Minggu, 30 Januari 2011

ketika kemarin memudar (cerpen)

Aku mendesah perlahan, ketika nama itu, lagi dan lagi serasa berputar di kepalaku, memenuhi pikiranku hingga sesak, mengajak aku melayang menuju hari-hari yang telah terlewati. Sampai kapan ini akan berhenti, dan membiarkan aku sendiri. Rasa kangen yang selalu menelusup di balik kulitku dan memelukku erat, sesungguhnya sangat-sangat menyiksa dan membuatku tidak nyaman.



Ini tentangnya dan masih tentangnya, seperti biasa. Ia yang selalu membuatku rapuh dan lemah. Ketika mengingat senyumnya, ketika merasakan sentuhannya, ketika ia datang dalam mimpi-mimpi malam, maka saat itu juga, air mataku dapat tumpah, tanpa terbendung sedikitpun.


Satu..dua..tiga..iya ini tahun ketiga. Tahun ketiga dimana kamu meninggalkan aku dengan tiba-tiba, tanpa pamit, tanpa pesan, tanpa pernah aku mengerti kamu dimana dan kenapa. Tapi rasa ini tidak pernah selesai. Selalu saja mengenang bahkan berharap, masa itu akan kembali, setidaknya, kamu akan datang, ke tempat dimana kita pernah bersama-sama, dan menghabiskan waktu.


Dan tempat ini. Tempat yang aku pijaki sekarang. Kelas kosong, berhias dua papan tulis yang menggantung diam di sana, dan deretan bangku serta meja yang menatapku, seolah bertanya, apa yang sedang aku lakukan disini ?


Aku mendekat. Meja nomor tiga dari depan, di barisan sebelah kiri. Seandainya kamu ada disini, ingatkah kamu, ini meja kita. Dengan ujung-ujung jariku, aku merabanya, meski yang kurasakan hanya sentuhan debu-debu kotor. Tapi tetap saja, ia saksi bisu kita, saksi bisu ketika semua cerita tertoreh dan kemudian luruh dalam hidupku.


***


Tiga tahun lalu.


Suasana begitu hening, amat sangat hening. Tangan-tangan saling bertaut satu sama lain, mencoba menenangkan dan saling mentransfer energi positif satu sama lain. Tinggal beberapa menit lagi, dan segala perjuangan tiga tahun ini akan segera mencapai garis akhir. Dan tentu saja semua yang ada di ruangan ini berharap, akhir yang bahagia.


“Selamat pagi siswa-siswi yang bapak cintai dan banggakan..”


Sapaan Pak Wisnu, kepala sekolah kami, sama sekali tidak kami hiraukan. Hanya sedikit yang menjawab, sementara sisanya memilih diam, melantunkan doa-doa penenang dalam hati. Begitu juga denganku.


“Baiklah, karena bapak sudah melihat wajah-wajah tegang di sini, akan bapak umumkan langsung saja..”


Suara degup jantung kencang nyaris tak beraturan, secara ajaib, terdengar dengan jelas memenuhi sudut-sudut aula.


“Dengan bangga bapak sampaikan, angkatan dua puluh delapan, baik yang di penjurusan ipa ataupun ips, lulus seratus persen !”


“Alhamdullilah !!”


“WOII..GUE LULUS !!”


“Njir, gue anak kuliah sekarang !!”


“AHHH LULUS..KITA LULUS !!!”


Segala macam teriakan, ungkapan kebahagiaan langsung bergema dimana-mana. Ekspresi-ekspresi yang tidak mampu di lukiskan hanya dengan kata-kata biasa. Setelah tiga tahun berjibaku dalam putih abu-abu yang memang abu-abu, setelah hampir satu tahun belakangan ini kami semua larut dalam beribu-ribu soal, pelajaran tambahan, try out, hingga bimbingan belajar. Maka hari ini, dengan bangga aku katakan, aku baru saja menutup satu lagi bukuku, untuk kutapaki cerita yang baru, tidak lagi hanya sebagai siswa biasa, tapi telah menjadi maha.


“Fy..lulus Fy, kita lulus Fy..” Shilla berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Bagian dari tangisan haru.


“Iya Shil, lulus, kita anak kuliahan sekarang !” sambungku bangga, dan langsung memeluknya. Kami berdua berpelukkan erat, sangat erat. Karena di balik kebahagiaan ini, kami juga mengerti, perpisahan tampak nyata menatap langkah di depan kami.


