Jumat, 03 Agustus 2012

Say No To Bullying

uhm. enggak tahu juga kenapa pengen nulis ini. mungkin karena akhir-akhir ini banyak berita tentang pem-bully-an kali ya. sesuatu yang, enggak-akan-pernah-menjadi-keren untuk apapun alasannya. SAY NO TO BULLYING.

gue pernah merasa, gimana rasanya di bully, bukan secara fisik tapi lebih ke secara mental. pada saar itu, gue sendiri enggak merasa karena mungkin usia gue waktu itu bikin gue enggak berfikir sampai sana. tapi kalau sekarang gue inget lagi masa-masa itu, sedikit banyak momen-momen itu yang membuat gue seperti ini sekarang.

bokap gue seorang tentara angkatan udara, yang bikin beliau enggak pernah bertahan dinas si satu tempat untuk jangka waktu yang lama, so far, delapan belas tahun ini gue udah tinggal di lima kota dan tiga pulau besar yang berbeda di Indonesia.

momen perpindahan yang pertama itu dari Pekanbaru [Sumatra] ke Makasar [Sulawesi] saat gue berusia tiga tahun. saat baru pindah gue enggak punya temen sama sekali, menurut cerita nyokap setiap hari gue cuma bisa nangis. ada anak-anak seumuran gue di sekitar rumah, tapi setiap gue main sama mereka, gue akan selalu berakhir dengan di nakalin. entah gue yang lagi naik sepeda di dorong di jalan turunan, atau sepeda gue di mainin sama mereka dan guenya cuma pasrah ngelihat, ya..hal-hal semacam itu,

enggak lama, bokap gue di tugaskan ke Kupang dalam rangka pelepasan Timor-Timor waktu itu [1998] karena itu daerah konflik, gue, nyokap dan adek gue Gilang pindah ke rumah eyang putri gue di Yogya. gue masuk tk sekitar tiga bulan dan setelah itu gue masuk sd.

gue masuk sd kanisius yang terkenal disiplin dan 'keras' dimana murid-murid yang masuk kesana pada waktu itu hampir seluruhnya udah bisa membaca, menulis dan berhitung. sementara gue, yang selama tk di Makasar enggak pernah belajar hal-hal serinci itu dan belum lama tk di Yogya, masuk dengan status anak bodoh yang enggak bisa apa-apa. gue duduk di bangku kedua dari belakang dan sendirian, lagi-lagi gue enggak punya teman sama sekali, gue kaya 'outcast' di kelas gue sendiri, bahkan gue rasa sekarang enggak ada yang inget pernah sekelas sama gue.

setiap hari nyokap gue bawain bekal makanan, dan kalau istirahat gue cuma makan bekal itu depan kelas sambil ngelihatin teman-teman gue yang lain main tanpa ada yang peduli buat ngajak gue gabung, dan gue sendiri dengan rasa minder yang gue punya karena gue enggak sepintar mereka, gue merasa 'enggak pantas' juga untuk main sama mereka. saat itu tanpa sadar gue udah ada di posisi 'mental breakdown' karena lingkungan seperti itu. cara lain gue menghabiskan masa  istirahat adalah dengan ke perpustakaan, jadi..ya gue 'totally nerd' waktu itu, cuma tanpa kacamata dan kawat gigi besar aja ;p

beruntungnya, gue cuma perlu sekolah di sd itu selama enam bulan, ya..walaupun selama enam bulan itu gue merasa terasingkan dan sendirian, dan sejujurnya ini pertama kalinya gue ceritain ini jadi orang tua gue juga enggak ada yang tahu. bokap gue pindah tugas lagi, dan sekarang kita sekeluarga pindah ke Bandung.

gue masuk sd negeri di Bandung, dan ajaibnya pelajaran yang istilahnya udah gue pelajarin sampai bab 5 di Yogya baru sampai bab 3 di Bandung. jadi gue, seorang anak bodoh yang enggak punya temen di Yogya, tiba-tiba berubah jadi seorang anak pindahan pintar dari Yogya. dan gue punya temen, enggak cuma satu, tapi lebih dari itu, bahkan hampir satu kelas tertarik sama keberadaan gue. roda kehidupan berputar, eh ?

tapi keadaan itu malah bikin gue jadi punya sebuah pandangan, "oh, kalau gue pinter, gue enggak perlu lagi takut enggak punya temen." dan siapa sangka, pandangan ini akan terus gue bawa sampai bertahun-tahun kemudian dari sejak hari kepindahan gue itu.

gue di Bandung sampai kelas 4sd, melewati semuanya dengan bahagia-bahagia aja, dan akhirnya gue pindah ke Jakarta. dengan rasa percaya diri yang udah melekat di diri gue, gue enggak punya masalah berarti dengan adaptasi di Jakarta, walaupun sayangnya gue juga bukan tipe yang gampang akrab, tapi gue melalui masa sd gue di Jakarta dengan nyaman dan gue masih punya beberapa teman yang sampai hari ini masih sering main sama gue.

