan mata.
Aku memasuki sebuah mall di jantung ibu kota, gedungnya yang unik, seperti balok-balok kotak yang miring serta warna dindingnya yang begitu ceria dan berwarna-warni. Berjalan sendirian tanpa tujuan, membuatku hanya mengelilingi tempat ini tanpa jeda.
Hingga langkahku terhenti, dan tubuhku bergetar hebat.
Aku melihatnya. Dan aku yakin itu dia.
Alvin.
Tanpa mengulur waktu, aku mengejarnya, membiarkan wedgesku menghentak lantai dengan brutal. Tak menghiraukan orang-orang lain yang menatapku bingung.
“Alvin..” dan tanpa malu-malu, aku mencekal pergelangan orang itu. Membuatnya menoleh ke arahku.
“Ya..”
“Vin, ini aku, Ify..”
Dia tersenyum, sesuatu yang membuatku tambah yakin bahwa ini dirinya. “Maaf, tapi gue enggak kenal sama lo..”
Aku membeku. Ku lepaskan tanganku dari tangannya, aku berjalan mundur, tubuhku serasa limbung. Hingga akhirnya tanpa aku sadar, aku menabrak orang lain di belakangku. Dan aku terpaku, menatapnya. Suara keramaian yang tadi sangat nyata, kini malah seperti dengungan memekakkan telinga. Aku merasa sendiri, dan sama sekali tidak mengerti.
***
Entah sudah untuk keberapa kalinya. Aku kembali mengamati wajah laki-laki di depanku ini lekat-lekat. Berjuta-juta persen, aku yakin ia Alvin, dan ia memang Alvin, ia mengaku itu. Tapi bukan Alvinku, ia tidak mengenaliku. Dan aku tidak mengerti kenapa.
“Kamu beneran enggak kenal sama aku ?” tanyaku lagi. Lebih dari yang kesepuluh kalinya.
“Harus gue jawab berapa kali sih, gue sama sekali enggak kenal sama elo, maaf..”
Aku tersenyum lirih. Entah untuk alasan bodoh macam apa, tapi aku memintanya untuk duduk bersamaku di sebuah restaurant. Aku masih tidak percaya, sama sekali tidak percaya. Aku rasa hanya ada satu Alvin, dan itu Alvinku.
“Tapi lo perlu tahu satu, gue ini seorang penderita amnesia..”
“Vin..”
“Dan gue enggak ada niatan sama sekali, untuk minta ingatan gue kembali lagi”
Seperti ada Zeus yang sedang menghunuskan petirnya ke dadaku, aku tidak bisa berkata-kata untuk apapun. Mati rasa. Tidak mengerti, mengapa orang yang sekian tahun ini ingin aku temui, terasa begitu berbeda dan tidak aku kenali, bahkan tidak mengenaliku.
“Ke..kenapa..?” tanyaku terbata.
“Kata beberapa orang, masa lalu gue enggak begitu bahagia, gue seorang anak broken home yang sering di hajar sama bokap gue sendiri. Tapi sekarang, gue udah tinggal sama nyokap, gue lebih bahagia di kehidupan kedua gue ini..itu sebabnya gue enggak mau tahu tentang yang dulu..”
“Tapi aku sahabat kamu di masa lalu, aku sayang sama kamu” ujarku lirih, sambil menunduk, tidak berani menatapnya, tidak ingin menangis di depan orang asing yang benar-benar tidak aku kenali sama sekali.
“Maaf kalau gue ngecewain lo, tapi ini pilihan gue. Dan kalau apa yang lo bilang tadi benar, kalau kita memang sahabat, ada baiknya, elo nerima keputusan gue..”
Aku mengangkat wajahku, menghapus air mata yang terlanjur menetes, dan menatapnya. “Hai Alvin, boleh kita kenalan ? aku Ify..” sambil tersenyum, aku mengulurkan tanganku.
“Boleh..gue Alvin..” balasnya sambil tersenyum juga, dan menerima uluran tanganku.
Dan kehangatan tangannya masih sama seperti dulu.
Seperti dulu.
***
Ia benar-benar berubah. Namanya saja yang tetap Alvin. Tapi keseluruhannya berubah, aku rasa, ia bukan saja amnesia tapi telah mengganti nyawanya dengan roh orang lain.