“Ehem..”


Aku dan Shilla saling melepaskan pelukan satu sama lain, kami kenal betul, suara siapa yang mengganggu euforia kami berdua. Tepat di hadapan kami, berdiri Alvin dan Rio, yang juga sedang menyunggingkan senyum kebahagiaan ciri khas mereka masing-masing. Dan tanpa aba-aba dari siapapun, aku dan Shilla, langsung kompak memeluk laki-laki di hadapan kami itu. Aku memeluk Alvin, sementara Shilla memeluk Rio.


Bukan. Alvin bukan pacarku. Dan jangan tanya kenapa, kenapa saat itu aku memilih untuk memeluknya. Itu sungguh-sungguh tanpa alasan. Bukan juga karena ia teman sebangkuku.


Karena bila diingat, sepertinya tubuhku sendirilah yang ingin mendekap tubuhnya. Entah untuk alasan apa.


*


Kesenangan pengumuman kelulusan itu, tidak berlangsung lama. Aku dan teman-teman seangkatanku mulai sibuk lagi larut dalam persiapan kami semua untuk menghadapi snmptn. Gerbang keputusan yang akan menentukan nasib kami selanjutnya.


Dan aku begitu semangat mengerjar impianku. Menjadi seorang yang bisa berguna di masyarakat adalah hal yang menjadi prinsipku. Oleh sebab itu, aku membulatkan tekadku untuk bisa masuk dalam jurusan psikologi. Aku harus bisa !


Satu-satunya penghibur yang terselip dalam sederet kegiatan detik-detik menjelang snmptn, adalah prom night. Aku akan datang bersama Alvin. Dia mengajakku kemarin, dan tanpa pikir panjang aku tentu saja langsung mengiyakannya. Dan kalau ada yang bertanya lagi apa alasanku, aku masih belum benar-benar mengerti.


Suara deru mesin mobil terdengar dari depan rumahku, buru-buru aku membuka pintu, untuk melihat siapa yang datang.


“Alvin ? naik mobil ?” tanyaku bingung, belum pernah tiga tahun ini aku berteman dengannya, melihat Alvin menyetir mobil, biasanya ia selalu setia dengan motor bebek hitamnya.


“Hehe..minjem bokap, abis masa gue mau jemput cewek cantik naik motor, kasian di elonya lah..mana lo pakai dress gitu lagi..” ujarnya sambil menunjukku.


“Ohh hehe..ya udah, ayo masuk, gue ambil tas dulu di kamar..” ajakku sambil menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumahku. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, akhirnya aku dan dia bergegas untuk pergi ke prom night di sekolahku.


Tanpa janjian, aku dan Alvin tampak begitu serasi. Aku menggunakan tube dress berwarna hitam dengan cutting asymetris di bagian bawahnya, dan Alvin tampak santai di balik kemeja putih dan blazer hitamnya yang ia gulung hingga ke siku.


“Lo udah jago kan Vin nyetirnya ?” tanyaku polos, tepat ketika Alvin mulai menghidupkan mobil dan menggeser persenelingnya.


Ia terkekeh, dan menatapku. “Kalau gue enggak bisa nyetir, enggak akan deh gue bawa anak orang naik mobil malam-malam kaya gini..”


“Ya kan, gue masih mau hidup panjang Vin..hehe..masih mau ikutan snmptn nih gue..”


“Snmptn daftar apa aja ?”


“UI sama UGM..hehe..”


“Hmm..tahu deh yang pinter, semoga jebol salah satunya yaa..” ujarnya sambil mengelus rambutku pelan. Dan aku sangat menikmati belaiannya ini.


“Amin !! doain gue ya Vin..”


“Selalulah Fy..”


“Makasih..”


“Seandainya lo masuknya ke UGM, berarti lo bakal pergi dong dari Jakarta ?”


“Ya iyalah Vin, masa iya gue mau kuliah jarak jauh, mana bisa..” tukasku, entah polos atau bodoh. Yang jelas, Alvin kembali terkekeh.


“Haha iya-iya..maksud gue, err....berarti lo bakal ninggalin gue, ninggalin Shilla, Rio..”


“Rio kan mau ke ITB, elo juga mau ke UNPAD kan ? kita semua pergi kali dari Jakarta kecuali Shilla..”