masalah terulang pas SMP, gue masuk ke sebuah SMP negeri unggulan dimana cuma ada 5orang termasuk gue dari sd gue sebelumnya. dengan kata lain, ini jadi sebuah fase yang bener-bener baru lagi buat gue. temen-temen yang gue temuin saat itu kebanyakan udah punya geng [yeah...anak smp = geng :3] yang terdiri dari temen-temen sd mereka sendiri dan gue enggak bisa sok asik untuk gabung gitu aja.

menjelang semester pertama berakhir, gue dipanggil ke ruang BP, bukan karena gue nakal atau karena bermasalah, tapi karena sebelumnya guru BP gue bikin semacam voting, setiap anak di kelas harus nulis nama tiga orang yang paling dekat sama mereka, dan nama gue cuma ditulis sama satu orang dan dia adalah teman sebangku gue sendiri. ya, sekali lagi, setelah enam tahun berselang gue kembali menjadi 'outcast' di kelas gue.

kalau ditanya rasanya kaya apa, saat itu gue cuma ngerasa, "gue separah ini ya ?" dan lebih dominan rasa malunya, karena di panggil BP dengan masalah enggak-bisa-bersosialisasi-dengan-baik.


akhirnya gue kembali ke prinsip gue, kalau gue harus pinter biar orang mau temenan sama gue. dan masalahnya, jadi pinter di SMP itu enggak semudah yang gue kira. sampai gue memilih fokus sama mata pelajaran kesukaan gue, Bahasa Indonesia. gue bahkan merasa senang kalau temen gue dateng ke gue cuma untuk nyontek pr atau tugas atau apapun yang ada hubungannya dengan mata pelajaran itu, karena pada saat itu gue merasa kalau keberadaan gue enggak sia-sia, kalau orang tahu gue ada dan gue butuhin.

poin yang mau gue tegasin dari cerita gue di atas, sekecil apapun, baik itu tindakan ataupun kata-kata apa aja, yang kita keluarin ke orang lain tanpa kita sadar, kita bisa aja ngancurin rasa percaya dirinya, dan itu yang terjadi sama gue. gue enggak tahu rasanya di bully secara fisik [dan enggak mau juga] tapi apa yang gue rasain dari gue kelas satu di Yogya saat itu, tittle 'anak bodoh' yang melekat di diri gue hari itu, bikin mental gue jatuh, dan gue juga jadi punya penilaian ke diri gue kalau "iya..gue memang bodoh kaya apa yang mereka bilang".

dan pandangan yang akhirnya terbentuk dari serangkaian situasi itu, mungkin awalnya bagus karena memacu gue untuk semangat belajar, tapi kesininya, gue menjadikan itu senjata untuk bertahan. gue enggak peduli orang inget nama gue, manggil gue, deketin gue cuma saat mereka butuh ilmu yang gue punya, yang gue peduliin cuma gue mau orang mengakui gue ada, dan percaya deh, itu rasanya melelahkan banget. karena mau enggak mau, gue harus terus berusaha untuk bisa ngasih yang terbaik, karena kalau gue gagal sekali aja, orang enggak akan datang lagi ke gue, dan gue enggak mau itu terjadi. sesuatu yang menjadi akar, dimana kemudian harinya, gue enggak bisa terima kata kegagalan.

karena bagi gue, gagal = dijauhin. sesederhana itu tapi gue enggak mau ngalamin itu lagi.

Allah sayang sama gue, makanya kelas satu menjelang naik ke kelas dua, gue ketemu sama orang-orang hebat yang sampai sekarang masih jadi sahabat gue, Dita, Listi, Galuh, yang enggak dateng cuma saat mereka butuh dan pergi saat gue gagal. dan gue sangat berterimakasih untuk itu. juga untuk sahabat-sahabat gue lainnya yang gue temuin di waktu-waktu berikutnya.

setiap orang punya hak yang sama, dan selain Allah/Tuhan enggak ada satu orang pun yang boleh men-judge orang lainnya baik secara verbal ataupun nonverbal cuma karena mereka terlihat lebih lemah. ada harga yang harus di bayar untuk itu semua.

gue bahagia hari ini sama hidup gue, pengalaman gue saat itu bikin gue belajar banyak hari ini, dan....setiap orang gue rasa perlu ngalamin apa yang gue alamin, pengalaman orang lain bisa jadi guru yang hebat juga untuk masa depan, iyakan ?

sekali lagi,

STOP BULLYING, ISN'T COOL, WASN'T COOL, AND WON'T BE COOL.

cheers @nindhiyaa

2 komentar:

  1. aku sedih saat membaca kisahmu,
    semuanya bisa tergambar bagiku.
    semangat ya :D

    BalasHapus
  2. "akhirnya gue kembali ke prinsip gue, kalau gue harus pinter biar orang mau temenan sama gue. dan masalahnya, jadi pinter di SMP itu enggak semudah yang gue kira. sampai gue memilih fokus sama mata pelajaran kesukaan gue, Bahasa Indonesia. gue bahkan merasa senang kalau temen gue dateng ke gue cuma untuk nyontek pr atau tugas atau apapun yang ada hubungannya dengan mata pelajaran itu, karena pada saat itu gue merasa kalau keberadaan gue enggak sia-sia, kalau orang tahu gue ada dan gue butuhin."

    sama kak T.T semangaaaaaaatttt :)))

    BalasHapus