Ilmu psikologiku sama sekali tidak mempan padanya. Ia begitu patuh untuk menjalani prinsipnya yang memetakan perih tak terhingga di jiwaku. Ia telah membungkus rapat cerita lalunya, dan membuangnya ke tempat sampah tanpa niatan untuk sekedar menengoknya sedikit.
Dan aku ? aku mencoba mengikutinya. Berharap dapat menembus barikade pertahanan supernya. Meski itu kini jelas telah terlihat sebagai sebuah kesia-siaan semata. Ini hari terakhir aku disini, dan ia sama sekali tidak pernah bertanya bagaimana kisah kita dulu.
Seolah telah menjadi rutinitasku, hari ini aku kembali menunggunya di tempat yang sama, tempat pertama kali akhirnya aku bertemu dengan ia yang baru.
Sudah hampir setengah jam, dan ia belum juga datang. Padahal tiga jam lagi, aku harus ke stasiun. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja, sembari menunggu kehadirannya.
“Maaf gue terlambat..”
“Enggak masalah, aku cukup seneng, seminggu ini kamu enggak keberatan buat nemenin aku disini..”
“Senang punya teman baru kaya lo..”
Teman baru ? hei..kita sudah kenal sejak lima tahun yang lalu. Dan kamu menganggap, kita baru kenal satu minggu ini.
“Aku mau pulang ke Jogja..”
“Oh ya ?”
“Dulu, waktu aku mau berangkat kesana untuk pertama kalinya, kamu enggak datang, padahal aku sangat berharap sama kehadiran kamu, yang baru kemarin juga tahu, kalau pada saat itu kamu kecelakaan..”
“Fy, tolong jangan bahas yang udah lewat..”
“Waktu itu, aku mau bilang ke kamu, kalau aku juga sayang sama kamu, aku nyesel nolak kamu malam itu, aku nyesel enggak sadar sama perasaan aku sendiri saat itu..bener-bener nyesel..” tanpa menggubris interupsinya, aku meneruskan kalimatku.
“Dan sekarang ternyata semua kaya gini, kamu bahagia dengan apa yang kamu punya sekarang, memang kesempatan enggak akan datang dua kali..pelajaran paling berharga yang aku ambil dari semua ini..maaf kalau seminggu ini aku ngerecokkin kamu terus, aku pikir, tadinya pasti ada sebuah sisi di dalam diri kamu yang, meski kecil tapi ingin tahu tentang siapa kamu di masa lalu. Tapi aku salah, kamu memang udah punya kehidupan baru, dan aku enggak berhak untuk narik kamu mundur lagi..meski harus dari awal...tapi biarin aku untuk memulai semuanya...pertemanan dan mungkin persahabatan kita..”
Alvin tersenyum, ia meletakkan sebuah kertas yang ia ambil dari saku jaketnya, dan kemudian mendorongnya ke arahku.
“Apa ini ?”
“Baca aja..” ujarnya, sambil mengendikkan dagunya.
Sebuah puisi. Itu yang aku tangkap, ketika menemukan bait-bait yang tertata rapi dalam tulisannya, yang ternyata masih sama.
Pagi pasti berubah malam
Tapi tidak untuknya
Cuaca pasti berubah
Tapi tidak untuknya
Aku menapaki waktu, berjalan maju
Aku mematahkan waktu, berlari mundur
Dia berdiri dan waktu mendorongnya maju
Tetapi waktu tak bisa mengalahkan tegar dirinya
Pagiku paginya
Siangku paginya
Malamku tetap paginya
Seperti terbawa mesin waktu
Yang membuatku tertawa kecil
Kehidupan masa lalu
Kehidupan masa sekarang
Aku membisu
Aku membatu
Diam, takjub, heran
Aku takut, takut kalau aku bukan aku
Rangkaian kalimat menjadi sebuah cerita
Rangkaian cerita menjadi sebuah kalimat
Aku paham sekarang
Bahasa terindahpun tak bisa mengalahkannya
seperti terbangun dari tidur panjang
Memori..memori..memori
Mungkin aku bukan aku
Tapi dia tetap dia
Aku sadar akan hal itu
Aku yang bukan aku
Mungkin akan merubah dia yang tetap dia
Akan merubah pagi jadi malam atau malam jadi pagi
Itu ketakutanku
Ketakutanku akan waktu
Maaf.