“Lo percaya sama long distance nggak Fy ?”


Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan Alvin. “Kok elo enggak nyambung sih Vin ?”


“Hahaha..iyaya ? lupain aja deh..” kilahnya, kemudian terdiam, dan menatap jalan di depannya. Dan akupun begitu.


Anggaplah saat itu aku tidak peka, tapi percayalah, aku benar-benar tidak mengerti maksud pertanyaannya saat itu. Dan di tahun-tahun ke depan, itu seperti sebuah kerikil kecil yang menyeret penyesalan dalam hidupku.


Tidak begitu banyak hal penting yang terjadi malam itu, yang aku ingat hanyalah, sepanjang prom night aku dan Alvin terus berdansa berdua. Tanpa ikatan, di balik persahabatan kami, tanpa kata-kata, aku dan dia menikmati semuanya.


Sekeping kenangan yang ternyata tertoreh dalam di kemudian hari.


*


Aku nyaris tak berkedip menatap layar laptopku. Dan sejurus kemudian, sebuah senyum kelegaan, bercampur kebahagiaan dan kebanggaan tak terkira terpeta di bibirku.


Psikologi, UGM. Ya, aku lolos !


“Mama..aku ke UGM ma !!” teriakku masih enggan bangkit dari depan laptopku, masih ingin menatap pengumuman itu. Meski hanya sebaris kalimat. Namun kalimat yang membuncahkan sejuta kebahagiaan dalam hati.


“Drrtt..drrrttt...”


“Halo, gimana Fy ?” suara Alvin langsung menyapaku. Bisa ku tebak, ia juga sedang mendapatkan berita terbaiknya.


“UGM Vin, gue ke jogja..kampus biru hahaha..”


“Congrats yaa..”


“Makasih Alvin...lo sendiri gimana ?”


“Menurut lo gimana ?”


“Pasti lolos, iyakan ?”


“Hehehe..temen lo jadi calon dokter gigi nih Fy”


“Ahh Alvin, selamat ya selamat !! asik deh, entar gue bisa periksa gigi gratis..haha..”


“Woo..eh, ntar malem ada acara enggak ?”


“Enggak, kenapa ?”


“Entar gue ke rumah lo ya ?”


“Oke, gue tunggu, jam berapa ?”


“Jam tujuh mungkin, ya udah deh, sekali lagi selamat ya, awas jangan ikutan stres sama pasien lo entar..hahaha..”


“Si...”


Klik. Belum sempat aku membalas kata-katanya, Alvin telah terlanjur menutup telponnya. Hah, rasanya kebahagianku menjadi tambah berlipat ganda. Dan sekarang, aku malah menjadi mengira-ngira, untuk apa ya Alvin datang ke rumahku nanti malam. Adakah hal yang ingin ia sampaikan ?


Ahh, aku jadi penasaran.


*


Dan ia berdiri di hadapanku sekarang, terlambat dari waktu yang ia bilang. Ini sudah jam sembilan malam, sudah sejak dua jam lalu aku menunggunya, ia datang dengan wajahnya yang babak belur. Tanpa perlu bertanya, aku juga mengerti, apa yang terjadi dengannya.


Tiga tahun bersahabat. Dan satu tahun duduk bersama, membuat aku sangat mengerti dengan apa yang sering Alvin alami.


“Ada apa Vin ?”


Dia tersenyum lirih ke arahku. Hanya tersenyum di tempatnya, tanpa melanjutkan langkahnya. Dia berhenti, dan akhirnya aku yang maju. Menujunya yang berdiri di halaman rumahku.


“Vin, ada yang bisa aku bantu ?”


Ia langsung memelukku. Untuk alasan yang aku mengerti tapi tidak ku ketahui sepenuhnya. Aku melingkarkan tanganku di punggungnya, menepuk-nepuknya, mencoba menghibur speerti layaknya seorang sahabat.


Untuk beberapa saat, kami menelan waktu dalam pelukan ini. Tidak peduli pada ketukan detik yang terpacu cepat. Tangan Alvin semakin memelukku erat. Aku sama sekali tidak memberontak atau risih karenanya. Aku ingin menjadi orang yang menenangkannya, dan itu aku sekarang.


Nada-nada alam dari ketukan air yang menyentuh tanah dalam hujan yang tiba-tiba, mengguyur kami, yang tetap saja, saling berpelukan satu sama lain.


Tubuhku mulai basah, rasa dingin mulai merasukiku. Tapi aku benar-benar tidak ada niatan untuk meminta Alvin melepaskan pelukannya. Ada yang bergetar dalam hati ini, sesuatu yang tidak aku kenal, sesuatu yang baru namun terasa begitu nyata. Teduh dan hangat, bahkan meski gemericik hujan semakin deras tertumpah dari langit nan membentang.


Apa yang terjadi padaku ?


“Fy..” untuk pertama kalinya, sejak kedatangannya, akhirnya bibir itu terbuka.


“Ya ?”


“Gue sayang sama lo..”


*


Hiruk pikuk yang terjadi di stasiun ini, sama sekali tidak menyurutkan air mataku untuk mengalir sederas-derasnya. Tinggal dua puluh menit lagi, sebelum kereta dengan gerbong abu-abunya itu akan membawa tubuhku ke Jogja, kota dimana aku akan menapaki langkah baruku.


“Fy..” Shilla terisak di hadapanku, membuat aku juga terus menangis.


“Ahh Shilla..jangan bikin gue berat dong..” aku kembali memeluk sahabatku itu. Ternyata berpisah tak semudah kelihatannya.


Sahabat adalah kepingan jiwa, terasa seperti mati rasa ketika harus meninggalkannya.


“Fy, take care ya..” ujar Rio tersenyum ke arahku, dan menepuk kepalaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk. Ada yang lebih menyakitkan dari perpisahan sementara ini. Ketidak hadirannya.


Alvin, entahlah ada dimana ia saat ini.


“Alvin marah ya Yo sama gue, karena gue nolak dia ?” tanyaku pelan, tidak melihat Rio, melainkan melihat ke arah pintu masuk stasiun, berharap dapat menemukan sosoknya sedang berjalan ke arahku.


“Gue juga enggak tahu, gue juga enggak bisa ngehubungin dia dari tadi pagi, tapi gue rasa Alvin enggak akan marah sama lo..”


“Tapi dia enggak datang sekarang..” desahku, yang entah mengapa harus kecewa.


“Fy, ayo naik, sebentar lagi keretanya berangkat..” mama mengingatkanku. Aku menghela nafas, ingin menahan waktu, dan menunggu Alvin untuk datang, meski itu tidak mungkin bisa.


Masih dengan air mata berurai, aku memeluk Shilla lagi, hanya saja lebih singkat kali ini, memeluk Rio, dan kemudian berbalik mengikuti mama yang berjalan di depanku. Sebelum naik, lagi-lagi aku menyempatkan diri untuk menoleh ke titik itu, tempat yang aku pandang dengan bias harap bercampur nanar. Ia tetap tidak hadir, sama sekali tidak.


“Nanti kan kalau liburan kamu juga bakalan pulang Fy, udah ah nangisnya..” tegur mama, setengah menasihati. Aku hanya tersenyum.


Kereta mulai berjalan. Perlahan, meninggalkan kota ini, meninggalkan gedung-gedung beton pencakar langit yang sering ku lihat setiap hari. Meninggalkan semuanya.


Dan ia tetap tak nampak. Menghilang. Benar-benar menghilang.


***


Reflek, aku langsung menghapus setitik air mata yang jatuh tanpa kendaliku. Mengingat tentangnya selalu membuatku seperti ini. Aku berdiri dari bangku, yang dulu merupakan bangkuku, untuk sekejap, aku menoleh menatap kursi kosong yang ada tepat di samping kananku. Tempatnya dulu duduk.


Alvin, ada dimana kamu ?


Ya, tiga tahun berlalu, dan aku tetap tidak mengetahuinya. Dan sepertinya memang tidak ada yang mengetahuinya. Rumahnya pindah. Nomornya tidak lagi aktif, sehari setelah keberangkatanku ke Jogja waktu itu. Ia lenyap, tak bersisa.


Dan aku ?


Yang terlalu bodoh ini. Baru menyadari satu hal. Aku mencintainya. Sangat mencintainya.


Tidak ingin terlalu lama ada disini, aku buru-buru beranjak pergi. Lagipula, aku telah membuat janji dengan Rio dan Shilla untuk makan siang bersama.