“Maksudnya apa Vin ?”
“Semenjak lo datang, dengan segala ketegaran lo untuk mencoba mengajak gue balik dalam cerita yang pernah kita laluin sama-sama, gue sadar, mungkin keputusan gue ini cukup sepihak, gue hidup tujuh belas tahun dalam masa lalu gue, dan baru tiga tahun dalam hidup gue yang baru..pastinya lebih banyak yang berarti dalam tujuh belas tahun itu. Tapi sekali lagi, ini apa yang memang pengen gue jalanin..dan gue cukup berterimakasih atas pengertian lo, dan maaf yang sebesar-besarnya, kalau gue nyakitin elo..”
Ingin rasanya aku berkata-kata, tapi yang terjadi hanyalah, sebuah senyum kecil yang aku persembahkan untuknya.
Masa lalu kami memang terhapus, tak bersisa. Dan aku menyesalinya, tak ku pungkiri itu. Terlalu banyak pengandaian yang tersebar dalam otakku dan ingin tersampaikan untuknya. Untuk mengulang semuanya.
Tapi setidaknya sekarang aku tahu satu, aku tidak akan menyiakan apa yang memang harusnya menjadi milikku. Semua benar..
Kesempatan emas hanya datang satu kali. Sekali kita menolaknya, maka perlu dimulai dari awal lagi untuk mendapatkannya kembali.
TAMAT
Hmmm...sepertinya cerpen ini aneh bin ancur banget enggak sih ??
Kalau ada yang mau mengkritik cerita ini, aku terima dengan senang hati lhoo..secara ya aku sadar banget ini cerpen gagal total..
Dan, terimakasih yang sebesar-besarnya besar buat PANJI TAMA WIBISENA yang udah bersedia minjemin puisinya yang ada di cerita ini..tengkiuuu so muchh ya hehe..maaf kalau enggak sesuai sama isi yang lo maksud (-.-v)
Dan juga buat semua yang mau meluangkan waktunya buat baca, apalagi komen hehehe..
Senin, 03 Januari 2011
pssttt..ini rahasia :p
suatu hari nanti, meski mungkin ini muluk, atau terlalu tinggi, tapi gue pengen ada nama gue tertera di sebuah sampul novel terpajang di rak toko buku..
suatu saat nanti, meski mungkin ini imajinasi, atau khayalan anak-anak, tapi gue mau menghasilkan sesuatu lewat tulisan gue yang diterbitin sama sebuah percetakan besar..
suatu waktu nanti, meski mungkin ini arogant, atau impian yang bodoh, tapi gue harap gue bisa jadi salah satu dari segelintir orang yang memilih profesi sebagai penulis..
dan langkah itu, di mulai dari sini..dari harapan-harapan dalam angan, yang tertuang meski baru dalam 74 lembar yang masih membutuhkan banyak waktu untuk selesai..
meski ini nekat, karena gue mau menghadapi ujian, tapi mimpi enggak bisa dihentikan begitu saja kan ?
terimakasih untuk segala semangat serta doa, yang terlontar dan mengiringi langkah tangan ini menggoreskan kata..dan berharap itu masih akan terus berlanjut..
mungkin ini terlalu dini, tapi kaki kecil ini telah berniat untuk melangkah sekuat tenaga..
-cheers-
suatu saat nanti, meski mungkin ini imajinasi, atau khayalan anak-anak, tapi gue mau menghasilkan sesuatu lewat tulisan gue yang diterbitin sama sebuah percetakan besar..
suatu waktu nanti, meski mungkin ini arogant, atau impian yang bodoh, tapi gue harap gue bisa jadi salah satu dari segelintir orang yang memilih profesi sebagai penulis..
dan langkah itu, di mulai dari sini..dari harapan-harapan dalam angan, yang tertuang meski baru dalam 74 lembar yang masih membutuhkan banyak waktu untuk selesai..
meski ini nekat, karena gue mau menghadapi ujian, tapi mimpi enggak bisa dihentikan begitu saja kan ?
terimakasih untuk segala semangat serta doa, yang terlontar dan mengiringi langkah tangan ini menggoreskan kata..dan berharap itu masih akan terus berlanjut..
mungkin ini terlalu dini, tapi kaki kecil ini telah berniat untuk melangkah sekuat tenaga..
-cheers-
Langganan:
Postingan (Atom)