Di sebuah kafe, di bilangan tebet. Aku menunggu kehadiran mereka berdua. Sesaat ku amati sekelilingku, semua telah berubah. Kota ini berubah terlalu banyak. Dan sayangnya aku tidak di ajak serta dalam perubahan itu. Aku terbenam dalam cerita masa lalu yang aku sesali.


Hidup itu pilihan, termasuk juga sebuah penyesalan.


“IFY !!..ahhh gue kangen !” Shilla langsung menghambur, memelukku, sementara Rio berjalan di belakangnya.


“Gue juga !! haha..liburan semester kemarin gue juga balik ya..”


“Hei Yo, lo tambah item aja ..haha..” sambungku, sambil menjabat erat tangan Rio.


“Iya nih, gue abis pkl Fy..”


“Kemana ?”


“Chevron di Minas..”


“Sumpah lo bisa pkl disana ? ahh keren banget ! ehem..sahabat gue mau jadi tukang minyak, entar kalau udah tajir jangan lupa sama gue, oke..”


Rio dan Shilla hanya terkekeh menyaksikkan tingkahku. Dua sahabatku ini, bisa dibilang adalah contoh pasangan yang wajib ditiru, berpacaran sejak kelas dua sma, berlanjut hingga kuliah sekarang meski tol cipularang memisahkan mereka, namun keduanya tetap saja bisa menjaga kekompakkan untuk menjaga hubungan mereka.


Dan layaknya sebuah persahabatan, kami bertiga mulai asik menceritakan setiap detail pengalaman yang telah kami lalui, apapun itu. Meski terasa ada yang kurang, karena ia tidak ada disini.


Alvin, bisakah kamu kembali ?


“Yo..elo beneran enggak tahu, Alvin ada dimana ?” tanyaku pelan. Setiap bertemu, aku selalu menanyakan ini. Dan bisa saja kan, Rio mulai jengah dengan sikapku ini.


“Fy..gue sama Rio selalu berusaha buat nyari keberadaannya Alvin, kita juga mau ketemu sama dia, tapi ya kaya yang lo lihat, dia enggak meninggalkan jejak sedikitpun buat kita lacak..” Shillalah yang menjawab pertanyaanku. Dan aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar jawabannya.


Ia seperti menyatu dengan udara, yang menghilang tanpa jejak, tapi ke alpaannya begitu hebat terasa.


***


Seminggu terakhir, sebelum aku kembali ke Jogja. Rio sudah kembali ke Bandung dan Shilla sedang ada acara di kampusnya. Tidak ada kerjaan di rumah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan, sekedar menyegarkan mata.


Aku memasuki sebuah mall di jantung ibu kota, gedungnya yang unik, seperti balok-balok kotak yang miring serta warna dindingnya yang begitu ceria dan berwarna-warni. Berjalan sendirian tanpa tujuan, membuatku hanya mengelilingi tempat ini tanpa jeda.


Hingga langkahku terhenti, dan tubuhku bergetar hebat.


Aku melihatnya. Dan aku yakin itu dia.


Alvin.


Tanpa mengulur waktu, aku mengejarnya, membiarkan wedgesku menghentak lantai dengan brutal. Tak menghiraukan orang-orang lain yang menatapku bingung.


“Alvin..” dan tanpa malu-malu, aku mencekal pergelangan orang itu. Membuatnya menoleh ke arahku.


“Ya..”


“Vin, ini aku, Ify..”


Dia tersenyum, sesuatu yang membuatku tambah yakin bahwa ini dirinya. “Maaf, tapi gue enggak kenal sama lo..”


Aku membeku. Ku lepaskan tanganku dari tangannya, aku berjalan mundur, tubuhku serasa limbung. Hingga akhirnya tanpa aku sadar, aku menabrak orang lain di belakangku. Dan aku terpaku, menatapnya. Suara keramaian yang tadi sangat nyata, kini malah seperti dengungan memekakkan telinga. Aku merasa sendiri, dan sama sekali tidak mengerti.


***


Entah sudah untuk keberapa kalinya. Aku kembali mengamati wajah laki-laki di depanku ini lekat-lekat. Berjuta-juta persen, aku yakin ia Alvin, dan ia memang Alvin, ia mengaku itu. Tapi bukan Alvinku, ia tidak mengenaliku. Dan aku tidak mengerti kenapa.


“Kamu beneran enggak kenal sama aku ?” tanyaku lagi. Lebih dari yang kesepuluh kalinya.


“Harus gue jawab berapa kali sih, gue sama sekali enggak kenal sama elo, maaf..”


Aku tersenyum lirih. Entah untuk alasan bodoh macam apa, tapi aku memintanya untuk duduk bersamaku di sebuah restaurant. Aku masih tidak percaya, sama sekali tidak percaya. Aku rasa hanya ada satu Alvin, dan itu Alvinku.


“Tapi lo perlu tahu satu, gue ini seorang penderita amnesia..”


“Vin..”


“Dan gue enggak ada niatan sama sekali, untuk minta ingatan gue kembali lagi”


Seperti ada Zeus yang sedang menghunuskan petirnya ke dadaku, aku tidak bisa berkata-kata untuk apapun. Mati rasa. Tidak mengerti, mengapa orang yang sekian tahun ini ingin aku temui, terasa begitu berbeda dan tidak aku kenali, bahkan tidak mengenaliku.


“Ke..kenapa..?” tanyaku terbata.


“Kata beberapa orang, masa lalu gue enggak begitu bahagia, gue seorang anak broken home yang sering di hajar sama bokap gue sendiri. Tapi sekarang, gue udah tinggal sama nyokap, gue lebih bahagia di kehidupan kedua gue ini..itu sebabnya gue enggak mau tahu tentang yang dulu..”


“Tapi aku sahabat kamu di masa lalu, aku sayang sama kamu” ujarku lirih, sambil menunduk, tidak berani menatapnya, tidak ingin menangis di depan orang asing yang benar-benar tidak aku kenali sama sekali.


“Maaf kalau gue ngecewain lo, tapi ini pilihan gue. Dan kalau apa yang lo bilang tadi benar, kalau kita memang sahabat, ada baiknya, elo nerima keputusan gue..”


Aku mengangkat wajahku, menghapus air mata yang terlanjur menetes, dan menatapnya. “Hai Alvin, boleh kita kenalan ? aku Ify..” sambil tersenyum, aku mengulurkan tanganku.


“Boleh..gue Alvin..” balasnya sambil tersenyum juga, dan menerima uluran tanganku.


Dan kehangatan tangannya masih sama seperti dulu.


Seperti dulu.


***


Ia benar-benar berubah. Namanya saja yang tetap Alvin. Tapi keseluruhannya berubah, aku rasa, ia bukan saja amnesia tapi telah mengganti nyawanya dengan roh orang lain.


Ilmu psikologiku sama sekali tidak mempan padanya. Ia begitu patuh untuk menjalani prinsipnya yang memetakan perih tak terhingga di jiwaku. Ia telah membungkus rapat cerita lalunya, dan membuangnya ke tempat sampah tanpa niatan untuk sekedar menengoknya sedikit.


Dan aku ? aku mencoba mengikutinya. Berharap dapat menembus barikade pertahanan supernya. Meski itu kini jelas telah terlihat sebagai sebuah kesia-siaan semata. Ini hari terakhir aku disini, dan ia sama sekali tidak pernah bertanya bagaimana kisah kita dulu.


Seolah telah menjadi rutinitasku, hari ini aku kembali menunggunya di tempat yang sama, tempat pertama kali akhirnya aku bertemu dengan ia yang baru.


Sudah hampir setengah jam, dan ia belum juga datang. Padahal tiga jam lagi, aku harus ke stasiun. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja, sembari menunggu kehadirannya.


“Maaf gue terlambat..”


“Enggak masalah, aku cukup seneng, seminggu ini kamu enggak keberatan buat nemenin aku disini..”


“Senang punya teman baru kaya lo..”


Teman baru ? hei..kita sudah kenal sejak lima tahun yang lalu. Dan kamu menganggap, kita baru kenal satu minggu ini.


“Aku mau pulang ke Jogja..”


“Oh ya ?”


“Dulu, waktu aku mau berangkat kesana untuk pertama kalinya, kamu enggak datang, padahal aku sangat berharap sama kehadiran kamu, yang baru kemarin juga tahu, kalau pada saat itu kamu kecelakaan..”


“Fy, tolong jangan bahas yang udah lewat..”


“Waktu itu, aku mau bilang ke kamu, kalau aku juga sayang sama kamu, aku nyesel nolak kamu malam itu, aku nyesel enggak sadar sama perasaan aku sendiri saat itu..bener-bener nyesel..” tanpa menggubris interupsinya, aku meneruskan kalimatku.


“Dan sekarang ternyata semua kaya gini, kamu bahagia dengan apa yang kamu punya sekarang, memang kesempatan enggak akan datang dua kali..pelajaran paling berharga yang aku ambil dari semua ini..maaf kalau seminggu ini aku ngerecokkin kamu terus, aku pikir, tadinya pasti ada sebuah sisi di dalam diri kamu yang, meski kecil tapi ingin tahu tentang siapa kamu di masa lalu. Tapi aku salah, kamu memang udah punya kehidupan baru, dan aku enggak berhak untuk narik kamu mundur lagi..meski harus dari awal...tapi biarin aku untuk memulai semuanya...pertemanan dan mungkin persahabatan kita..”


Alvin tersenyum, ia meletakkan sebuah kertas yang ia ambil dari saku jaketnya, dan kemudian mendorongnya ke arahku.


“Apa ini ?”


“Baca aja..” ujarnya, sambil mengendikkan dagunya.


Sebuah puisi. Itu yang aku tangkap, ketika menemukan bait-bait yang tertata rapi dalam tulisannya, yang ternyata masih sama.


Pagi pasti berubah malam


Tapi tidak untuknya


Cuaca pasti berubah


Tapi tidak untuknya


Aku menapaki waktu, berjalan maju


Aku mematahkan waktu, berlari mundur


Dia berdiri dan waktu mendorongnya maju


Tetapi waktu tak bisa mengalahkan tegar dirinya


Pagiku paginya


Siangku paginya


Malamku tetap paginya


Seperti terbawa mesin waktu


Yang membuatku tertawa kecil


Kehidupan masa lalu


Kehidupan masa sekarang


Aku membisu


Aku membatu


Diam, takjub, heran


Aku takut, takut kalau aku bukan aku


Rangkaian kalimat menjadi sebuah cerita


Rangkaian cerita menjadi sebuah kalimat


Aku paham sekarang


Bahasa terindahpun tak bisa mengalahkannya


seperti terbangun dari tidur panjang


Memori..memori..memori


Mungkin aku bukan aku


Tapi dia tetap dia


Aku sadar akan hal itu


Aku yang bukan aku


Mungkin akan merubah dia yang tetap dia


Akan merubah pagi jadi malam atau malam jadi pagi


Itu ketakutanku


Ketakutanku akan waktu


Maaf.


“Maksudnya apa Vin ?”


“Semenjak lo datang, dengan segala ketegaran lo untuk mencoba mengajak gue balik dalam cerita yang pernah kita laluin sama-sama, gue sadar, mungkin keputusan gue ini cukup sepihak, gue hidup tujuh belas tahun dalam masa lalu gue, dan baru tiga tahun dalam hidup gue yang baru..pastinya lebih banyak yang berarti dalam tujuh belas tahun itu. Tapi sekali lagi, ini apa yang memang pengen gue jalanin..dan gue cukup berterimakasih atas pengertian lo, dan maaf yang sebesar-besarnya, kalau gue nyakitin elo..”


Ingin rasanya aku berkata-kata, tapi yang terjadi hanyalah, sebuah senyum kecil yang aku persembahkan untuknya.


Masa lalu kami memang terhapus, tak bersisa. Dan aku menyesalinya, tak ku pungkiri itu. Terlalu banyak pengandaian yang tersebar dalam otakku dan ingin tersampaikan untuknya. Untuk mengulang semuanya.


Tapi setidaknya sekarang aku tahu satu, aku tidak akan menyiakan apa yang memang harusnya menjadi milikku. Semua benar..


Kesempatan emas hanya datang satu kali. Sekali kita menolaknya, maka perlu dimulai dari awal lagi untuk mendapatkannya kembali.


TAMAT


Hmmm...sepertinya cerpen ini aneh bin ancur banget enggak sih ??


Kalau ada yang mau mengkritik cerita ini, aku terima dengan senang hati lhoo..secara ya aku sadar banget ini cerpen gagal total..


Dan, terimakasih yang sebesar-besarnya besar buat PANJI TAMA WIBISENA yang udah bersedia minjemin puisinya yang ada di cerita ini..tengkiuuu so muchh ya hehe..maaf kalau enggak sesuai sama isi yang lo maksud (-.-v)


Dan juga buat semua yang mau meluangkan waktunya buat baca, apalagi komen hehehe..


1 komentar: